I.
Pendahuluan
Fiqih mengalami fase perkembangan dengan
sejarah yang sangat panjang, bermula dari diutusnya Rasulullah SAW., hingga
pada zaman sekarang. Pada zaman Rasulullah SAW., masalah-masalah fiqih dapat
ditanyakan secara langsung kepada Rasulullah SAW., setelah Rasulullah SAW.,
meninggal untuk menyelesaikan masalah membutuhkan istimbat para sahabat yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Nah, sudah semestinya jika
seseorang ingin mempelajari suatu ilmu maka hendaknya dia menelusuri sejarah
ilmunya terlebih dahulu. Dapat dikatakan tidak sempurna seseorang yang
mempelajari ilmu fiqih kalau belum mempelajari bagaimana jalan kisah
sejarahnya. Sebab, sejarah dan ilmu sangat berkaitan. Karenanya perlu adanya
kajian atau tela’ah ilmu yang bersangkutan dengan sejarah ilmu fiqih itu
sendiri.
II.
Topik Bahasan
Adapun pembagian
sejarah fase-fase perkembangan dalam hukum Islam meajadi beberapa periode.
Berikut rincian pembagiannya:
1.
Periode tasyri' pada masa Rasulullah
SAW., dan masa Khulafa’ur Rasyidin
2.
Periode pembentukan fiqih. Mencakup
pergerakan fiqih pada masa Dinasti Umawiyah. Pembahasannya mengenai Madrasah
Ahlu Hijaz dan Madrasah Ahlu Iraq.
3.
Periode perkembangan fiqih,
pembentukan madzhab, dan penulisan hadits serta fiqih.
4.
Periode taqlid dan tertutupnya
pintu ijtihad setelah terbentuknya madzahib.
5.
Periode kebangkitan fiqih dan
gerakan pembenahan agama pada masa kini untuk membuka pintu ijtihad.
Namun dalam pembahasan berikutnya akan dibahas tentang periode
tasyri’ pada masa Rasulullah SAW., dan masa Khulafa’ur Rasyidin.
III.
Pembahasan
1.
Periode
Tasyri’ Pada Masa Rasulullah SAW dan Khulafa’ur
Rasyidin
a.
Mengenal Keadaan
Bangsa Arab sebelum Islam
Sebelum diutusnya
Rasulullah SAW., pada tahun 6 M dunia terbagi menjadi 2 bagian:
1.
Pemerintahan Persi yang terletak di
Timur Laut dari Jazirah Arab.
2.
Pemerintahan Roma yang terletak di
Utara dan Barat dari Jazirah Arab.
Kedua Negara
ini memiliki peradaban masing-masing dalam pengetahuan dan perundang-undangan.
Mereka juga mempunyai agama untuk dianut.
Sedangkan, mayoritas
bangsa Arab bersuku dari Badui yang tinggal di padang pasir, masyarakatnya
terikat dengan aturan kesukuan yang ada, budaya mereka pun turun-menurun dari
nenek moyang mereka. Mereka mempunyai pemimpin kabilah yang bertugas untuk
merelai jika didapati adanya perselisihan diantara mereka dan pemimpin kabilah
ini juga mempunyai tanggung jawab terhadap perintah dan larangan untuk mereka.
Sebagian dari
bangsa Arab ada yang tinggal di kota seperti Makkah, Yatsrib, dan Thaif. Mereka
bercocok tanam, dan sebagian lainnya ada yang sudah mengenal produksi barang.
Dari sinilah mereka mulai mengenal dasar-dasar tentang mu’amalah dan hubungan antar
perdagangan. Oleh karena itu, mereka membutuhkan sebuah pasar yang besar dan
berkumpulnya mereka ketika melaksanakan ibadah haji termasuk salah satu hal
yang membantu dalam kemajuan peradapan mereka. Di kota Makkah Kaum Quraisy
terkenal dengan perdagangannya. Mereka telah mempunyai hubungan perdagangan
dengan kota Suriah (Romawi), Iraq (Syam), dan Yaman ketika musim dingin dan
musim panas.
Pada waktu itu bangsa Arab belum mempunyai pengetahuan dan
peradaban tersendiri. Tetapi perselisihan yang ada diantara Persi dan Romawi yang terus-menerus
berpengaruh pada bangsa Arab. Secara diam-diamYahudi memiliki cabang di Negara
Arab. Mereka mendiami daerah Taima', Fidak, Khaibar, dan Yatsrib. Sebagaimana
Nashrani yang mengambil tempat di Najran.
Adanya perdagangan dari pemerintahan Persi dan Romawi, serta kaum
Yahudi dan Nashrani menjadi perantara
masuknya agama-agama dan pengetahuan bangsa tetangga ke Jazirah Arab. Padahal bangsa
Arab telah mewarisi sesuatu dari agama Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il. Hanya
saja mereka memiliki sebuah tabi’at kasar yang menghalanginya. Sebab lain yang
menjadi penghalang adalah karena mereka banyak yang tidak tahu tersebarnya
paham watsaniyah (menyembah berhala). Oleh karena itu, mereka hidup
dalam kebingungan dan kebimbangan.
Demikianlah
sedikit pengetahuan mengatahui keadaan Bangsa Arab sebelum adanya cahaya terang
dari agama Islam.
b.
Tasyri’ pada
Masa Rasulullah SAW
Sebagaimana
telah kita ketahui bahwa syari’ah itu hanya datang dari Allah SWT.,:
Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah?.(QS.
Asy-Syura: 21)
Syari'at tidak
diturunkan kecuali pada masa Rasulullah SAW.,. Karena ketika Rasulullah SAW.,
wafat maka wahyu akan terputus. Tasyri' terbentuk dalam dua keadaan:
1.
Wahyu ilahy dalam lafadz dan makna.
Itulah gambaran dalam Al-Qur'an Al-Karim yang diturunkan Allah kepada Rasulullah Muhammad SAW.,.
2.
Wahyu ilahy secara makna saja,
tidak pada lafadznya. Gambaran tasyri' yang demikian ada pada as-Sunnah. Lafadz
hadits sumbernya dari diri Nabi Muhammad SAW., tetapi maknanya adalah wahyu
dari Allah SWT.,.
Dan tiadalah
yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.(3) ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)(4). (QS.An-Najm:
4-5)
Jadi, adanya
syari’at itu hanya datang dari Allah SWT., dan Rasulullah SAW., yang
bertugas sebagai penjelasnya. Allah SWT., memerintahkan kepada hamba-Nya untuk
wajib taat kepada Rasulullah SAW., karena barangsiapa yang mentaati Rasulullah SAW.,
maka hal itu terasuk pula bentuk taat kepada Allah SWT.,.
Barangsiapa yang
mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa': 80).
Pada masa
tasyri’ ini tidak ada syari'at kecuali yang disyari'atkan oleh Allah SWT., atau
yang disyari'atkan melalui Rasul-Nya. Oleh karena itu, dalam tasyri' Islam memiliki
dua dasar sumber penentuan hukum, yaitu Al-Qur'an dan as-Sunnah. Dengan
berakhirnya kehidupan Rasulullah SAW.,maka berakhir pula masa tasyri'.
Masa ini
dimulai sejak Allah mengutus Rasulullah SAW., membawa ajaran agama Islam tahun
610 M sampai dengan beliau wafat pada tahun 632 M.
Perkembangan
fiqih pada masa ini hanya berlangsung beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih
dari 22 tahun beberapa bulan. Walaupun hanya sebentar akan tetapi, masa ini
membawa pengaruh yang sangat besar dan penting sebab, seluruh permasalahan
fiqih diserahkan langsung secara utuh kepada Rasulullah SAW., karena
berpegang pada sumber hukum Islam dari Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Dengan
terbentuknya syari’at, fase ini terbagi
menjadi dua fase yang sangat berbeda sekali sejarahnya. Adapun dua fase
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Fase Makkah
Fase Makkah yaitu fase yang pada saat itu Rasulullah SAW., berada
di Makkah selama 12 tahun beberapa bulan, dihitung dari diangkatnya beliau
menjadi Rasul sampai dengan beliau hijrah ke Madinah.
Dalam fase ini
keadaan umat Islam di Makkah masih sangat sedikit, masih lemah, dan belum
mempunyai suatu pemerintahan yang kuat. Rasulullah SAW., memfokuskan pada
penyebaran aqidah dan membersihkan aqidah dari penyembahan berhala kepada Allah
SWT., karena aqidah yang benar akan menjadi pondasi dalam setiap kehidupan.
Dengan dimulainya
dakwah Rasulullah SAW., dari pengubahan aqidah masyarakat yang berkeyakinan
musyrik menuju aqidah yang lurus yaitu bertauhid kepada Allah SWT., serta
senantiasa untuk menghiasi diri disetiap keadaan dengan akhlak-akhlak yang
terpuji dan menjauhi akhlak-akhlak yang tercela, maka pada fase ini Rasulullah SAW.,
belum menentukan hukum syari’at Islam. Contohnya terdapat dalam surat-surat
yang turun di Makkah seperti Yunus, al-Furqon, Yasin, al-Hadid, dll.
Surat-surat tersebut membahas tentang kepercayaan, budi pekerti, dan
tauladan/cerita dari perjalanan hidup ummat terdahulu.
2. Fase Madinah
Fase Madinah yaitu
fase yang dimulai dari hijrahnya Rsulullah SAW., ke Madinah hingga
beliau wafat. Fase ini berlangsung kurang lebih selama 10 tahun.
Perkembangan
umat Islam terhitung sangat pesat dan banyak pengikutnya secara terus-menerus.
Bertambahnya umat Islam yang banyak mendorong akan perlunya mengadakan
perundang-undangan yang dapat mengatur setiap kondisi masyarakat dari berbagai
hal yang berhubungan dengannya. Karenanya, perkembangan tasyri’ pada fase ini
dititik beratkan pada aspek hukum-hukum syari’at seperti: hukum yang berkaitan
dengan mu’amalah, pernikahan, peperangan, had-had, harta warisan, dll.
Hukum-hukum tersebut tercakup pula dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah
seperti surat al-Baqarah, Ali Imron, an-Nisa’, al-Maidah, al-Anfal, at-Taubah,
an-Nur, al-Ahzab, dll.
c.
Sumber
Perundang-Undangan pada Masa Rasulullah SAW
Dalam
maenentukan hukum pada masa ini sumber perundang-undangan yang dipakai adalah
Al-Qur’an dan as-Sunnah.
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an secara
bahasa berasal dari fi’il madhi qara’a yang mempunyai arti mengumpulkan
atau menghimpun.
Qur’an pada awalnya sama seperti qira’ah. Qira’ah yaitu masdar
dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan yang berarti menghimpun kata-kata
satu dengan yang lainnya dalam suatu ucapan yang tersusun rapi.
Allah SWT., berfirman:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.(17) apabila Kami
telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.(18). (QS.Al-Qiyamah:
17-18)
Al-Qur’an secara istilah adalah kalam Allah SWT., yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW., yang sampai pada kita secara mutawatir dan
kita dapat beribadah dengan membacanya serta mengamalkan hukum-hukum yang ada
di dalamnya. Al-Qur'an juga berfungsi sebagai bukti bahwa Rasulullah SAW.,
benar-benar mendapat risalah dari Allah SWT.,.
Al-Qur’an
diturunkan secara mutawatir karena apabila terjadi sesuatu yang perlu adanya
pembentukan hukum dengan sebab adanya suatu perselisihan, suatu peristiwa,
suatu pertanyaan, atau permintaan fatwa, maka Allah mewahyukan Al-Qur’an kepada
Rasulullah SAW., satu ayat atau beberapa ayat Al-Qur’an guna untuk menjelaskan
hukum yang akan diketahuinya dan sesuai dengan peristiwa kejadian, kemudian
Rasulullah SAW., menyampaikan kepada ummat Islam apa-apa yang sudah diwahyukan Allah
SWT., kepada Beliau, maka apa yang sudah diwahyukan tadi menjadi sebuah hukum
dan wajib ditaati. Seperti firman Allah SWT., :
Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya. (Al-Hasyr: 7).
Hukum-hukum
yang dicakup dalam Al-Qur’an itu pada garis besarnya terbagi menjadi 3 bagian:
a.
Hukum-hukum I’tiqdiyah,
yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah SWT.,,
Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Akhir. Hukum ini
menerangkan tentang dasar agama.
b.
Hukum-hukum Khuluqiyah,
yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan sifat-sifat yang utama dimana manusia
wajib berhias dengannya, dan sifat-sifat yang hina dimana manusia wajib
menghindarinya. Hukum ini menjelaskan tentang akhlaq.
c.
Hukum-hukum Amaliyah, yaitu
hukum-hukum. Hukum ini disebut juga sebagai fiqih. Itulah yang dimaksud “Hukum”
secara umum.
Barang siapa
yang meneliti fiqih dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, maka dia akan menemui bahwa
setiap cabang hukum dari cabang-cabang perundang-undangan terdapat beberapa
ayat Al-Qur’an yang khusus menjelaskan hukum-hukumnya.
Ø Cabang ibadah
dengan segala macamnya sejumlah sekitar 140 ayat.
Ø Cabang akhwal
syakhsyiyyah meliputi perkawinan, perceraian, pewarisan, washiyat,
pengampunan dan lain-lain, sejumlah sekitar
70 ayat.
Ø Cabang
keperdataan berupa jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, perserikatan,
perdagangan, hutang piutang dan lain-lain, sejumlah sekitar 70 ayat.
Ø Cabang
kepidanaan yakni meliputi perbuatan pidana, ancamannya, dan realisasi
hukumannya, kurang lebih ada 30 ayat.
Ø Cabang bidang
peradilan dan persaksian dan hal-hal yang bersangkutan dengannya, berjumlah
kurang lebih 20 ayat.
2.
As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti jalan. Entah
itu baik atau buruk. Penggunaan lafadz as-Sunnah dengan makna telah ada
dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabawy.
Katakanlah kepada
orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu;
dan jika mereka kembali lagi[610] Sesungguhnya akan Berlaku (kepada mereka)
sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu. (QS. Al-Anfal: 38)
Makna As-Sunnah menurut Fuqaha' adalah sesuatu
yang ditetapkan dari Rasulullah SAW., yang tidak wajib. Sunnah termasuk salah
satu dari hukum yang lima. Wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Terkadang
sunnah juga digunakan sebagai penyebutan lawan kata dari bid'ah.
Sunnah menurut Ushuliyun adalah segala yang
bersumber dari Rasulullah SAW., selain Al-Qur'an baik dari perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan beliau.
Menurut Muhaditsin sunnah adalah seluruh
peninggalan dari Rasulullah SAW.,baik dari perkataan, perbuatan, ketetapan,
sifat, maupun sejarahnya. Menurut kebanyakan dari mereka, sunnah serupa dengan
hadits.
As-Sunnah menduduki urutan kedua dalam sumber
hukum Islam setelah Al-Qur’an karena as-Sunnah menjelaskan Al-Qur’an.
Derajat as-Sunnah dalam hukum dibagi menjadi 4
bagian:
As-Sunnah menjadi penguat untuk Al-Qur’an.
1)
As-Sunnah menjadi penjelas dari
Al-Qur’an.
-
As-Sunnah menjelaskan yang masih
global dalam Al-Qur’an.
-
As-Sunnah mengkhususkan yang umum
dari Al-Qur’an.
-
As-Sunnah mengikat yang mutlaq dari
Al-Qur’an.
2)
As-Sunnah menghapus hukum dalam
Al-Qur’an.
3)
As-Sunnah datang dengan hukum baru.
2. Tasyri’ pada masa Khulafa’ur Rasyidin
Perkembangan
tasyri’ masa ini bermula setelah wafatnya Rasulullah SAW., yaitu pada tahun 11
H sampai dengan 40 H
atau 632 M sampai dengan 661M.
Pemerintahan
setelah wafatnya Rasulullah SAW., adalah Abu Bakar Ash-Shidiq,
setelahnya Umar bin Khottob, Utsman bin Affan, dan yang terakhir Ali bin Abi
Thalib. Keempat pemimpin setelah Rasulullah SAW., inilah yang sering dikenal
sebagai Khulafa’ur Rasyidin.
Beberapa
peristiwa sejarah yang terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin, diantaranya:
1.
Keadaan politik bernegara
Setiap
kholifah memiliki sejarah dalam politik bernegara. Setelah meninggalnya
Rasulullah SAW., kejadian yang hangat pada saat itu adalah mengangkat seorang
sahabat menjadi kholifah penganti Rasulullah SAW., karena Rasulullah SAW.,
sendiri tidak menunjuk salah satu sahabat untuk menjadi kholifah.
a.
Abu Bakar Ash-Shidiq
Peristiwa
pengangkatan Abu Bakar Ash-Shidiq menjadi kholifah sedikit menggundang perdebatan
antara kaum Anshor (suku ‘Aus dan suku Khazraj) dan kaum muhajirin. Kaum Ashor
menghendaki dari merekalah kholifah dipilih karena menurut mereka tanpa mereka
Islam tidak akan bisa jaya pada saat itu. Walaupun pada dasarnya kedua suku
tersebutlah yang meminta Rasulullah SAW., dan kaum Muhajirin datang bertujuan
untuk mendamaikan dua suku itu. Setelah Rasulullah SAW., wafat kedua
suku tersebut kembali terjadi perselisihan karena belum ada yang dapat
mendamaikan mereka, lalu datanglah kaum Muhajirin yang dipimpin oleh Abu bakar
Ash-Shidiq, dan Umar bin Khottob. Kemudian Umar bin Khottob dan para sahabat
yang lainnya langsung memproklamasikan bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq dari golongan
kaum Muhajirinlah yang menjadi kholifah setelah Rasulullah SAW.,. Pada awalnya
kaum Anshor tidak menerima keputusan itu tetapi, pada akhirnya mereka pun ikut
berbai’at kepeda Abu Bakar Ash-Shidiq. Peristiwa ini terkenal dengan sebutan
“Tsaqifah”.
Dalam
kekholifahan Abu Bakar Ash-Shidiq terdapat kaum yang menentang untuk
mengeluarkan zakat dan yang mengaku sebagai nabi yang telah mendapat wahyu dari
Allah SWT.,. Mereka yang mengaku sebagai nabi adalah: Aswad Al-‘Insiy di Yaman,
Musailamah Al-Khadzab dari Bani Hanifah
di Yamamah, Tholhah dari Bani Asad, dan Sajah dari Bani Tamim.
Kholifah Abu
Bakar Ash-Shidiq memimpin selama 2 tahun, yaitu tahun 11-13 H.
Kholifah Abu Bakar Ash-Shidiq menghembuskan nafas terakhir pada hari selasa 8
hari dari terakhir bulan jumadil akhir tahun 13 H.
b.
Umar bin Khottob
Pada masa kekholifahan
ini mulai timbul adanya fiqih karena banyak permasalan yang muncul serta
meluasnya agama Islam di Jazirah Arab. Sumber hukum yang digunakan adalah
Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijtihad para sahabat. Apabila terjadi suatu
permasalahan para sahabat melihat dulu dalam Al-Qur’an, jika sudah didapati
hukumnya maka hukum itulah yang dipakai, adapun jika tidak didapati dalam
Al-Qur’an tetapi mereka menemukan hukum dalam as-Sunnah maka hukum itu yang
ditaati. Apabila para sahabat tidak menjumpai hukum dalam Al-Qur’an dan
as-Sunnah barulah mereka mengadakan ijtihad.
Kholifah Umar
bin Khottob bukanlah seseorang yang pandai dalam peperangan akan tetapi dalam
masalah politik beliau termasuk orang yang pemberani dalam mengambil keputusan,
beliau menambahkan lafadz “hayya ‘ala sholah” dalam adzan.
Terdapat
permasalahan-permasalahan yang muncul pada zaman kholifah Umar bin Khottob.
Masalah-masalah tersebut ialah:
1.
Penaklukan Negara Syam, Persi,
Romawi, Mesir dan banyaknya ghonimah (harta rampasan perang).
2.
Permasalahan baru dalam pembagian
pasukan dan jumlahnya.
3.
Permasalahan hukum di Negara yang berbeda.
4.
Para shahabat masih terkumpul di
Madinah sehingga ijma’ lebih dominan digunakkan.
Kekhalifahannya
berakhir setelah Beliau syahid akibat tikaman belati beracun saat sedang
melakukan sholat subuh, oleh seorang mantan budak Persia, Abu Lu’luah al –
Majusi. Umar bin Khottob Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H atau 643 M dan
memerintah selama 10 tahun lamanya.
c.
Utsman bin Affan
Utsman bin
Affan menjadi kholifah pada usia 70 tahun. Beliau memimpin dari tahun 23 – 35 H
atau 644 – 656 M.
Pada awalnya pemerintahan Utsman bin Affan masih stabil dan lancar akan tetapi
setelah adanya fitnah dari Abdullah bin Saba’ maka, timbullah permasalahan.
Kekholifahan
Ustman bin Affan berakhir setelah adanya fitnah tersebut dan para pemberontak
masuk ke dalam kediaman khalifah lalu membunuhnya pada saat beliau sedang
membaca Al-Qur’an.
Menurut Nafi’
Kholifah Ustman bin Affan di bunuh pada hari jum’at 17 hari atau 18 hari yang
dekat dari bulan dzul hijjah tahun 35 H. Beberapa
riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman adalah al – Ghafiqi.
d.
Ali bin Abi Thalib
Kholifah Ali
bin Abi Thalib diba’iat menjadi kholifah bukan atas kemauan sendiri namun atas
kemauan para shahabat. Beliau menjadi kholifah terkenal dalam kepandaian
ilmunya dan seorang yang pemberani di dalam medan perang, banyak orang yang terbunuh di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara
Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang ketiganya meninggal akibat pedang Ali bin Abi
Thalib. Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali bin Abi Thalib seolah –
olah sedang menumbuhkan musuh – musuh di sekelilingnya, seperti Mu’awiyah bin
Abi Sufyan yang saat itu sangat membencinya.
Kholifah Ali bin Abi Thalib mendapat tantangan dari Mu’awiyah bin Abi
Sufyan sehingga terjadilah peperangan yang dipimpin oleh Abi Musa Al-Asy’ari
dari pasukan Ali bin Abi Thalib dan Amar bin Ash dari pasukan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Dari peperangan ini mengakibatkan terpecahnya ummat Islam menjadi 3
golongan: golongan Khowarij, golongan Syi’ah, dan golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Menurut Abu Bakar Al-Baraqiy, kholifah Ali binAbi tholib meninggal di usia
57 tahun ada juga yang mengatakan 58 tahun. Kekholifahan Beliau berlangsung
selama 5 tahun kurang 3 bulan. Pendapat lain mengatakan 4 tahun 9 bulan 6 hari.
Dikatakan juga 4 tahun 9 bulan 3 hari.
2.
Sumber perundang-undangan pada masa
khulafa’ur Rasyidin
Sumber
perundang-undangan pada periode ini ada 4 macam:
1.
Al-Qur’an.
2.
As-Sunnah.
3.
Ijma’.
4.
Qiyas.
Apabila terjadi suatu permasalahan langkah
yang pertama diambil para sahabat adalah
melihat dalil dari Al-Qur’an. Kalau mereka sudah mendapatkan nash yang
menunjukkan hukum maka mereka melaksanakan hukum tersebut. Adapun jika
didapatkan hukum dari nash as-Sunnah maka hukum itulah yang dipakai. Namun,
jika belum didapatkan suatu hukum masalah dari Al-Qur’an dan as-Sunnah maka
mereka melakukan yang disebut dengan ijma’ dan mereka mengqiyaskan masalah
tersebut dengan masalah yang sudah pernah ada dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
3.
Pengumpulan Al-Qur’an
Para Ulama’
mengartikan pengumpulan Al-Qur’an dengan dua pengertian:
A.
Pengumpulan dalam arti hifdzu
(menghafal dalam hati) atau jumma’ul Qur’an artinya huffadzuhu
(orang yang menghafalnya dalam hati).
B. Pengumpulan dalam arti kitabuhu
kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya).
Pengumpulan dalam arti hifdzu adalah
menghafal dan memahaminya sedang pengumpulan dalam arti kittabuhu kullihi
yaitu penulisan wahyu Al-Qur’an khusus untuk para sahabat yang terkemuka,
seperti Mu’awiyyah, Ali bin Abi Thalib, ‘Ubai bin Ka’ab, dan Zaid bin
Tsabit. Sebenarnya banyak diantara para
shahabat yang sudah menghafalkan seluruh ayat dari Al-Qur’an. Hanya saja pada
pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an pada waktu itu belum menjadi satu kitab yang
lengkap seperti sekarang ini. Dahulu ayat Al-Qur’an kadang-kadang ditulis di
atas daun kering, di atas batu, dan di atas pelepah kurma.
Ketika
peperangan sudah berkecamuk dalam rangka memberantas orang murtad pada zaman kekhilafahan
Abu Bakar Ash-Shidiq, banyak sahabat yang wafat pada peperangan ini. Para
pemimpin pun khawatir jika ada bagian dari Al-Qur'an yang hilang bersamaan
dengan wafatnya mereka. Maka Abu Bakar Ash-Shidiq mengusulkan untuk
mengumpulkan nash Al-Qur'an yang tersebar di berbagai tempat menjadi satu
koleksi kitab yang lengkap antara sebagian dengan sebagian yang lain. Abu Bakar
Ash-Shidiq melimpahkan tugas ini pada Zaid bin Tsabit, seorang penulis wahyu
yang terkenal dan seorang sahabat yang paling hafal Al-Qur'an.
Nash yang telah terkumpul ini disimpan oleh Abu Bakar Ash-Shidiq.
Ketika beliau wafat Umar bin Khottob mengambil alih penjagaan mushaf. Setelah Umar bin Khottob wafat, yang
menjaganya Ummul mukminin Hafshah.
Pada tahun 20
Hijriyah khalifah Utsman bin Affan mengambil teks Al-Qur'an ini dari Ummul
mukminin Hafshah dan memerintahkan Zaid bin Tsabit dan sebagian sahabat
lain untuk menulis ulang naskah tersebut agar mushaf dapat disebarkan ke
seluruh penjuru negeri agar setiap kaum muslim mudah merujuk pada Al-Qur'an dan
juga agar tidak terjadi perselisihan logat dalam pembacaan Al-Qur'an. Ada enam
mushaf yang dituliskan. Satu disimpan oleh khalifah Utsman bin Affan dan sisanya disebar ke Madinah,
Makkah, Kufah, Bashrah, dan Damaskus. Mushaf-mushaf yang ada diletakkan di
masjid-masjid umum untuk menjadi pegangan/pedoman ummat Islam. Dengan adanya
Al-Qur'an kaum muslimin dapat menjadikannya sebagai rujukan dan mereka dapat
menghafalnya. Mereka dapat menukil dari Al-Qur'an tanpa harus merubah atau
menggantinya.
Adapun sumber
perundang-undangan yang kedua yaitu nash-nash hukum yang terdapat dalam
as-Sunnah belum dibukukan pada periode ini, sebab kholifah Umar bin Khottob
khawatir jika ada pembekuan as-Sunnah akan mengakibatkan bercampurnya antara
as-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4.
Contoh permasalahan yang disepakati
para sahabat
a.
Pengangkatan Kholifah
Pada awalnya
terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor dalam mengangkat
seorang kholifah setelah wafatnya Rasulullah SAW.,. Namun, pada akhirnya para
sahabat bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai kholifah.
b.
Perselisihan dalam menempatkan
kuburan Rasulullah SAW
Dalam masalah
ini walau sempat terjadi perselisihan akan tetapi sahabat telah menyepakati
untuk mengkuburkan Rasulullah di tempat Beliau meninggal.
c.
Larangan untuk penduduk Arab yang
tidak mau mengeluarkan zakat
Dahulu pada
zaman Rasulullah SAW., penduduk Arab wajib untuk mengeluarkan zakat dan mereka
telah mentaatinya akan tetapi, pada kekholifahan Abu Bakar Ash-Shidiq setelah
meninggalnya Rasulullah SAW., sebagian dari mereka ada yang menolak untuk
mengeluarkan zakat.
Abu Bakar
Ash-Shidiq memutuskan untuk memerangi mereka. Sahabat Umar bin Khottob tidak
menyetujui keputusan kholifah Abu Bakar Ash-Shidiq tersebut dengan dalil bahwa
Rasulullah SAW., pernah bersabda: “Aku memerintahkan
untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan syahadat”, lalu Abu Bakar
Ash-Shidiq menjawab, “Wallahi, jika mereka tidak mau membayar zakat sekecil
yang mereka bayar pada masa Rasulullah SAW., maka aku akan memerangi mereka”.
Dengan jawaban yang mengejutkan tersebut Umar bin Khottob pun menyepakati
pendapat Abu Bakar Ash-Shidiq untuk memerangi kaum yang menolak untuk
mengeluarkan zakat.
d.
Abu Bakar Ash-Shidiq menolak
fatimah yang menginginkan warisan dari Rasulullah SAW
Bahwasanya
Rasulullah SAW., tidak mewarisi sedikitpun harta dari yang Beliau miliki.
Adapun apabila ada harta peninggalan Rasulullah kesemuaanya itu adalah
shodaqoh. Inilah sebab Abu Bakar Ash-Shidiq menolak fatimah yang menginginkan
warisan dari Rasulullah SAW.,.
e.
Pembekuan Al-Qur’an
Setelah proses
yang panjang dalam pembekuan dan penulisan Al-Qur’an dalam satu buku yang
lengkap dan tertib maka, para sahabat telah menyepakati pembekuan Al-Qur’an
mengunakan rasmul usmani.
5.
Contoh permasalahan yang
dipersilisihkan diantara para sahabat
a.
Ghanimah
Ghanimah
menurut bahasa adalah kemenangan yang diperoleh tanpa mengalami kesukaran.
Adapun menurut istilah berarti harta yang diambil dari pihak musuh yang
berperang (ahlu al-harb) dengan cara paksa dan mengalahkan.
Terjadi
perselisihan pada zaman Rasulullah SAW., dan Umar bin Khottob tentang pembagian
ghanimah. Pada zaman Rasulullah SAW., seorang mu’allaf mendapat bagian
dari ghanimah dengan tujuan untuk menarik perhatian para berbeda pada zaman
Umar bin Khottob seorang mu’allaf tidak mendapat bagian dari ghanimah.
b.
Hukuman bagi peminum khamr
Dalam
menghukum peminum khamr setiap masa kekholifahan mempunyai hukuman yang
berbeda-beda. Pada masa Rasulullah SAW., peminum khamr belum ada hukuman
tertentu, pada masa kholifah Abu Bakar Ash-Shidiq peminum khamr diberi hukuman
dengan memukulkan sandal/baju, sedangkan pada masa kekholifahan Umar bin
Khottob hukuman peminum khamr adalah 40 kali cambukan namun, setelah muncul
pendapat dari Abdullah bin Auf hukuman menjadi 80 kali cambukan karena peminum
khamr meningkat dengan pesat.
c.
Riba fadl
Riba fadl adalah
jual beli dengan tambahan pada salah satu barang yang saling ditukar.
Dalam hal ini para sahabat masih memperselisihkan hukumnya. Menurut jumhur
adalah haram tetapi menurut Ibnu Abbas boleh.
d.
Sholat tarawih
Pada masa
Rasulullah SAW., belum ada syari’at untuk melaksanakan shalat tarawih di
masjid. Pada masa kekholifahan Umar bin Khottob kaum muslimin sudah mencapai
angka yang banyak. Kholifah Umar bin Khottob memutuskan untuk melaksanakan sholat tarawih berjama’ah
dengan menunjuk satu imam dikarenakan pada waktu itu kaum muslimin melaksanakan
sholat tarawih dalam satu masjid dengan membuat jama’ah sendiri-sendiri.
e.
Thalaq tsalasah
Ibnu Abbas radiyallahu
‘anhu menyatakan, “Praktik talak pada masa Rasulullah SAW., Abu Bakar
Ash-Shidiq, dan dua tahun kepemimpinan Umar bin Khottob adalah talak tiga yang
diucapkan sekaligus seperti “Kamu saya talak tiga”, atau “saya cerai kamu, saya
cerai kamu, saya cerai kamu”, hanya berlaku sebagai talak satu. Tapi pada masa
berikutnya Umar bin Khottob berkata, “Sesungguhnya kini banyak masyarakat yang
menganggap mudah dengan hendak mempercepat dan mempermainkan persoalan yang
sebenarnya dahulu dilakukan dengan santai.” Lalu Umar bin Khottob pun
menetapkan seperti adanya menjadi talaq tiga.
f.
Masa ‘iddah wanita yang sedang hamil
Masa ‘iddah wanita ini berakhir ketika
melahirkan kandungannya. Dalilnya adalah.,
Dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan
yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.(Ath-Thalaq: 4)
Pendapat lain bahwasannya masa ‘iddah wanita
ini sama seperti masa ‘iddah wanita pada umumnya yaitu empat bulan sepuluh
hari.(al-baqarah: 234)
6.
Sebab-sebab adanya perselisihan
Apabila
terjadi suatu permasalahan pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar
bin Khottob dapat diselesaikan dengan ijma’, artinya tidak terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para sahabat karena mereka bersama-sama memutuskan hukum
suatu peristiwa hukum yang belum diatur dalam Al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah Islam
tersebar ke Mesir, Kufah, Basrah dan banyak negara lain, maka para sahabat
banyak yang keluar Madinah, tinggal di kota-kota tersebut, dan mulailah terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, disebabkan :
1.
Perbedaan pendapat yang disebabkan dalam memahami Al-Qur’an
Misalnya: Dalam Al Quran terdapat kata yang bermakna ganda. Seperti:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'. (Q.S. Al-Baqarah: 228). Lafadz Quru' dapat
diartikan suci atau haidh.
2.
Perbedaan pendapat yang disebabkan dalam mendengar dan mengambil nash
dari as-Sunnah
Tidak semua
sahabat memiliki penguasaan yang sama dalam memahami as-Sunnah. Kadang-kadang
riwayat telah sampai kepada seorang sahabat tetapi belum atau tidak sampai
kepada sahabat yang lain.
3.
Perbedaan pendapat dalam memutuskan hukum dengan ijtihad
ketika tidak didapatkan hukum
IV.
Penutup
Pada awalnya
bangsa Arab belum mempunyai hukum tasyri’ tertentu. Setelah diutusnya
Rasulullah sejarah tasyri’ mulai tertoreh. Dasar hukum yang digunakkan pada
masa Rasulullah berupa Al-Qur’an dan as-Sunnah. Berlanjut ke masa berikutnya
adalah tasyri’ pada masa khulafa’ur Rasyidin. Pada tasyri’ ini mulailah timbul
perselisihan dalam permasalahan. Maka, dasar hukum yang digunakkan berupa
Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dengan sebab adanya perselisihan ada
beberapa hal yang disepakati dan diperselihihkan dalam masa khulafa’ur
rasyidin.
V.
Daftar pustaka
Abu Malik
Kamal bin Malik. 2008 M. Fiqih Sunah untuk Wanita. Cet. 1. Jakarta
Timur: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Al-Daqqaq,
Muhammad dan Al-Qadi, Abdullah. 2006 M. Al-Kamil Fi Al-Tarih. Cet. 4.
Lebanon: Darul Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Al-Jazari,
Izzudin Ibnu Al-Atiir. 2008 M. Usud Al-Gabah Fi Ma’rifati As-Sahabah. Cet.
3. Lebanon: Darul Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Al-Qattan,
Manna. At-Tasyri’ Wa Al-Fiqih Al-Islam, Musasah Ar-Risalah.
Al-Qattan,
Manna Khalil. 2013 M. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Cet. 16. Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 1994 M. Al-Wajiz Fi Usul Fiqih. Cet. 1. Damaskus: Darul fikr.
Az-Zuhaili,
Wahbah. 2007 M. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Cet. 10. Damaskus: Darul Fikr.
Khollaf,
Abdullah Wahhab. 1988 M. Ringkasan Sejarah Perundang-Undangan Islam. Cet.
3. Solo: C.V Ramadhani.
Munawwir,
Ahmad Warson. 1997 M. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Cet. 14.
Surabaya: Pustaka Progressif.
.
http://hasibabdillah92.blogspot.com/2014/01/sejarah-hukum-islam-masa-khulafaur.html