Khitan bagi wanita dalam konteks Mu'asarah

Khitan Perempuan dalam konteks Mu’asarah

Khitan bagi perempuan merupakan permasalahan Pro dan Kontra dalam masyarakat dewasa ini, banyak terjadi pertentangan diantara para Ulama khususnya, Dokter dan Pemuka adat umumnya, sehingga jangan mengherankan bila terjadi kesenjangan di masyarakat Global sekarang.
Banyak kalangan kurang mengetahui apa itu Khitan, walaupun kata "khitan" merupakan tidak asing bagi kita, apalagi sebagai Muslim hampir semua mengalami Khitanan, namun secara detil tidak kita ketahui, nah marilah kita jenguk kembali arti pengertian khitan menurut Fuqaha,.
Apa itu Khitan?
Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit Zakar yang menyeliputi Khasyafah (kepala zakar).
Khitan bagi perempuan adalah memotong sebagian kulit paling bawah diatas Vagina, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami, banyak masyarakat dunia melakukan Khitan pada perempuan berbeda-beda: hanya sebatas membasuh ujung klitoris; menusuk ujung klitoris dengan jarum; membuang sebagian klitoris; membuang seluruh klitoris; dan membuang labia minora (bibir kecil vagina) serta seluruh klitoris, kemudian hampir seluruh labia majora (bibir luar vagina) dijahit, kecuali sebesar ujung kelingking untuk pembuangan darah menstruasi, tapi dalam islam disunatkan untuk tidak berlebihan, sehingga ia tetap mudah merasakan kenikmatan seksual. dan membuang seluruh klitoris, membuang labia minora serta seluruh klitoris bertentangan(mukhalafah) dengan sunnah, dan khitan beginilah yang sangat terkenal dimasa Fir’aun, berbeda dengan khitan yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Khitan dalam Kacamata Fuqaha’:
Mazhab syafi’iyyah:
Khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan, sebagai dalilnya: ayat Al-Quran:
"Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus" (An-Nahl: 123).
Sebagian dari Millah Nabi Ibrahim adalah tradisi Khitan.
Juga hadist: "ألق عنك شعر الكفر واختتن "
"Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah" (As-Syafii dalam kitab Al-Umm yang aslinya dari hadis Aisyah Riwayat Muslim).
Mazhab Hambali:
Khitan wajib bagi laki-laki, dan memuliakan bagi perempuan, dalilnya adalah hadist Ahmad dan Baihaqi:
" الختان سنة للرجال، مكرمة للنساء".
"Khitan itu sunah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita" (Ahmad dan Baihaqi).
Mazhab Maliki dan Hanafi:
Sunat Muakkadah bagi laki-laki dan perempuan, dalilnya:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأم عطية وهي ختانة كانت تختن النساء في المدينة : " إذا خفضت فأشمّي ولا تُنهكي، فإنه أسرى للوجه وأحظى عند الزوج
 "Dari Anas Ibn Malik R.a, bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada Ummu Athiyyah, tukang khitan perempuan di Madinah: "Sentuhlah sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami."
Hadist yang lain disebutkan:
" إذا ختنت فلا تنهكي فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب للبعل "
"Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami." (HR Abu Daud)(1)
Secara kwalitatif hadits yang menjadi dasar perlunya khitan perempuan menurut Sayid Sabiq adalah lemah, dengan kritikan tajam didalam kitabnya Fiqh Sunnah: "Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang sahih (valid).(Fiqh al Sunnah, I/25), Dengan demikian secara ex officio bisa dikatakan khitan perempuan merupakan masalah ijtihadiyah, nah kerusakan sebuah mujtama’ bisa disebabkan oleh faktor ini(khitan), karena perempuan yang melakukan khitan(menurut islam) sexnya sedikit berkurang dengan perempuan yang tidak melakukan khitan, oleh karena itu bisa menyebabkan konflik didalam masyarakat, dengan banyaknya pelanggaran tata susila agama, karena tidak semua wanita bisa menahan gelora nafsunya, maukah masyarakat kita hancur?, maukah keturunan kita menjadi hamba nafsunya?, benarlah apa yg dinukilkan oleh Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah mengatakan syariat Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia, di dunia dan akhirat. Cita kemaslahatan dapat direalisasikan jika lima unsur pokok dapat terpelihara, yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Khitan perempuan antara Tibbi dan Agama :
1.      Banyak orang salah mengerti tentang praktek khitan perempuan dalam islam sehingga dengan cepat menvonis bahwa Khitan perempuan bisa merusak hak perempuan, lihatlah dua buah hadist Nabi secara detil: Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada Ummu Athiyyah, tukang khitan perempuan di Madinah: "Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan kecintaan suami." Dalam riwayat lain disebutkan: "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami." (HR Abu Daud),
Ada dua pendekatan dalam memahami hadis di atas. Pertama, dilihat dari asbab al-wurud hadist. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab terbiasa mengkhitan perempuan dengan membuang seluruh klitoris dengan alasan agar dapat mengurangi kelebihan seksual perempuan, yang pada gilirannya dapat memagari dekadensi moral masyarakat Arab ketika itu. Sewaktu Nabi mendengar Ummu Athiyyah mengkhitan dengan cara demikian, Nabi langsung menegur agar praktik khitannya harus diubah sebab dapat menimbulkan kurangnya kenikmatan seksual perempuan.
Kedua, redaksi (matan) hadist terdapat ungkapan isymii wa laa tunhikii (sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan). Kata isymam, secara etimologis, berarti mencium bau. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Nabi Muhammad SAW memerintahkan khitan perempuan dengan cara seperti halnya mencium bau sehingga tidak merusak klitoris. Sedangkan kata laa tunhikii merupakan lafaz larangan (al-nahy) yang bermakna pasti, artinya "pastikan jangan berlebihan". Dengan demikian secara teks dapat dipahami, Nabi tidak pernah memerintahkan khitan dengan merusak alat reproduksi. Justru sebaliknya, khitan yang diajarkan Nabi diharapkan dapat memberi keceriaan, kenikmatan, dan kepuasan seksual bagi perempuan. Menurut Islam, hak memperoleh kepuasan seksual antara lelaki dan perempuan sama. Artinya, kepuasan dan kenikmatan seksual adalah hak sekaligus kewajiban bagi suami dan istri secara parallel. Oleh karena itu, jangan sampai karena praktik yang keliru lalu secara serta-merta tradisi indah yang bernilai ibadah dan beresensikan simbol ikatan suci dengan Allah itu diperangi begitu saja. Sebaiknya dicarikan jalan tengah, substansi khitan dipertahankan namun praktik kelirunya yang dihindari. Penawaran ini pada gilirannya menjadi tugas para ulama, dokter, dan kita semua untuk meluruskannya.
2.      Bila khitan perempuan dilakukan sebagaimana yang telah nabi syaria’tkan, maka banyak manfaatnya bagi wanita dan suaminya, diantaranya: mencegah pertumbuhan klitoris yang terlalu besar, sebagian wanita pertumbuhan klitorisnya berlebihan sampai 3 cm ketika perempuan teransang, bagaimana suami bergaul dengan istrinya bila si istri punya anggota seperti anggotanya?
Dan perempuan didaerah yang panas seperti Sa’idi Mesir, Sudan dan Jazirah Arab pertumbuhan klitorisnya cukup subur sehingga melebihi dengan pertumbuhan pada perempuan daerah lain, bahkan menyebabkan suami mustahil untuk melakukan hubungan denganya.
3.      mencegah klitoris yang terlalu besar dan mencegah sakit pada vagina karena keseringan tegaknya klitoris akibat gesekan, dan wajah perempuan selalu berkerut, seperti dinukilkan hadist: "Sentuh sedikit saja dan jangan berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami." (HR Abu Daud),
4.      Khitan yang dilakukan oleh orang Mesir kuno yaitu: memotong suluruh klitoris dapat menyebabkan melengketnya kedua bibir vagina yang dapat menyebabkan penyakit Ritak(tersumbat).
5.      Doktor. Muhammad Ali Al-Bar didalam kitabnya "al-Khitan Dar Al-Manar " berkata: "Khitan perempuan menghilangkan nafsu dan libido perempuan yang tinggi, dengan demikian si perempuan lebih iffah dan mencegah bersarangnya kuman yang berkumpul dibawah Kulit Klitoris".
Khitan perempuan antara masyarakat Internasional dan peradaban manusia:
Delegasi 28 negara Arab dan Afrika yang diadakan diCairo meminta agar khitan terhadap perempuan dilarang secara internasional. Khitan dipandang selaku kebiasaan yang rohani maupun jasmani menimbulkan dampak sampingan parah pada perempuan. Ada dua juta gadis remaja yang mengalami mutilasi tiap tahun di Afrika dan beberapa bagian dunia Arab, walaupun beberapa dari negara Afrika seperti Mesir sudah melarang praktek khitan perempuan.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dimuat di majalah buletin Population Report, banyak terjadi komplikasi akibat khitan bayi perempuan di negara-negara Afrika, seperti infeksi dan adanya fistula pada daerah yang dilakukan penyunatan.
Apakah ini khitan yang disyari’atkan islam ataukah khitan menurut kebiasaan masyarakat afrika? Dengan membuang seluruh klitorisnya. Dan WHO melarang khitan perempuan.
Para antropolog mengungkapkan data praktek khitan telah populer di masyarakat Mesir kuno dibuktikan dengan penemuan mumi perempuan pada abad ke-16 SM yang memiliki tanda clitoridectomy (pemotongan yang merusak alat kelamin). Menurut Hassan Hathout pelaksanaan khitan perempuan telah berlangsung lama sebelum kedatangan Islam terutama di lembah Nil yakni Sudan, Mesir, dan Ethiopia.
Di Belanda, dilarang keras khitan perempuan, sehingga terpaksa para anak perempuan keturunan Muslim dari Mesir, Somalia dan Sudan melakukan khitan diluar Belanda, bahkan bagi para wali yang melakukan khitan bagi anak perempuannya dikenakan hukuman 5 tahun penjara.
Hikmah Khitan:
1.      Mubalghah dalam kebersihan dan kesucian.
2.      Membedakan antara muslim dan non Muslim, sehingga bila hakim melihat disuatu daerah para laki-laki tidak melaksanakan khitan, maka mereka harus diperangi agar melaksanakan Syi’ar Islam,
3.      Praktik khitan bagi perempuan sebagai kontrol terhadap seksualitas perempuan, dengan demikian tercipta masyarakat dengan lingkungan jauh dari praktek maksiat.
4.      Ta’at akan perintah Allah dan Rasulnya.
5.      Perempuan menjadi lebih iffah, sehingga terpelihara diri dan agamanya.
Madhan:
1.Figh Islami wa adillatuhu:4/2752, Syarah Kabir:2/126, Syarah Risalah:1/393.
2.Fiqh al-Sunnah, Sayid Sabiq.
3.Al-Muwafaqah fi Ushulk Syari’ah, Imam Syatibi.
4.Fatawa Mu’asarah, Syeh Yusuf Qardhawi.

5. Mughni:1/85

asma' binti abu bakar ash-shidiq

ASMA’ BINTI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
(Yang Memiliki Dua Ikat Pinggang di Surga)
Dia adalah Asma’ binti Abu Bakar Ash- Shiddiq,  ibu dari Abdullah bin Az-Zubair At-Taimiyah dan ibunya bernama Qutaillah binti Abdil Uzza Al-Quraisyiyyah dari Bani ‘Amir bin Luay, dari pembesar-pembesar sahabat.
Asma’ binti Abu Bakar telah menikah dengan Zubair bin Al-Awwam, dan memiliki buah hati yaitu Abdullah bin Zubair. Dan dikatakkan bahwasanya Asma’ binti Abu Bakar berhijrah sedang beliau mengandung Abdullah. . Sesampainya di Quba – dari rahim Asma radiyallahu anha lahirlah putra pertamanya yakni Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu.
Dalam sejarah Islam, itulah bayi pertama yang dilahirkan setelah hijrah. Pada zaman itu banyak terjadi kesulitan, kesusahan, kemiskinan, dan kelaparan. Tetapi pada zaman itu juga muncul kehebatan dan keberanian yang tiada bandingannya.
Beliau termasuk wanita yang ahli dalam bahasa dan pandai melantunkan syair, Asma’ binti Abu Bakar sudah memeluk Islam sejak masa-masa awal datangnya Islam, setelah 17 orang yang masuk Islam. Beliau adalah saudari perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha ( seayah tapi beda ibu).
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq berhijrah, sedikit pun tidak terpikirkan olehnya untuk meninggalkan sesuatu untuk keluarganya. Ia berhijrah bersama-sama Rasulullah . Untuk keperluan itu, seluruh kekayaan yang ia miliki, sejumlah lebih kurang 5 atau 6 dirham dibawa serta dalam perjalanan tersebut. Setelah kepergiannya, ayah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yakni Abu Qahafah yang buta penglihatannya dan sampai saat itu belum masuk Islam mendatangi cucunya, Asma  dan Aisyah agar mereka tidak bersedih karena telah ditinggal oleh ayahnya. Ia berkata kepada mereka, “Aku telah menduga bahwa Abu Bakar telah menyebabkan kalian susah. Tentunya seluruh hartanya telah dibawa serta olehnya. Sungguh ia telah semakin banyak membebani kalian.” Menanggapi perkataan kakeknya, Asma radhiyallahu ‘anhaberkata, “Tidak, tidak wahai kakek. Ayah juga meninggalkan hartanya untuk kami.” Sambil berkata demikian ia mengumpulkan kerikil-kerikil kecil kemudian diletakkannya di tempat Abu Bakar biasa menyimpan uang dirhamnya, lalu ditaruh di atas selembar kain. Kemudian dipegangnya tangan kakeknya untuk merabanya. Kakeknya mengira bahwa kerikil yang telah dirabanya itu adalah uang. Akhirnya kakeknya berkata, “Ayahmu memang telah berbuat baik. Kalian telah ditinggalkan dalam keadaan yang baik.” Sesudah itu, Asma radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ayahku tidak meninggalkan harta sedikit pun. Aku berbuat demikian semata-mata untuk menenangkan hati kakek, supaya kakek tidak bersedih hati.”
Asma’ radhiyallahu anha memiliki sifat yang sangat dermawan. Pada mulanya, apabila ia akan mengeluarkan harta di jalan Allah ia akan menghitungnya dan menimbangnya. Akan tetapi, setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyimpan-nyimpan atau menghitung-hitung (harta yang akan diinfakkan). Apabila mampu, belanjakanlah sebanyak mungkin.”
Akhirnya setelah mendengar nasihat ini, Asma radhiyallahu anha semakin banyak menyumbangkan hartanya. Ia juga selalu menasehati anak-anak dan perempuan-perempuan yang ada di rumahnya, “Hendaklah kalian selalu meningkatkan diri dalam membelanjakan harta di jalan Allah, jangan menunggu-nunggu kelebihan harta kita dari keperluan-keperluan kita (yaitu jika ada sisa harta setelah dibelanjakan untuk keperluan membeli barang-barang, barulah sisa tersebut disedekahkan.) Jangan kalian berpikir tentang sisanya. Jika kalian selalu menunggu sisanya, sedangkan keperluan kalian bertambah banyak, maka itu tidak akan mencukupi keperluan kalian sehingga kita tidak memiliki kesempatan untuk membelanjakannya di jalan Allah. Jika keperluan itu disumbangkan di jalan Allah, maka kalian tidak akan mengalami kerugian selamanya.”
Beliau wafat pada tahun ke 73 H, beliau mencapai umur ke 100 tahun dan beliau tidak pikun selama hidupnya.


Periodenisasi pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin



I.                      Pendahuluan
 Fiqih mengalami fase perkembangan dengan sejarah yang sangat panjang, bermula dari diutusnya Rasulullah SAW., hingga pada zaman sekarang. Pada zaman Rasulullah SAW., masalah-masalah fiqih dapat ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW., setelah Rasulullah SAW., meninggal untuk menyelesaikan masalah membutuhkan istimbat para sahabat yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Nah, sudah semestinya jika seseorang ingin mempelajari suatu ilmu maka hendaknya dia menelusuri sejarah ilmunya terlebih dahulu. Dapat dikatakan tidak sempurna seseorang yang mempelajari ilmu fiqih kalau belum mempelajari bagaimana jalan kisah sejarahnya. Sebab, sejarah dan ilmu sangat berkaitan. Karenanya perlu adanya kajian atau tela’ah ilmu yang bersangkutan dengan sejarah ilmu fiqih itu sendiri.
II.                Topik Bahasan
Adapun pembagian sejarah fase-fase perkembangan dalam hukum Islam meajadi beberapa periode. Berikut rincian pembagiannya:
1.      Periode tasyri' pada masa Rasulullah SAW., dan masa Khulafa’ur Rasyidin
2.       Periode pembentukan fiqih. Mencakup pergerakan fiqih pada masa Dinasti Umawiyah. Pembahasannya mengenai Madrasah Ahlu Hijaz dan Madrasah Ahlu Iraq.
3.       Periode perkembangan fiqih, pembentukan madzhab, dan penulisan hadits serta fiqih.
4.      Periode taqlid dan tertutupnya pintu ijtihad setelah terbentuknya madzahib.
5.      Periode kebangkitan fiqih dan gerakan pembenahan agama pada masa kini untuk membuka pintu ijtihad.[1]
Namun dalam pembahasan berikutnya akan dibahas tentang periode tasyri’ pada masa Rasulullah SAW., dan masa Khulafa’ur Rasyidin.
III.             Pembahasan
1.      Periode Tasyri’ Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ur Rasyidin
a.      Mengenal Keadaan Bangsa Arab sebelum Islam
Sebelum diutusnya Rasulullah SAW., pada tahun 6 M dunia terbagi menjadi 2 bagian:
1.      Pemerintahan Persi yang terletak di Timur Laut dari Jazirah Arab.
2.      Pemerintahan Roma yang terletak di Utara dan Barat dari Jazirah Arab.
Kedua Negara ini memiliki peradaban masing-masing dalam pengetahuan dan perundang-undangan. Mereka juga mempunyai agama untuk dianut.[2]
Sedangkan, mayoritas bangsa Arab bersuku dari Badui yang tinggal di padang pasir, masyarakatnya terikat dengan aturan kesukuan yang ada, budaya mereka pun turun-menurun dari nenek moyang mereka. Mereka mempunyai pemimpin kabilah yang bertugas untuk merelai jika didapati adanya perselisihan diantara mereka dan pemimpin kabilah ini juga mempunyai tanggung jawab terhadap perintah dan larangan untuk mereka.[3]
Sebagian dari bangsa Arab ada yang tinggal di kota seperti Makkah, Yatsrib, dan Thaif. Mereka bercocok tanam, dan sebagian lainnya ada yang sudah mengenal produksi barang. Dari sinilah mereka mulai mengenal dasar-dasar tentang mu’amalah dan hubungan antar perdagangan. Oleh karena itu, mereka membutuhkan sebuah pasar yang besar dan berkumpulnya mereka ketika melaksanakan ibadah haji termasuk salah satu hal yang membantu dalam kemajuan peradapan mereka. Di kota Makkah Kaum Quraisy terkenal dengan perdagangannya. Mereka telah mempunyai hubungan perdagangan dengan kota Suriah (Romawi), Iraq (Syam), dan Yaman ketika musim dingin dan musim panas.[4]
Pada waktu itu bangsa Arab belum mempunyai pengetahuan dan peradaban tersendiri. Tetapi perselisihan yang ada  diantara Persi dan Romawi yang terus-menerus berpengaruh pada bangsa Arab. Secara diam-diamYahudi memiliki cabang di Negara Arab. Mereka mendiami daerah Taima', Fidak, Khaibar, dan Yatsrib. Sebagaimana Nashrani yang mengambil tempat di Najran.[5]
Adanya perdagangan dari pemerintahan Persi dan Romawi, serta kaum Yahudi dan Nashrani menjadi  perantara masuknya agama-agama dan pengetahuan bangsa tetangga ke Jazirah Arab. Padahal bangsa Arab telah mewarisi sesuatu dari agama Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il. Hanya saja mereka memiliki sebuah tabi’at kasar yang menghalanginya. Sebab lain yang menjadi penghalang adalah karena mereka banyak yang tidak tahu tersebarnya paham watsaniyah (menyembah berhala). Oleh karena itu, mereka hidup dalam kebingungan dan kebimbangan.
Demikianlah sedikit pengetahuan mengatahui keadaan Bangsa Arab sebelum adanya cahaya terang dari agama Islam.
b.      Tasyri’ pada Masa Rasulullah SAW
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa syari’ah itu hanya datang dari Allah SWT.,:
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.(QS. Asy-Syura: 21)

Syari'at tidak diturunkan kecuali pada masa Rasulullah SAW.,. Karena ketika Rasulullah SAW., wafat maka wahyu akan terputus. Tasyri' terbentuk dalam dua keadaan:
1.    Wahyu ilahy dalam lafadz dan makna. Itulah gambaran dalam Al-Qur'an Al-Karim yang diturunkan Allah  kepada Rasulullah Muhammad SAW.,.
2.    Wahyu ilahy secara makna saja, tidak pada lafadznya. Gambaran tasyri' yang demikian ada pada as-Sunnah. Lafadz hadits sumbernya dari diri Nabi Muhammad SAW., tetapi maknanya adalah wahyu dari Allah SWT.,.[6]
 Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.(3) ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)(4). (QS.An-Najm: 4-5)
Jadi, adanya syari’at itu hanya datang dari Allah SWT., dan Rasulullah SAW., yang bertugas sebagai penjelasnya. Allah SWT., memerintahkan kepada hamba-Nya untuk wajib taat kepada Rasulullah SAW., karena barangsiapa yang mentaati Rasulullah SAW., maka hal itu terasuk pula bentuk taat kepada Allah SWT.,.[7]

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa': 80).

Pada masa tasyri’ ini tidak ada syari'at kecuali yang disyari'atkan oleh Allah SWT., atau yang disyari'atkan melalui Rasul-Nya. Oleh karena itu, dalam tasyri' Islam memiliki dua dasar sumber penentuan hukum, yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah. Dengan berakhirnya kehidupan Rasulullah SAW.,maka berakhir pula masa tasyri'.[8]
Masa ini dimulai sejak Allah mengutus Rasulullah SAW., membawa ajaran agama Islam tahun 610 M sampai dengan beliau wafat pada tahun 632 M.[9]
Perkembangan fiqih pada masa ini hanya berlangsung beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Walaupun hanya sebentar akan tetapi, masa ini membawa pengaruh yang sangat besar dan penting sebab, seluruh permasalahan fiqih diserahkan langsung secara utuh kepada Rasulullah SAW., karena berpegang pada sumber hukum Islam dari Al-Qur'an dan as-Sunnah.[10]
Dengan terbentuknya syari’at,  fase ini terbagi menjadi dua fase yang sangat berbeda sekali sejarahnya. Adapun dua fase tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Fase Makkah
Fase Makkah yaitu  fase yang pada saat itu Rasulullah SAW., berada di Makkah selama 12 tahun beberapa bulan, dihitung dari diangkatnya beliau menjadi Rasul sampai dengan beliau hijrah ke Madinah.[11]
Dalam fase ini keadaan umat Islam di Makkah masih sangat sedikit, masih lemah, dan belum mempunyai suatu pemerintahan yang kuat. Rasulullah SAW., memfokuskan pada penyebaran aqidah dan membersihkan aqidah dari penyembahan berhala kepada Allah SWT., karena aqidah yang benar akan menjadi pondasi dalam setiap kehidupan.
Dengan dimulainya dakwah Rasulullah SAW., dari pengubahan aqidah masyarakat yang berkeyakinan musyrik menuju aqidah yang lurus yaitu bertauhid kepada Allah SWT., serta senantiasa untuk menghiasi diri disetiap keadaan dengan akhlak-akhlak yang terpuji dan menjauhi akhlak-akhlak yang tercela, maka pada fase ini Rasulullah SAW., belum menentukan hukum syari’at Islam. Contohnya terdapat dalam surat-surat yang turun di Makkah seperti Yunus, al-Furqon, Yasin, al-Hadid, dll. Surat-surat tersebut membahas tentang kepercayaan, budi pekerti, dan tauladan/cerita dari perjalanan hidup ummat terdahulu.
2. Fase Madinah
Fase Madinah yaitu fase yang dimulai dari hijrahnya Rsulullah SAW., ke Madinah hingga beliau wafat. Fase ini berlangsung kurang lebih selama 10 tahun.[12]
Perkembangan umat Islam terhitung sangat pesat dan banyak pengikutnya secara terus-menerus. Bertambahnya umat Islam yang banyak mendorong akan perlunya mengadakan perundang-undangan yang dapat mengatur setiap kondisi masyarakat dari berbagai hal yang berhubungan dengannya. Karenanya, perkembangan tasyri’ pada fase ini dititik beratkan pada aspek hukum-hukum syari’at seperti: hukum yang berkaitan dengan mu’amalah, pernikahan, peperangan, had-had, harta warisan, dll. Hukum-hukum tersebut tercakup pula dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah seperti surat al-Baqarah, Ali Imron, an-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah, an-Nur, al-Ahzab, dll.[13]
c.       Sumber Perundang-Undangan pada Masa Rasulullah SAW
Dalam maenentukan hukum pada masa ini sumber perundang-undangan yang dipakai adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah.
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an secara bahasa berasal dari fi’il madhi qara’a yang mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun.[14] Qur’an pada awalnya sama seperti qira’ah. Qira’ah yaitu masdar dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan yang berarti menghimpun kata-kata satu dengan yang lainnya dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.[15] Allah SWT., berfirman:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.(17) apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.(18). (QS.Al-Qiyamah: 17-18)
Al-Qur’an secara istilah adalah kalam Allah SWT., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang sampai pada kita secara mutawatir dan kita dapat beribadah dengan membacanya serta mengamalkan hukum-hukum yang ada di dalamnya. Al-Qur'an juga berfungsi sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW., benar-benar mendapat risalah dari Allah SWT.,.[16]
Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir karena apabila terjadi sesuatu yang perlu adanya pembentukan hukum dengan sebab adanya suatu perselisihan, suatu peristiwa, suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW., satu ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an guna untuk menjelaskan hukum yang akan diketahuinya dan sesuai dengan peristiwa kejadian, kemudian Rasulullah SAW., menyampaikan kepada ummat Islam apa-apa yang sudah diwahyukan Allah SWT., kepada Beliau, maka apa yang sudah diwahyukan tadi menjadi sebuah hukum dan wajib ditaati. Seperti firman Allah SWT., :
 Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (Al-Hasyr: 7).

Hukum-hukum yang dicakup dalam Al-Qur’an itu pada garis besarnya terbagi menjadi 3 bagian:
a.       Hukum-hukum I’tiqdiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah SWT.,, Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Akhir. Hukum ini menerangkan tentang dasar agama.
b.      Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan sifat-sifat yang utama dimana manusia wajib berhias dengannya, dan sifat-sifat yang hina dimana manusia wajib menghindarinya. Hukum ini menjelaskan tentang akhlaq.
c.       Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum-hukum. Hukum ini disebut juga sebagai fiqih. Itulah yang dimaksud “Hukum” secara umum. [17]
Barang siapa yang meneliti fiqih dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, maka dia akan menemui bahwa setiap cabang hukum dari cabang-cabang perundang-undangan terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang khusus menjelaskan hukum-hukumnya.
Ø   Cabang ibadah dengan segala macamnya sejumlah sekitar 140 ayat.
Ø   Cabang akhwal syakhsyiyyah meliputi perkawinan, perceraian, pewarisan, washiyat, pengampunan dan lain-lain, sejumlah sekitar  70 ayat.
Ø   Cabang keperdataan berupa jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, perserikatan, perdagangan, hutang piutang dan lain-lain, sejumlah sekitar 70 ayat.
Ø   Cabang kepidanaan yakni meliputi perbuatan pidana, ancamannya, dan realisasi hukumannya, kurang lebih ada 30 ayat.
Ø   Cabang bidang peradilan dan persaksian dan hal-hal yang bersangkutan dengannya, berjumlah kurang lebih 20 ayat. [18]
2.      As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti jalan. Entah itu baik atau buruk. Penggunaan lafadz as-Sunnah dengan makna telah ada dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabawy.[19]
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi[610] Sesungguhnya akan Berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu. (QS. Al-Anfal: 38)
Makna As-Sunnah menurut Fuqaha' adalah sesuatu yang ditetapkan dari Rasulullah SAW., yang tidak wajib. Sunnah termasuk salah satu dari hukum yang lima. Wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Terkadang sunnah juga digunakan sebagai penyebutan lawan kata dari bid'ah.[20]
Sunnah menurut Ushuliyun adalah segala yang bersumber dari Rasulullah SAW., selain Al-Qur'an baik dari perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau.[21]
Menurut Muhaditsin sunnah adalah seluruh peninggalan dari Rasulullah SAW.,baik dari perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat, maupun sejarahnya. Menurut kebanyakan dari mereka, sunnah serupa dengan hadits.[22]
As-Sunnah menduduki urutan kedua dalam sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an karena as-Sunnah menjelaskan Al-Qur’an.
Derajat as-Sunnah dalam hukum dibagi menjadi 4 bagian:
As-Sunnah menjadi penguat untuk Al-Qur’an.
1)   As-Sunnah menjadi penjelas dari Al-Qur’an.
-          As-Sunnah menjelaskan yang masih global dalam Al-Qur’an.
-          As-Sunnah mengkhususkan yang umum dari Al-Qur’an.
-          As-Sunnah mengikat yang mutlaq dari Al-Qur’an.
2)   As-Sunnah menghapus hukum dalam Al-Qur’an.
3)   As-Sunnah datang dengan hukum baru. [23]
2. Tasyri’ pada masa Khulafa’ur Rasyidin
Perkembangan tasyri’ masa ini bermula setelah wafatnya Rasulullah SAW., yaitu pada tahun 11 H sampai dengan 40 H[24] atau 632 M sampai dengan 661M.[25]
Pemerintahan setelah wafatnya Rasulullah SAW., adalah Abu Bakar Ash-Shidiq, setelahnya Umar bin Khottob, Utsman bin Affan, dan yang terakhir Ali bin Abi Thalib. Keempat pemimpin setelah Rasulullah SAW., inilah yang sering dikenal sebagai Khulafa’ur Rasyidin.
Beberapa peristiwa sejarah yang terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin, diantaranya:
1.      Keadaan politik bernegara
Setiap kholifah memiliki sejarah dalam politik bernegara. Setelah meninggalnya Rasulullah SAW., kejadian yang hangat pada saat itu adalah mengangkat seorang sahabat menjadi kholifah penganti Rasulullah SAW., karena Rasulullah SAW., sendiri tidak menunjuk salah satu sahabat untuk menjadi kholifah.
a.       Abu Bakar Ash-Shidiq

Peristiwa pengangkatan Abu Bakar Ash-Shidiq menjadi kholifah sedikit menggundang perdebatan antara kaum Anshor (suku ‘Aus dan suku Khazraj) dan kaum muhajirin. Kaum Ashor menghendaki dari merekalah kholifah dipilih karena menurut mereka tanpa mereka Islam tidak akan bisa jaya pada saat itu. Walaupun pada dasarnya kedua suku tersebutlah yang meminta Rasulullah SAW., dan kaum Muhajirin datang bertujuan untuk mendamaikan dua suku itu. Setelah Rasulullah SAW., wafat kedua suku tersebut kembali terjadi perselisihan karena belum ada yang dapat mendamaikan mereka, lalu datanglah kaum Muhajirin yang dipimpin oleh Abu bakar Ash-Shidiq, dan Umar bin Khottob. Kemudian Umar bin Khottob dan para sahabat yang lainnya langsung memproklamasikan bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq dari golongan kaum Muhajirinlah yang menjadi kholifah setelah Rasulullah SAW.,. Pada awalnya kaum Anshor tidak menerima keputusan itu tetapi, pada akhirnya mereka pun ikut berbai’at kepeda Abu Bakar Ash-Shidiq. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan “Tsaqifah”.
Dalam kekholifahan Abu Bakar Ash-Shidiq terdapat kaum yang menentang untuk mengeluarkan zakat dan yang mengaku sebagai nabi yang telah mendapat wahyu dari Allah SWT.,. Mereka yang mengaku sebagai nabi adalah: Aswad Al-‘Insiy di Yaman, Musailamah Al-Khadzab dari  Bani Hanifah di Yamamah, Tholhah dari Bani Asad, dan Sajah dari Bani Tamim.[26]
Kholifah Abu Bakar Ash-Shidiq memimpin selama 2 tahun, yaitu tahun 11-13 H.[27] Kholifah Abu Bakar Ash-Shidiq menghembuskan nafas terakhir pada hari selasa 8 hari dari terakhir bulan jumadil akhir tahun 13 H.[28]
b.      Umar bin Khottob
Pada masa kekholifahan ini mulai timbul adanya fiqih karena banyak permasalan yang muncul serta meluasnya agama Islam di Jazirah Arab. Sumber hukum yang digunakan adalah Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijtihad para sahabat. Apabila terjadi suatu permasalahan para sahabat melihat dulu dalam Al-Qur’an, jika sudah didapati hukumnya maka hukum itulah yang dipakai, adapun jika tidak didapati dalam Al-Qur’an tetapi mereka menemukan hukum dalam as-Sunnah maka hukum itu yang ditaati. Apabila para sahabat tidak menjumpai hukum dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah barulah mereka mengadakan ijtihad.
Kholifah Umar bin Khottob bukanlah seseorang yang pandai dalam peperangan akan tetapi dalam masalah politik beliau termasuk orang yang pemberani dalam mengambil keputusan, beliau menambahkan lafadz “hayya ‘ala sholah” dalam adzan.
Terdapat permasalahan-permasalahan yang muncul pada zaman kholifah Umar bin Khottob. Masalah-masalah tersebut ialah:
1.      Penaklukan Negara Syam, Persi, Romawi, Mesir dan banyaknya ghonimah (harta rampasan perang).
2.      Permasalahan baru dalam pembagian pasukan dan jumlahnya.
3.      Permasalahan  hukum di Negara yang berbeda.
4.      Para shahabat masih terkumpul di Madinah sehingga ijma’ lebih dominan digunakkan.[29]
Kekhalifahannya berakhir setelah Beliau syahid akibat tikaman belati beracun saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak Persia, Abu Lu’luah al – Majusi. Umar bin Khottob Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H atau 643 M dan memerintah selama 10 tahun lamanya.[30] 
c.       Utsman bin Affan
Utsman bin Affan menjadi kholifah pada usia 70 tahun. Beliau memimpin dari tahun 23 – 35 H atau 644 – 656 M.[31] Pada awalnya pemerintahan Utsman bin Affan masih stabil dan lancar akan tetapi setelah adanya fitnah dari Abdullah bin Saba’ maka, timbullah permasalahan.
Kekholifahan Ustman bin Affan berakhir setelah adanya fitnah tersebut dan para pemberontak masuk ke dalam kediaman khalifah lalu membunuhnya pada saat beliau sedang membaca Al-Qur’an.
Menurut Nafi’ Kholifah Ustman bin Affan di bunuh pada hari jum’at 17 hari atau 18 hari yang dekat dari bulan dzul hijjah tahun 35 H.[32] Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman adalah al – Ghafiqi.[33]
d.      Ali bin Abi Thalib
Kholifah Ali bin Abi Thalib diba’iat menjadi kholifah bukan atas kemauan sendiri namun atas kemauan para shahabat. Beliau menjadi kholifah terkenal dalam kepandaian ilmunya dan seorang yang pemberani di dalam medan perang, banyak orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang ketiganya meninggal akibat pedang Ali bin Abi Thalib. Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali bin Abi Thalib seolah – olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di sekelilingnya, seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang saat itu sangat membencinya.
Kholifah Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan sehingga terjadilah peperangan yang dipimpin oleh Abi Musa Al-Asy’ari dari pasukan Ali bin Abi Thalib dan Amar bin Ash dari pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Dari peperangan ini mengakibatkan terpecahnya ummat Islam menjadi 3 golongan: golongan Khowarij, golongan Syi’ah, dan golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.[34]
Menurut Abu Bakar Al-Baraqiy, kholifah Ali binAbi tholib meninggal di usia 57 tahun ada juga yang mengatakan 58 tahun. Kekholifahan Beliau berlangsung selama 5 tahun kurang 3 bulan. Pendapat lain mengatakan 4 tahun 9 bulan 6 hari. Dikatakan juga 4 tahun 9 bulan 3 hari.[35]
2.      Sumber perundang-undangan pada masa khulafa’ur Rasyidin
Sumber perundang-undangan pada periode ini ada 4 macam:
1.      Al-Qur’an.
2.      As-Sunnah.
3.      Ijma’.
4.      Qiyas. [36]
Apabila terjadi suatu permasalahan langkah yang pertama diambil  para sahabat adalah melihat dalil dari Al-Qur’an. Kalau mereka sudah mendapatkan nash yang menunjukkan hukum maka mereka melaksanakan hukum tersebut. Adapun jika didapatkan hukum dari nash as-Sunnah maka hukum itulah yang dipakai. Namun, jika belum didapatkan suatu hukum masalah dari Al-Qur’an dan as-Sunnah maka mereka melakukan yang disebut dengan ijma’ dan mereka mengqiyaskan masalah tersebut dengan masalah yang sudah pernah ada dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
3.      Pengumpulan Al-Qur’an
Para Ulama’ mengartikan pengumpulan Al-Qur’an dengan dua pengertian:
A.  Pengumpulan dalam arti hifdzu (menghafal dalam hati) atau jumma’ul Qur’an artinya huffadzuhu (orang yang menghafalnya dalam hati).
B.   Pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya).[37]
Pengumpulan dalam arti hifdzu adalah menghafal dan memahaminya sedang pengumpulan dalam arti kittabuhu kullihi yaitu penulisan wahyu Al-Qur’an khusus untuk para sahabat yang terkemuka, seperti Mu’awiyyah, Ali bin Abi Thalib, ‘Ubai bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit.  Sebenarnya banyak diantara para shahabat yang sudah menghafalkan seluruh ayat dari Al-Qur’an. Hanya saja pada pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an pada waktu itu belum menjadi satu kitab yang lengkap seperti sekarang ini. Dahulu ayat Al-Qur’an kadang-kadang ditulis di atas daun kering, di atas batu, dan di atas pelepah kurma.
Ketika peperangan sudah berkecamuk dalam rangka memberantas orang murtad pada zaman kekhilafahan Abu Bakar Ash-Shidiq, banyak sahabat yang wafat pada peperangan ini. Para pemimpin pun khawatir jika ada bagian dari Al-Qur'an yang hilang bersamaan dengan wafatnya mereka. Maka Abu Bakar Ash-Shidiq mengusulkan untuk mengumpulkan nash Al-Qur'an yang tersebar di berbagai tempat menjadi satu koleksi kitab yang lengkap antara sebagian dengan sebagian yang lain. Abu Bakar Ash-Shidiq melimpahkan tugas ini pada Zaid bin Tsabit, seorang penulis wahyu yang terkenal dan seorang sahabat yang paling hafal Al-Qur'an.[38]
Nash yang telah terkumpul ini disimpan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq. Ketika beliau wafat Umar bin Khottob mengambil alih penjagaan mushaf.  Setelah Umar bin Khottob wafat, yang menjaganya Ummul mukminin Hafshah.[39]
Pada tahun 20 Hijriyah khalifah Utsman bin Affan mengambil teks Al-Qur'an ini dari Ummul mukminin Hafshah dan memerintahkan Zaid bin Tsabit dan sebagian sahabat lain untuk menulis ulang naskah tersebut agar mushaf dapat disebarkan ke seluruh penjuru negeri agar setiap kaum muslim mudah merujuk pada Al-Qur'an dan juga agar tidak terjadi perselisihan logat dalam pembacaan Al-Qur'an. Ada enam mushaf yang dituliskan. Satu disimpan oleh khalifah Utsman  bin Affan dan sisanya disebar ke Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, dan Damaskus. Mushaf-mushaf yang ada diletakkan di masjid-masjid umum untuk menjadi pegangan/pedoman ummat Islam. Dengan adanya Al-Qur'an kaum muslimin dapat menjadikannya sebagai rujukan dan mereka dapat menghafalnya. Mereka dapat menukil dari Al-Qur'an tanpa harus merubah atau menggantinya.[40]
Adapun sumber perundang-undangan yang kedua yaitu nash-nash hukum yang terdapat dalam as-Sunnah belum dibukukan pada periode ini, sebab kholifah Umar bin Khottob khawatir jika ada pembekuan as-Sunnah akan mengakibatkan bercampurnya antara as-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4.      Contoh permasalahan yang disepakati para sahabat
a.       Pengangkatan Kholifah
Pada awalnya terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor dalam mengangkat seorang kholifah setelah wafatnya Rasulullah SAW.,. Namun, pada akhirnya para sahabat bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai kholifah.
b.      Perselisihan dalam menempatkan kuburan Rasulullah SAW
Dalam masalah ini walau sempat terjadi perselisihan akan tetapi sahabat telah menyepakati untuk mengkuburkan Rasulullah di tempat Beliau meninggal. 
c.       Larangan untuk penduduk Arab yang tidak mau mengeluarkan zakat
Dahulu pada zaman Rasulullah SAW., penduduk Arab wajib untuk mengeluarkan zakat dan mereka telah mentaatinya akan tetapi, pada kekholifahan Abu Bakar Ash-Shidiq setelah meninggalnya Rasulullah SAW., sebagian dari mereka ada yang menolak untuk mengeluarkan zakat.
Abu Bakar Ash-Shidiq memutuskan untuk memerangi mereka. Sahabat Umar bin Khottob tidak menyetujui keputusan kholifah Abu Bakar Ash-Shidiq tersebut dengan dalil bahwa Rasulullah SAW., pernah bersabda: “Aku memerintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan syahadat”, lalu Abu Bakar Ash-Shidiq menjawab, “Wallahi, jika mereka tidak mau membayar zakat sekecil yang mereka bayar pada masa Rasulullah SAW., maka aku akan memerangi mereka”. Dengan jawaban yang mengejutkan tersebut Umar bin Khottob pun menyepakati pendapat Abu Bakar Ash-Shidiq untuk memerangi kaum yang menolak untuk mengeluarkan zakat.
d.      Abu Bakar Ash-Shidiq menolak fatimah yang menginginkan warisan dari Rasulullah SAW
Bahwasanya Rasulullah SAW., tidak mewarisi sedikitpun harta dari yang Beliau miliki. Adapun apabila ada harta peninggalan Rasulullah kesemuaanya itu adalah shodaqoh. Inilah sebab Abu Bakar Ash-Shidiq menolak fatimah yang menginginkan warisan dari Rasulullah SAW.,.
e.       Pembekuan Al-Qur’an
Setelah proses yang panjang dalam pembekuan dan penulisan Al-Qur’an dalam satu buku yang lengkap dan tertib maka, para sahabat telah menyepakati pembekuan Al-Qur’an mengunakan rasmul usmani.
5.      Contoh permasalahan yang dipersilisihkan diantara para sahabat
a.       Ghanimah
Ghanimah menurut bahasa adalah kemenangan yang diperoleh tanpa mengalami kesukaran. Adapun menurut istilah berarti harta yang diambil dari pihak musuh yang berperang (ahlu al-harb) dengan cara paksa dan mengalahkan.[41]
Terjadi perselisihan pada zaman Rasulullah SAW., dan Umar bin Khottob tentang pembagian ghanimah. Pada zaman Rasulullah SAW., seorang mu’allaf mendapat bagian dari ghanimah dengan tujuan untuk menarik perhatian para berbeda pada zaman Umar bin Khottob seorang mu’allaf tidak mendapat bagian dari ghanimah.
b.      Hukuman bagi peminum khamr
Dalam menghukum peminum khamr setiap masa kekholifahan mempunyai hukuman yang berbeda-beda. Pada masa Rasulullah SAW., peminum khamr belum ada hukuman tertentu, pada masa kholifah Abu Bakar Ash-Shidiq peminum khamr diberi hukuman dengan memukulkan sandal/baju, sedangkan pada masa kekholifahan Umar bin Khottob hukuman peminum khamr adalah 40 kali cambukan namun, setelah muncul pendapat dari Abdullah bin Auf hukuman menjadi 80 kali cambukan karena peminum khamr meningkat dengan pesat.
c.       Riba fadl
Riba fadl adalah jual beli dengan tambahan pada salah satu barang yang saling ditukar.[42] Dalam hal ini para sahabat masih memperselisihkan hukumnya. Menurut jumhur adalah haram tetapi menurut Ibnu Abbas boleh.[43]
d.      Sholat tarawih
Pada masa Rasulullah SAW., belum ada syari’at untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid. Pada masa kekholifahan Umar bin Khottob kaum muslimin sudah mencapai angka yang banyak. Kholifah Umar bin Khottob memutuskan  untuk melaksanakan sholat tarawih berjama’ah dengan menunjuk satu imam dikarenakan pada waktu itu kaum muslimin melaksanakan sholat tarawih dalam satu masjid dengan membuat jama’ah sendiri-sendiri.
e.       Thalaq tsalasah
Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu menyatakan, “Praktik talak pada masa Rasulullah SAW., Abu Bakar Ash-Shidiq, dan dua tahun kepemimpinan Umar bin Khottob adalah talak tiga yang diucapkan sekaligus seperti “Kamu saya talak tiga”, atau “saya cerai kamu, saya cerai kamu, saya cerai kamu”, hanya berlaku sebagai talak satu. Tapi pada masa berikutnya Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya kini banyak masyarakat yang menganggap mudah dengan hendak mempercepat dan mempermainkan persoalan yang sebenarnya dahulu dilakukan dengan santai.” Lalu Umar bin Khottob pun menetapkan seperti adanya menjadi talaq tiga.[44]
f.        Masa ‘iddah wanita yang sedang hamil 
Masa ‘iddah wanita ini berakhir ketika melahirkan kandungannya. Dalilnya adalah.,
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.(Ath-Thalaq: 4)
Pendapat lain bahwasannya masa ‘iddah wanita ini sama seperti masa ‘iddah wanita pada umumnya yaitu empat bulan sepuluh hari.(al-baqarah: 234)
6.      Sebab-sebab adanya perselisihan
Apabila terjadi suatu permasalahan pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Khottob dapat diselesaikan dengan ijma’, artinya tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat karena mereka bersama-sama memutuskan hukum suatu peristiwa hukum yang belum diatur dalam Al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah Islam tersebar ke Mesir, Kufah, Basrah dan banyak negara lain, maka para sahabat banyak yang keluar Madinah, tinggal di kota-kota tersebut, dan mulailah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, disebabkan :
1.      Perbedaan pendapat yang disebabkan dalam memahami Al-Quran
Misalnya: Dalam Al Quran terdapat kata yang bermakna ganda. Seperti:
  
           Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (Q.S. Al-Baqarah: 228). Lafadz Quru' dapat diartikan suci atau haidh.

2.      Perbedaan pendapat yang disebabkan dalam mendengar dan mengambil nash dari as-Sunnah
Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama dalam memahami as-Sunnah. Kadang-kadang riwayat telah sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai kepada sahabat yang lain.
3.      Perbedaan pendapat dalam memutuskan hukum dengan ijtihad ketika tidak didapatkan hukum
IV.             Penutup
Pada awalnya bangsa Arab belum mempunyai hukum tasyri’ tertentu. Setelah diutusnya Rasulullah sejarah tasyri’ mulai tertoreh. Dasar hukum yang digunakkan pada masa Rasulullah berupa Al-Qur’an dan as-Sunnah. Berlanjut ke masa berikutnya adalah tasyri’ pada masa khulafa’ur Rasyidin. Pada tasyri’ ini mulailah timbul perselisihan dalam permasalahan. Maka, dasar hukum yang digunakkan berupa Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dengan sebab adanya perselisihan ada beberapa hal yang disepakati dan diperselihihkan dalam masa khulafa’ur rasyidin.
V.                Daftar pustaka
Abu Malik Kamal bin Malik. 2008 M. Fiqih Sunah untuk Wanita. Cet. 1. Jakarta Timur: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Al-Daqqaq, Muhammad dan Al-Qadi, Abdullah. 2006 M. Al-Kamil Fi Al-Tarih. Cet. 4. Lebanon: Darul Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Al-Jazari, Izzudin Ibnu Al-Atiir. 2008 M. Usud Al-Gabah Fi Ma’rifati As-Sahabah. Cet. 3. Lebanon: Darul Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Al-Qattan, Manna. At-Tasyri’ Wa Al-Fiqih Al-Islam, Musasah Ar-Risalah.
Al-Qattan, Manna Khalil. 2013 M. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Cet. 16. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1994 M. Al-Wajiz Fi Usul Fiqih. Cet. 1. Damaskus: Darul fikr.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2007 M. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Cet. 10. Damaskus: Darul Fikr.
Khollaf, Abdullah Wahhab. 1988 M. Ringkasan Sejarah Perundang-Undangan Islam. Cet. 3. Solo: C.V Ramadhani.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997 M. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Cet. 14. Surabaya: Pustaka Progressif.
http://hasibabdillah92. blogspot. com/2014/01/sejarah-hukum-islam-masa-khulafaur. Html.


[1]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua 1982 M, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah), Hal: 25.
[2]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah), Hal: 29.
[3]. Ibid, Hal: 31.
[4]. Ibid.
[5]. Ibid, Hal: 32.
[6]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah), Hal: 34.
[7]. Ibid.
[8]. Manna Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah), Hal: 34.
[9]. Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, cetakan ketiga, (Solo: Ramadhani), Hal: 8.
[10]. Ibid,Hal: 9.
[11]. Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, cetakan ketiga, (Solo: Ramadhani), Hal: 8.
[12]. Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, cetakan ketiga, (Solo: Ramadhani), Hal: 10.
[13]. Ibid.
[14]. Ahcmad Warson Munawwir , Al munawwir, cetakan keempat belas,Hal: 1102.
[15]. Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Hal: 16.
[16]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah),Hal: 40.
[17]. Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, cetakan ketiga, (Solo: Ramadhani), Hal: 27.
[18]. Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, Abdul Wahab Khalaf, Hal: 29-30.
[19]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah), Hal: 87.
[20]. Ibid, Hal: 87-88.
[21]. Ibid, Hal: 88.
[22]. Ibid.
[23]. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Al Wajiz Fi Usul Fiqih, cetakan pertama, (Damaskus: Darul Fikri), Hal: 38-39.
[24]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah),Hal: 121.
[25]. http://hasibabdillah92.blogspot.com/2014/01/sejarah-hukum-islam-masa-khulafaur.html

[26]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah),Hal: 124.
[27]. http://hasibabdillah92.blogspot.com/2014/01/sejarah-hukum-islam-masa-khulafaur.html
[28]. Ibn Al-Atiir Al-Jazri , Al-Kamil fi Al-Tarikh (2006), juz: 2, hal: 267.
[29]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah),Hal: 124.
[30].  Http://hasibabdillah92.blogspot.com/2014/01/sejarah-hukum-islam-masa-khulafaur.html
[31].  Ibid.
[32]. Izzudin Ibnu Al-Atiir Al-Jazri, Usud Al-Gabah fi Ma’rifat Al-Shahabah, Hal: 585. Juz 3.
[33]. Http://hasibabdillah92.blogspot.com/2014/01/sejarah-hukum-islam-masa-khulafaur.html
[34]. Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, cetakan ketiga, (Solo: Ramadhani), Hal: 46.
[35]. Izzudin Ibnu Al-Atiir Al-Jazri, Usud Al-Gabah fi Ma’rifat Al-Shahabah, Hal: 115. Juz 4.
[36]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah),Hal: 128.
[37]. Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Hal: 178-179.
[38]. Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, cetakan ketiga, (Solo: Ramadhani), Hal: 36.
[39]. Ibid.
[40]. Abdul Wahab Khalaf, Khulashah Tarikh At-Tasyri' Al-Islamy, cetakan ketiga, (Solo: Ramadhani), Hal: 37.
[41]. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, cetakan keseuluh, (Damaskus: Darul Fikr), juz: 8, hal: 73.
[42]. Ibid, juz: 5, hal: 311.
[43]. Manna' Al-Qathan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqh Fi Al-Islam, cetakan kedua, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah),Hal: 144.
[44]. Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Fiqih Sunnah untuk Wanita, cetakan pertama (Darul Bayan Al-Haditsah), hal: 764.