A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang paling sempurna. Agama yang mengatur dari hal yang
terkecil hingga hal yang paling besar. Ada kebaikan, tujuan dan hikmah dalam
setiap aturan agama Islam.
Dewasa ini, banyak hal-hal baru yang muncul dalam hukum Islam, sehingga
banyak keraguan dalam menghukuminya. Salah satu contoh masalahnya adalah
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yakni vaksin imunisasi.
Vaksin imunisasi menjadi suatu permasalahan karena terdapat isu bahwa bahan
yang digunakan tercampur dengan babi. Namun, dalam pandangan lain vaksin
merupakan suatu sarana atau obat yang memiliki fungsi untuk kekebalan tubuh
terhadap penyakit yang sedang mewabah terkhusus untuk bayi. Oleh karena itu,
dalam makalah ini dibahas apakah boleh seseorang mengunakan vaksin imunisasi
tersebut?
B. DEFINISI
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, imunisasi adalah berasal dari kata imun atau pengimunan
artinya pengebalan terhadap penyakit.[1]
Dalam bahasa indonesia, penggunaan akhiran –isasi bermakna proses, jadi
makna imunisasi adalah proses untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit
tertentu.[2]
Vaksin adalah bibit
penyakit yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi. Sedangkan makna
vaksinasi adalah penanaman bibit penyakit yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh
manusia atau binatang dengan cara menggoreskan atau menusukkan jarum agar orang
atau binatang itu menjadi kebal terhadap penyakit tersebut.[3]
Pengertian di atas
menunjukkan bahwa imunisasi lebih umum untuk proses kekebalan tubuh, sedangkan
vaksinasi adalah proses imunisasi yang khusus menggunakan vaksin saja. Oleh
karena itu, vaksinasi merupakan bagian dari imunisasi dan belum tentu imunisasi
termasuk dalam vaksinasi.
C. DALIL DASAR BEROBAT
Dalil dari sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي
الله عنه: عَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا أَنْزَلَ
اللهُ مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءٌ (روه أحمد و البخاري و ابن ماجة)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu, ia berkata bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam telah
bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menurukan sebuah penyakit
kecuali Allah telah menyiapkan obatnya”. (HR. Ahmad, Bukhari, Ibnu Majah)[4]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قال:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu,
beliau berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang dari obat yang khobits
(yang haram atau kotor)”. (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah)[5]
Maksud dari obat yang kotor adalah sesuatu
yang berasal dari sesuatu yang najis, haram atau sesuatu yang dapat mencegah
dari kecacatan. Abu ‘Isa berkata, “obat yang kotor tersebut diartikan dengan racun.”[6]
D. HUKUM IMUNISASI
Pada asalnya hukum
imunisasi adalah boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk penjagaan
diri dari penyakit sebelum terjadi.[7]
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah bersabda:
عَنْ هَاشِمِ بْنِ هَاشِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ عَامِرَ بْنَ سَعْدٍ
سَمِعْتُ سَعْدًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ تَصَبَحَ سَبْعَ تَمْرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ
يَضُرَّهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ (رواه البخاري)
Diriwayatkan dari Hasyim
bin Hasyim Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Aku mendengar ‘Amir bin Sa‘ad,
aku mendengar Sa’ad Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: Aku telah
mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa
yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka ia akan terhindar sehari itu dari racun
dan sihir”. (HR. Bukhari)[8]
Hadits di atas
menunjukkan bahwa dibolehkan mengambil sebab untuk membentengi diri dari
penyakit sebelum terjadi. Namun, pembentengan diri ini dengan menggunakan sesuatu
yang halal.
Seperti dalam kaidah
ushul fiqih dikatakan,
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan.”[9]
Maksud kaidah di atas
adalah menghilangkan bahaya hukumnya wajib dan mengobatinya apabila sudah
terjadi.
Oleh karena itu, apabila
dikhawatirkan terjadi wabah penyakit lalu dengan diimunisasi untuk membentengi
diri dari wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh
berobat tatkala terkena penyakit.[10]
E. VAKSIN YANG MENGANDUNG GELATIN
BABI
Pada dasarnya vaksin bertujuan membantu tubuh menghasilkan antibodi dan
melindungi penyakit. Namun beberapa kalangan menolak menerima vaksin karena
bahan dasar vaksin adalah babi. Lalu, bagaimana hukum jika tetap
menggunakannya?
Gelatin merupakan protein yang
diperoleh dari hidrilisis kolagen yang secara alami terdapat pada tulang
atau kulit binatang, seperti ikan, sapi dan babi. Namun, gelatin yang
diperoleh dari babi merupakan gelatin yang paling luas dipakai dalam
industri pangan dan obat-obatan, mengingat gelatin yang didapat dari
hewan ini paling murah dibandingkan dengan hewan lainnya. Dalam industri
obat-obatan gelatin babi dipakai sebagai salah satu bahan baku pembuatan
vaksin, kapsul, pil, krim, pasta gigi, sabun dan obat gosok.[11]
Babi merupakan hewan yang seluruh tubuhnya dihukumi najis walaupun
disembelih secara syara’, karena ia dihukumi najis ‘ain[12].[13] Kulitnya
juga dihukumi najis meskipun sudah disamak.[14]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنزِيرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”. (QS. Al-Maidah: 3)
Demikian juga dalam firman-Nya yang lain disebutkan:
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ
طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena
sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah”. (QS. Al-An’am: 145)
Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi gelatin babi di atas. Perbedaan
ini dikarenakan adanya peristiwa istihalah[15].
Ulama madzhab Hanafiyah
dan Malikiyah berpendapat bahwa najis yang disucikan dengan istihalah
hukumnya suci.[16] Sebagai
contoh, apabila seekor babi jatuh ke dalam tambak pembuatan garam lalu mati dan
berubah menjadi garam, maka garam tersebut hukumnya halal, karena zat babi
telah berubah menjadi garam dan garam hukumnya halal.
Ulama madzhab Syafi’iyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa najis yang disucikan dengan istihalah
hukumnya tidak suci.[17]
Sebagai contoh, apabila seekor babi jatuh ke dalam tambak pembuatan garam lalu
mati dan berubah menjadi garam, maka garam tersebut hukumnya tetap haram,
karena zat babi adalah najis dan apabila najis tersebut berubah bentuk menjadi
zat lain maka hukumnya tetap najis.
Dr. Wahbah az-Zuhaili
menerangkan dalam bukunya Fiqih Islam wa Adillatuhu bahwasanya madzhab
Syafi’i mengatakan tidak ada barang najis yang dapat menjadi suci disebabkan
oleh perubahan sifatnya kecuali tiga jenis:
1. Arak beserta tempatnya
apabila berubah menjadi cuka dengan sendirinya.
2. Kulit -selain kulit
anjing dan babi- yang najis karena bangkai kemudian menjadi suci lahir dan
batinnya setelah disamak.
3. Sesuatu yang berubah
menjadi binatang, seperti bangkai apabila menjadi ulat karena terjadi kehidupan
baru.[18]
Menurut pendapat yang lain bahwa gelatin yang berasal dari babi
hukumnya haram dan najis. Karena tidak dapat dipisahkan lagi antara najisnya
babi dan bahan baku lainnya yang baku. Setelah diketahui bahwasanya gelatin
babi hukumnya najis dan haram dimasukkan ke dalam tubuh, maka hukum melakukan
atau memberikan vaksin adalah haram.[19]
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلَّ
دَاءٍ دَوَاءٌ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَتَدَاوَوْا بِحَرَامٍ (روه أبو داود)
Dari Abu Darda’, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan penyakit
dan juga obatnya. Allah Ta’ala menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Maka
berobatlah, namun jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud)[20]
Hadits di atas menjelaskan apabila Allah Ta’ala menurunkan sebuah penyakit maka Allah Ta’ala telah menyiapkan obatnya. Hendaknya seorang hamba berusaha menyembuhkannya
dengan cara berobat. Namun tidak diperbolehkan berobat menggunakan sesuatu yang
haram.
Dalam kasus lain, pengobatan menggunakan sesuatu yang haram diperbolehkan
dengan syarat dalam kondisi terpaksa atau darurat. Apabila tidak ada cara lain
untuk mengganti vaksin yang mengandung gelatin babi dan terdapat dugaan
bahwa orang yang tidak mendapat vaksin ini akan terserang penyakit berbahaya
yang berakibat kepada cacat permanen atau bahkan kematian maka menggunakan gelatin
babi tersebut diperbolehkan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا لَكُمْ أَلاَّ تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا
اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا لَّيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِم بِغَيْرِ
عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut
nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan
kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak
menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”
(QS. Al-An’am: 119)
Dalam firman-Nya lagi:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ
عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Hal ini sama seperti dalam kaidah ushul fiqih:
الضَرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat membolehkan suatu yang dilarang.”[21]
Dan diperkuat dengan kaidah lain juga,
مَا أُبِيْحُ لِلْضَرُوْرَةِ يُقْدِرُ بِقَدْرِهَا
“Sesuatu yang diperbolehkan dalam keadaan darurat diukur sesuai
dengan ukurannya.”[22]
Kaidah di atas menerangkan bahwa menghilangkan bahaya dengan sesuatu yang
dilarang adalah boleh selama tidak melampaui batas.
F. FATWA MAJELIS ULAMA
INDONESIA TENTANG IMUNISASI
Komisi fatwa Majelis
Ulama Indonesia menetapkan ketentuan hukum tentang imunisasi sebagai berikut:
1. Imunisasi pada dasarnya
dibolehkan sebagai bentuk ikhtiyar untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan
mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu.
2. Vaksin untuk imunisasi
wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci.
3. Penggunakan vaksin
imunisasi yang berbahan haram atau najis hukumnya haram.
4. Imunisasi dengan vaksin
yang haram atau najis tidak dibolehkan kecuali:
a. Digunakan pada kondisi al-dlarurat
atau al-hajat;
b. Belum ditemukan bahan
vaksin yang halal dan suci; dan
c. Adanya keterangan tenaga
medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal
5. Dalam hal jika seseorang
yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau
kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang
kompeten dan dipercaya, maka imunsasi hukumnya wajib.
6. Imunisasi tidak boleh
dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya,
menimbulkan dampak yang membahayakan.[23]
G. KESIMPULAN
Setelah mengkaji beberapa buku dan dari pemaparan makalah di atas, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Hukum imunisasi pada
asalnya adalah mubah atau boleh. Karena imunisasi merupakan sebuah usaha untuk
kekebalan tubuh dari wabah penyakit.
2. Jika imunisasi
menggunakan barang yang haram maka hukumnya mengikuti keharamannya, kecuali
jika dalam keadaan darurat dan tidak ada obat selain itu maka hukumnya boleh.
Demikianlah kesimpulan makalah ini. Penulis sangat menyadari akan
kekurangan dari makalah sederhana ini. Oleh karenanya penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun. Semoga makalah sederhana ini bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan pada pembaca budiman pada umumnya. Wallahu A’lam bish Showab
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abi at-Thiib
Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Kitab
ath-Thib, jilid. 7, Kairo: Dar
al-Hadits, 1422 H/ 2001 M
Asqalany, al-, Ibnu
Hajar, Fathu al-Bari Syarh Shahih Bukhari, “Kitab ath-Thib”, jilid. 10, Kairo:
Dar al-Hadits, 1424 H/ 2004 M
Azdi, al-, Abi Dawud bin Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijsitani, Sunan Abi
Dawud, jilid. 4, cet. ke-1, Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1418 H/ 1997 M
Baghawi, al-, Abi
Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Syarh as-Sunnah, “Kitab ath-Thib”, jilid.
6, cet. ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M
Bani, al-, Muhammad Nashiruddin, Mukhtashar Shahih al-Imam al-Bukhari,
jilid. 4, cet. ke-1, Riyad: Maktabah al-Ma’arif Linatsir wa Tauzi’, 1422 H/
2002 M
Baz, Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin, Majmu’ Fatawa wa
Maqalat Mutanawi’at, jilid. 6, cet. ke-1, Riyad: Dar al-Qasim linasir, 1420
H
Bukhari, al-, Abi Abdullah bin Ismail, al-Jami’ al-Bukhari, Jilid.
4, cet. ke-1, Kairo: al-Mathba’ah as-Salafiyah, 1400 H
Burnu, al-, Muhammad
Shidqi bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kuliyah, cet. ke-1,
Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1404 H/1983 M
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Tentang Imunisasi, Bogor, 2016 M
Mubarakafuri, al-,
Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfah al-Ahwadzi, “Kitab ath-Thib”,
jilid. 5, cet. ke-1, Kairo: Dar al-Hadits, 1421 H/ 2001 M
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3,
Jakarta: Balai Pustaka, 2002 M
Sadlan, as-, Shalih bin Ghanim, al-Qawa’id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma
Tafarra’a ‘Anha, Riyad: Dar al-Belnesia, 1417 H
Saurah, Abi ‘Isa Muhammad
bin ‘Isa bin, Sunan at-Tirmidzi, “Kitab ath-Thib”, jilid. 4, Beirut: Dar
al-Fikr, 1429-1430 H/ 2009 M
Sidawi, as-, Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar, Fiqih Kontemporer, cet.
ke-1, Jawa Timur: Yayasan Al Furqan Al Islami, 1435 H/ 2014 M
Syaukani, Asy-, Nailu al-Author, “Kitab Ath-Thib”, jilid. 8, Kairo: Dar al-Hadits, 1426 H/ 2005 M
Tarmizi, Erwandi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet. ke-5, Bogor:
Berkat Mulia Insani, t.t.
Uwaidah, Kamil Muhammad, Fiqih Wanita, ttp.: Pustaka al-Kautsar,
t.t.
Zuhaili, az-, Wahbah, Fiqih
Islam wa Adillatuhu, jilid. 1, cet. ke-10, Damaskus:
Dar al-Fikr, 1428 H/ 2007 M
http://duniaiptek.com/perbedaan-vaksinasi-dan-imunisasi/, diakses 16 April 2016
________________, Mausu’ah al-Fiqihiyah, jilid. 29, cet. ke-2, Kuwait: Thaba’ah Dat as-Salasil, 1404 H/ 1983 M
[1] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002 M), hlm. 428
[4] Abi Abdullah bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Bukhari, jilid. 4,
cet. ke-1, (Kairo: al-Mathba’ah as-Salafiyah, 1400 H), hlm. 32. Hadits no.
5678. Lihat juga, Muhammad Nashiruddin al-Bani, Mukhtashar Shahih al-Imam
al-Bukhari, jilid. 4, cet. ke-1, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif Linatsir wa
Tauzi’, 1422 H/ 2002 M), hlm.13. Hadits no. 2225. Asy-Syaukani, Nailu al-Author, “Kitab Ath-Thiby”, jilid. 8, (Kairo: Dar al-Hadits, 1426 H/
2005 M), hlm. 209. Hadits no. 3754
[5] Abi Dawud bin Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijsitani al-Azdi, Sunan Abi
Dawud, jilid. 4, cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1418 H/ 1997 M), hlm. 131.
Hadits 3870. Lihat juga, Abi ‘Isa
Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, ‘Kitab ath-Thib’,
jilid. 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1429-1430 H/ 2009 M), hlm. 7. Hadits no. 2052. Abi
at-Thiib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan
Abi Dawud, ‘Kitab ath-Thib’, jilid. 7, (Kairo: Dar al-Hadits,
1422 H/ 2001 M), hlm. 17. Hadits no. 3868.
Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakafuri, Tuhfah al-Ahwadzi,
‘Kitab ath-Thib’, jilid. 5, cet. ke-1, (Kairo: Dar al-Hadits, 1421 H/ 2001 M),
hlm. 458. Hadits no. 2045.
[7] Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Fiqih Kontemporer, cet. ke-1,
(Jawa Timur: Yayasan Al Furqan Al Islami, 1435 H/ 2014 M), hlm. 327
[8] Abi Abdullah bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Bukhari, ..... ,
hlm. 49. Hadits no. 5769. Lihat juga, Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Fathu al-Bari
Syarh Shahih Bukhari, jilid. 10, (Kairo: Dar al-Hadits, 1424 H/ 2004 M),
hlm. 270. Hadits no. 5769
[9] Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh
al-Kuliyah, cet. ke-1, (Beirut: Muasasah ar-Risalah, 1404 H/1983 M), hlm.
81-82
[10] Abdul ‘Aziz
bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawi’at,
jilid. 6, cet. ke-1, (Riyad: Dar al-Qasim linasir, 1420 H), hlm. 21
[11] Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, cet. ke-5,
(Bogor: Berkat Mulia Insani, t.t.), hlm. 67-68
[12] Najis pada
diri sendiri
[13] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa
Adillatuhu, jilid. 1, cet. ke-10, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1428 H/ 2007 M), hlm. 251. Lihat
juga, Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (ttp.: Pustaka al-Kautsar,
t.t.), hlm. 15
[14] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih
Islam wa Adillatuhu, ..... , hlm. 251
[16] Mausu’ah al-Fiqihiyah, jilid. 29, cet. ke-2, (Kuwait:
Thaba’ah Dat as-Salasil, 1404 H/ 1983 M), hlm. 107
[20]
Abi Dawud bin
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijsitani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, ..... , hlm.
134. Hadits 3874. Lihat juga, Abi at-Thiib
Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu al-Ma’bud ..... , hlm. 16.
Hadits no. 3866. Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh
as-Sunnah, ‘Kitab ath-Thib’, jilid. 6, cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1424 H/ 2003 M), hlm. 244.
[21]
Shalih bin
Ghanim as-Sadlan, al-Qawa’id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma Tafarra’a ‘Anha,
(Riyad: Dar al-Belnesia, 1417 H), hlm. 247