pahala mujtahid


I.     Pendahuluan
Undang-undang hukum Islam pada zaman Rasulullah SAW berupa al-Qur’an dan as-Sunnah yang dipegang langsung oleh Rasulullah SAW. Undang-undang tersebut sudah pasti dan tidak dapat dirubah. Apabila salah seorang sahabat mendapati suatu masalah mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW sehingga sedikit sekali perselisihan antara satu pendapat dengan perndapat yang lainnya.
Berbeda jauh dengan zaman sekarang  yang selalu berkembang, zaman yang membutuhkan seorang hakim atau ulama ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat  untuk memecahkan sebuah hukum dalam suatu permasalahan yang tidak pernah habis dan selalu berkembang dengan berbagai macam masalah kontemporer. Untuk itu, adakah seseorang pada zaman sekarang yang mumpuni dalam bidang mengeluarkan sebuah hukum Islam menurut syari’at? Jika ada, apakah pendapat mereka sudah benar atau salah? Lalu, balasan apa yang pantas diperoleh jika pendapatnya benar dan pendapatnya salah?
II.  Pembahasan
A.    Definisi
Definisi secara bahasa: Mujtahid merupakan isim fa’il dari fi’il “jahada-yadhadu-jahdan” yang mempunyai arti berusaha dengan sungguh-sungguh.[1]
Definisi secara istilah: Mujtahid adalah seorang faqih yang mencurahkan segala kemampuannya untuk menghasilkan suatu perkiraan tentang hukum syar’i serta memiliki syarat-syarat tertentu dalam ilmu usul fiqih.[2] Dalam buku “Al-Bahru Al-Muhid Fi Usul Al-Fiqhi”, Mujtahid adalah seseorang yang mencurahkan segala kemampuannya dalam memperoleh hukum syar’i secara terperinci.[3] Dan dalam majalah Hujjah Mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan berijtihad atau menggali sendiri hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya.[4]
B.     Syarat-Syarat Mujtahid
Menjadi seorang mujtahid merupakan pekerjaan yang tidak mudah, didalamnya terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Secara umum syarat-syarat menjadi mujtahid adalah beragama Islam, baligh dan berakal. Namun, syarat-syarat tersebut belum mencukupi untuk menjadi seorang mujtahid dalam berijtihad. Berikut ini syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid:
1.      Mengetahui tentang Kitab Allah SWT
Seorang mujtahid wajib mengetahui kitab Allah SWT. Karena, didalamnya terdapat hukum-hukum yang sudah pasti dan sumber pokok dalam berijtihad. Sudah semestinya seorang mujtahid memiliki ilmu yang berkaitan dengan Kitab Allah SWT, seperti: mengetahui asbabul nuzul (sebab-sebab turunnya Kitab Allah), nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang dihapus), makki (turun di Makkah) dan madani (turun di Madinah), ‘aam (keumuman) dan khash (kekhususan), mutlaq dan muqayyad, dan mahkum dan mutasyabah.
Imam Syafi’i berkata, “Tidaklah seseorang itu berkata halal atau haram kecuali telah memiliki ilmu tentang al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.”[5]
Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali meringgankan 2 perkara dalam mengetahui kitab Allah SWT:[6]
a.         Tidak mensyaratkan untuk mengetahui semua isi al-Qur’an akan tetapi cukup mengetahui ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukumnya dan batas minimalnya 500 ayat.
b.         Tidak mensyaratkan untuk menghafalkannya akan tetapi, hendaknya ia mengetahui pokok-pokok ayat permasalahan hukum ketika dibutuhkan pada waktunya.
2.      Mengetahui as-Sunnah
As-Sunnah merupakan sumber undang-undang Islam kedua setelah al-Qur’an. As-Sunnah menjadi derajat kedua setelah al-Qur’an dengan berbagai sebab, diantaranya: as-sunnah menguatkan al-Qur’an, as-Sunnah menjelaskan al-Qur’an (baik menjelaskan secara terperinci, mengkhususkan yang umum dalam isi al-Qur’an, atau mengikat lafadz yang masih mutlak), as-Sunnah dapat mendatangkan hukum baru.[7]
As-Sunnah terdiri dari perkatan Rasulullah SAW, perbuatannya atau dari ketentuan Rasulullah SAW. Maka seseorang yang hendak berijtihad harus mengetahui dari tiga macam bentuk sunnah Rasulullah tersebut, mulai dari hukum-hukumnya secara keseluruhan, maqashid secara umum, hingga dari hukum-hukum yang terperinci, sebagian ataupun khusus.
Dalam mempelajari ilmu mengenai as-Sunnah harus mencakup ilmu tentang makna mufrodatnya, tarkibnya, dan maksud dalam suatu pembicaraan, mengetahui ilmu mustholah hadist, rijalul hadist, mengetahui tingkatan-tingkatan kuat dan lemahnya sanad untuk mengetahui derajat keshohihan, membandingkan hadist yang kuat dengan selainnya, dan mengetahui nasikh dan mansukh hadist.[8]
Para ulama usul tidak berbeda pendapat dalam persyaratan mengetahui hadist-hadist yang berkaitan dengan hukum-hukum yang mengkhususkannya. Akan tetapi, terjadi perselihihan pendapat didalam batasan jumlah hadist-hadist hukum yang shohih.[9]
3.      Mengetahui tentang Ilmu Bahasa Arab
Sudah diketahui bahwa al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa arab dan as-Sunnah ditulis dengan bahasa arab. Oleh karena itu, seseorang yang ingin mendalami sumber perundang-undangan Islam untuk dijadikan rujukan ketika ijtihad harus mengetahui ilmu berbahsa arab.
Ilmu bahasa arab meliputi nahwu, shorof, makna kosa kata, balaghoh dan ilmu bayan, sehingga seorang mujtahid dapat membedakan antara makna asli dan makna yang samar, antara yang sebenarnya dan yang berupa majaz, antara kata yang memilki makna banyak dan yang serupa.[10]
4.      Mengetahui Ilmu Tentang Usul Fiqih
Ilmu ini merupakan ilmu pedoman yang memiliki banyak kaidah yang harus diketahui oleh seorang mujtahid agar dapat mencapai tujuan dalam mengeluarkan hukum. Didalam ilmu ini seorang mujtahid dapat mengetahui kebanaran dalam berhukum, dalil-dalilnya serta syarat-syaratnya, pengambilan dalil-dalil, cara mengambil dalil yang paling kuat di antara dalil-dalil yang bertentangan, mengetahui nasikh dan mansukh serta syarat-syaratnya, mengetahui qiyas beserta syarat, rukun dan macam-macamnya, dan ilmu lainnya yang dibutuhkan mujtahid ketika mengeluarkan hukum.
5.      Mengetahui Permasalahan Hukum yang telah menjadi Ijma’
Salah satu hal yang harus diketahui seorang mujtahid adalah membedakan kebenaran hukum ijma’ sehingga tidak ada fatwa yang menyelisihi ketentuan ijma’. Sebagaimana harus mengetahui nash-nash sehingga tidak ada fatwa lain yang menyelisihinya.
C.    Tingkatan Mujtahid
Sikap seorang mufti yang hendak berijtihad adalah harus mengetahui kedudukan ulama yang pendapatnya dijadikan fatwa, baik kedudukannya dalam kemampuan ilmu riwayah maupun ilmu diroyah. Begitu juga ia harus mengetahui derajat ulama tersebut di kalangan para fuqaha, sehingga dapat membedakan di antara pendapat-pendapat yang bertentangan dan membuat tarjih dengan mengutamakan yang paling kuat.
Berikut ini tingkatan-tingkatan mujtahid:[11]
1.      Mujtahid Mustaqill
Mujtahid Mustaqill ialah mujtahid yang mampu membuat kaidah untuk dirinya sendiri. Mujtahid ini membina fiqih di atas kaidah-kaidah tersebut. Yang termasuk mujtahid dalam kategori ini adalah Imam Madzhab yang empat. Ibnu Abidin menamakan thabaqah (tingkatan) ini sebagai thabaqah al-mujtahidn dalam syara’.
2.      Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqill
Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqill ialah mujtahid yang memiliki syarat-syarat berijtihad yang dimiliki mujtahid mustaqill, tetapi tidak menciptakan kaidah-kaidah sendiri, melainkan dia mengikuti cara salah seorang dari para imam mujtahid. Jadi, mereka sebenarnya muntasib (mengikuti) bukan mustaqill (berdiri sendiri). Contohnya, murid-murid para Imam yang empat seperti Abu Yusuf, Muhammad, dan Zufar dari madzhab Hanafi. Ibnul Qasim, Asyhab, Asad ibnul Furat dari madzhab Maliki. Al-Buwaiti dan al-Muzaini dari madzhab Syafi’i. Dan seperti juga Abu Bakar al-Marwazi dari madzhab Hambali.
Ibnu Abidin menamakan tingkatan ini sebagai thabaqah al-mujtahidin dalam madzhab. Mereka berupaya mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’ menurut kaidah yang ditetapkan oleh guru mereka dalam mengeluarkan hukum. Meskipun dalam sebagian hukum, mereka berbeda pendapat dengan guru mereka, tetapi mereka mengikutinya dalam kaidah-kaidah yang utama.  
3.      Mujtahid Muqayyad
Mujtahid Muqayyad disebut juga dengan mujtahid dalam masalah–masalah yang tidak ada nash dari Imam Madzhab atau mujtahid at-takhrij.
Mereka seperti al-Khashshaf, ath-Thahawi, al-Karkhi, al-Hilwani, as-Sarakhsi, al-Bazdawi, dan Qadi khan dari madzhab Hanafi. Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid al-Qairawani dari madzhab Maliki. Abi Ishaq asy-Syirazi, al-Marwazi, Muhammad bin Jabir, Abu Nashr,dan Ibnu Khuzaimah dari madzhab Syafi’i. Qadhi Abu Ya’la dan Qadhi Abu Ali bin Abu Musa dari madzhab Hambali. Mereka semua dinamakan ashabul wujuh, sebab mereka melahirkan hukum-hukum yang tidak dinashkan oleh Imam Madzhab. Perbuatan mereka dinamakan satu wajh dalam madzhab atau satu pendapat dalam madzhab. Pendapat-pendapat ini dinisbatkan kepada para imam ini, bukan kepada imam pencetus madzhab. Hal ini banyak terjadi pada madzhab Syafi’i dan Hambali.
4.      Mujtahid Tarjih
Mujtahid Tarjih yaitu mujtahid yang mampu menguatkan pendapat yang dikeluarkan oleh Imam Madzhab dari pendapat-pendapat yang lain. Atau yang mampu melakukan tarjih diantara apa yang dikatakan oleh murid-muridnya ataupun oleh para imam yang lain. Jadi, tipe mujtahid ini berusaha menguatkan sebagian riwayat dari yang lain.
Mereka seperti al-Qaduri dan al-Marghinani, pengarang kitab al-Hidayah dari madzhab Hanafi. Al-‘Allamah Khalid dari madzhab Maliki. Ar-Rafi’i dan an-Nawawi dari madzhab Syafi’i. Al-Qadhi Alauddin al-Mardawi, Abul Khaththab Mahfuzh bin Ahmad al-Kaludzani al-Baghdadi mujtahid dari madzhab Hambali.
5.      Mujtahid Fatwa
Mujtahid Fatwa yaitu seorang mujtahid yang berpegang teguh dengan suatu madzhab, menerima dan menyampaikannya kepada orang lain, serta memberi penjelasan dalam perkara-perkara yang jelas dan dalam perkara-perkara yang musykil.
Mujtahid ini membuat perbedaan di antara pendapat yang paling kuat, yang kuat, yang lemah, yang rajih, dan yang marjuh. Tetapi mujtahid ini mempunyai kelemahan dalam menguraikan dalil dan mengemukakan perbandingannya (qiyas).
Mereka terdiri atas para penulis kitab pada zaman mutkhir seperti pengarang kitab-kitab al-Kanz, ad-Durr al-Mukhtar, al-Wiqayah, Majma al-Anhar dari golongan ulama madzhab Hanafi. Ar-Ramli dan Ibnu Hajar dari golongan ulama Syafi’i.
6.      Mujtahid Muqallibin
Mujtahid Muqallibin ialah orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk membuat perbedaan antara pendapat yang lemah dan yang kuat, serta tidak dapat membedakan antara yang rajih dan yang marjuh.
D.    Pekerjaan Mujtahid
Pekerjaan mujtahid menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Untuk itu, tidaklah mudah menjadi seorang mujtahid.
 Mengaplikasikan kaidah-kaidah usul fiqih untuk mengambil hukum syar’i dalam kehidupan dari dalil-dalil yang terperinci.[12]Inilah pekerjaan mujtahid yang tidak mudah dan sangat berat.
E.     Konsekwensi Pahala Mujtahid dalam Berijtihad
Berangkat dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Amar bin ‘Ash bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah bersabda:
إِذَا حَكَمَ حَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَ صَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim hendak menetapkan suatu hukum, lalu ia berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Apabila ia menetapkan suatu hukum kemudian ia salah, maka ia mendapatkan satu pahala.”[13] (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama sepakat bahwa ketentuan pahala dalam hadist di atas hanya berlaku bagi seorang hakim yang benar-benar memiliki kapasitas ilmu yang memadai untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi, atau dengan istilah lain dia disebut seorang mujtahid. Dengan demikian, seorang yang bukan mujtahid  dia tidak mendapat satu pahala. Justru dia mendapatkan dosa, dan hukum yang dia tetapkan tidak berlaku meskipun dengan ketentuan syariat. Hal itu karena kebenaran dalam ijtihadnya tidak bersumber dari landasan syar’i. Dia telah bermaksiat dan ijtihadnya tertolak serta tidak ada udzur bagi dirinya.[14]
Ibnul Mundzir berkata: “Dikatakan seorang hakim yang ketika berijtihad keliru hanyalah diberi pahala jika ia seorang yang mengetahui secara mendalam terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan ijtihad. Jika ia bukan seorang yang mengetahui secara mendalam, tidak diberikan pahala. Ia berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy (hakim) dimana padanya disebutkan dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy yang memutuskan perkara bukan berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy yang memutuskan perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya), maka ia pun masuk neraka”.[15]
Dalam sebuah majalah disebutkan para mujtahid sebagai al-Mukhbir. Al-Mukhbir adalah bahwa seorang mujtahid ketika mengambil kesimpulan hukum dalam masalah ijtihadiyah, mereka bukanlah sebagai hakim, tetapi mereka hanya mengabarkan hukum yang dikehendaki oleh Allah bahwa hukum yang dikehendaki oleh Allah dalam masalah ini adalah seperti ini. Mereka mengerahkan segala daya upayanya untuk mengetahui kebenaran, kemudian menetapkan hukum sesuai dengan ilmu yang diketahuinya, dan mengamalkan apa yang benar menurut prasangka terkuatnya. Jika ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala; pahala usaha ijtihadnya dan pahala menepati kebenaran, dan jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala dan kesalahannya dimaafkan.[16]
III.             Penutup dan Kesimpulan     
Berijtihad bukan perkara yang mudah. Bahkan sangat berat dan sulit. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Hal tersebut karena sesuai dengan keutamaan yang mereka dapatkan.
Seoarang mujtahid wajib mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui kebenaran kemudian menetapkan hukum sesuai yang dia ketahui. Jika ijtihadnya benar, dia mendapat dua pahala: pahala usaha ijtihadnya dan pahala menepati kebenaran. Sebaliknya, jika ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala untuk usahanya dan kesalahannya diampuni. Balasan ini diperuntukkan kepada seorang hakim yang benar-benar memiliki kapasitas ilmu yang memadai untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi.
Demikian pemaparan saya tentang makalah dan tentu ada banyak kesalahan didalamnya. Saya memohon pembenaran dari pembaca untuk peningkatan tulisan saya. Wallahu a’lam bis showab.
IV.             Datfar Pustaka
Al-‘Asqalany, Imam Ibnu Hajar. 2004 M. Fathu Baary Syarh Shohih Bukhari. Jilid: 13. Kairo: Daruul Hadits.
Al-Ghazali, Abu Hamid bin Muhammad bin muhammad. Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Usul. Jilid: 4.
Al-Umary, Nadiyah Tsarif. 1980 M. Al-Ijtihad Fi Al-Islam. Cet. ke-3. Beirut: Muasasah Ar-Risalah.
Anis, Ibrahim, dkk. Al-Mu’jam Al-Wasith. Jilid: 1.
Az-Zarkasyi. 1992 M. Al-Bahru Al-Muhith Fi Usuli Al-Fiqhi. Jilid: 6. Cet. ke-2. Kuait: Darul Shafwah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1994 M. Al-Wajiz Fi Usul Al-Fiqh. Cet Pertama. Damaskus: Darul Fikr.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2007 M. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid: 1, Cet. ke-10. Damaskus: Darul Fikr.
Imam Nawawi. 2001 M. Shohih Muslim. Jilid: 12. Cet. ke-1. Kairo: Al-Maktabah Ats-Tsiqoh.
Majalah Hujjah, Edisi: 2 dan 5, Vol: 1, Februari 2015 M.
Munawwir, Achmad Warson. Al-munawwir. Cet. ke-14. Surabaya: Putaka Progressif.





[1] Achmad Warson Munawwir, Al-munawwir, cet ke-14 (Surabaya: Putaka Progressif), Hal: 217.
[2] Ibrahim Anis, dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, jilid: 1, Hal: 163.
[3] Az-Zarkasyi, Al-Bahru Al-Muhith Fi Usuli Al-Fiqhi, jilid: 6, cet ke-2, (Kuait: Darul Shafwah, 1992 M), Hal: 197.
[4] Majalah Hujjah, Edisi: 2, Vol: 1, Februari 2015 M, Hal: 4.
[5] Nadiyah Tsarif Al-Umary, Al-Ijtihad Fi Al-Islam, cet ke-3, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1980 M), Hal: 62.
[6] Abu Hamid bin Muhammad bin muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Usul, jilid: 4, Hal: 7.
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz Fi Usul Al-Fiqh, cet pertama, (Damaskus: Darul Fikr, 1994 M), Hal: 38-39.
[8] Nadiyah Tsarif Al-Umary, Al-Ijtihad Fi Al-Islam, cet ke-3, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1980 M), Hal: 74.
[9] Ibid
[10] Nadiyah Tsarif Al-Umary, Al-Ijtihad Fi Al-Islam, cet ke-3, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1980 M), Hal: 83.
[11] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid: 1, cet ke-10, (Damaskus: Darul Fikr, 2007 M), Hal: 54-55.
[12] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz Fi Usul Al-Fiqh, cet pertama, (Damaskus: Darul Fikr, 1994 M), Hal: 15.
[13] Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Fathu Baary Syarh Shohih Bukhari, jilid: 13, (Kairo: Daruul Hadits, 2004 M), Hal: 364. Lihat juga Shohih Muslim, jilid 12, cet ke-1, (Kairo: Al-Maktabah Ats-Tsiqoh), Hal: 16.
[14] Imam Nawawi, Shohih Muslim, jilid 12, cet ke-1, (Kairo: Al-Maktabah Ats-Tsiqoh, 2001 M), Hal: 16.
[15] Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Fathu Baary Syarh Shohih Bukhari, jilid: 13, (Kairo: Daruul Hadits, 2004 M), Hal: 364.
[16] Majalah Hujjah, Edisi: 5, Vol: 1, Mei 2015 M.

1 komentar:

  1. POIN4D mengatakan...:

    "Bandar togel singapore terbaik indonesia

    POIN4D ADALAH SALAH SATU SITUS / BANDAR TOGEL ONLINE YANG AMAN DAN TERPERCAYA!
    BERGABUNG DAN BERMAIN DI POIN4D , ANDA BISA RASAKAN KEPUASAN DAN KENYAMANAAN NYA!
    RAIH DISCOUNT & PROMONYA SEKARANG JUGA!!! BURUAN DAFTAR KUNJUNGI SITUSNYA DISINI LINK :
    www•4DPOIN•com | www•4DPOIN•org | www•4DPOIN•net
    ➖6 PASARAN TOGEL➖
    📽️ LIVE DD48 DINDONG
    ☑ SYDNEY POOLS
    ☑ RAJA AMPAT POOLS
    ☑ SINGAPORE POOLS
    ☑ BALI POOLS
    ☑ IBIZA POOLS
    ☑ HONGKONG POOLS
    ➖➖HADIAH & DISCOUNT➖➖
    ⇲ LIVE DINDONG 48 BALL
    ⇲ BONUS CASHBACK UP 5%
    ⇲ BONUS PRIZE 2 & PRIZE 3
    ⇲ BONUS NEW MEMBER 10RB
    ⇲ BONUS REFFERAL 2%
    ⇲ BONUS LUCKY DRAW JP500RB
    ⇲ BBFS READY !
    Melayani support bank : BCA | MANDIRI | BNI | BRI
    Info Lebih lanjut silahkan Kunjungi website Kami
    Bertanya kepada CS yang bertugas ...
    ➖➖KONSULTASI➖➖
    ★Pin BBM2 : D1A279B6
    ★Whatsapp : +85598291698
    ★Facebook : OfficialPOIN4D
    ★IDLine : POIN4D
    🔘 KEPUASAN ANDA TUJUAN UTAMA KAMI!!! "

Posting Komentar