RUKUN-RUKUN SHALAT


A.    Pendahuluan
Permasalahan shalat bukanlah perkara sepele. Karena, shalat termasuk salah satu rukun Islam yang lima. Dan menjadi ibadah yang paling utama setelah seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam Islam shalat mempunyai kedudukan tinggi yang tidak dapat disamai dengan ibadah-ibadah lainnya. Ia menjadi tiangnya agama Islam. Yang tentunya tidak akan berdiri tegak dengan adanya tiang tersebut.
Dalam shalat terdapat rukun-rukun, syarat-syarat, kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim. Tidak banyak dari kaum muslimin yang sudah mengetahui hal-hal tersebut. Barangkali mereka belum mengetahuinya atau sudah tahu namun pengamalannya kurang, sehingga mereka belum sempurna dalam mendirikan shalat. Oleh karena itu, perlu adanya pengetahuan yang benar dalam masalah ini.
B.     Pengertian
Rukun secara bahasa adalah suatu bagian yang tercakup dalam bagian yang sebenarnya.[1]Shalat dalam bahasa arab berarti do’a dan meminta ampun kepada Allah.[2] Secara istilah adalah semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.[3]
Rukun shalat adalah segala hal yang mencakup dalam pekerjaan shalat, seperti: ruku’, sujud, serta tidak sempurna shalat seseorang tanpanya.[4] Oleh karena itu, rukun shalat wajib untuk dilaksanakan dan tidak boleh meninggalkan salah satu darinya. Apabila seseorang meninggalkan salah satu dari rukun shalat baik dengan sengaja atau tidak, maka shalatnya kurang sempurna.
C.    Rukun-Rukun Shalat
Diantara rukun-rukun shalat adalah:
1.         Takbiratul Ihram
Takbiratul ihram ialah seseorang yang hendak memulai shalat berdiri manghadap kiblat  sambil mengucapkan takbir, takbir ini adalah bentuk diharamkanya segala sesuatu yang tadinya halal, seperti: makan, minum, bicara, dan hal-hal lain yang membatalkan shalat.[5]Mengucapkan takbir disunnahkan dengan suara keras bagi imam, dan bagi yang shalat sendiri minimal terdengar oleh dirinya sendiri.[6]
Hukum takbiratul ihram menurut Imam Abu Hanifah  ialah syarat  dalam shalat dan bukan termasuk rukun.[7] Sedangkan ulama Syafi’i, Hambali, dan sebagian Maliki mengatakan, bahwa takbiratul ihram termasuk  rukun dalam shalat, bukan termasuk syarat.[8]
Abu Hanifah dan Muhammad memperbolehkan permulaan shalat menggunakan kalimat apa saja asalkan mengandung pengagungan terhadap Allah SWT,., seperti “Allahu Ajall, Allahu Rohim”, dan lain sebagainya. Madzhab Hanafi sepakat bahwa permulaan shalat dengan kalimat  “Allahu Akbar” wajib hukumnya, sedangkan menggantinya hukumnya makruh, namun madzhab Syafi’i mengatakan bagi seorang yang mampu untuk melafalkan kalimat takbir dengan bahasa arab, maka tidak boleh mengucapkan dengan bahasa lain, karna sabda Rasulullah SAW,.: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”.[9]
2.         Berdiri dalam Shalat Fardhu Bagi yang Mampu
Ulama Hanafi berkata, “Bagi orang yang mampu berdiri, disyaratkan untuk berdiri sendiri tanpa sandaran.”[10] Berdiri dalam shalat masuk dalam syarat shalat, meski sudah takbiratul ihram namun tidak berdiri maka tidak sah shalatnya.[11] 
Menurut  Ulama Maliki, “Hukumnya wajib berdiri sendiri dalam shalat fardhu bagi imam dan shalat sendiri ketika takbiratul ihram, membaca surah al fatihah, dan posisi siap ruku’.” Menurut Ulama Syafi’i, “Tidak disyaratkan berdiri sendiri. Boleh berdiri sambil bersandar karena masih dianggap berdiri, namun hukumnya makruh.” Sedangkan menurut Ulama Hambali, “Disyaratkan berdiri sendiri bagi orang yang mampu dalam shalat fardhu, apabila bersandar tanpa udzur[12] maka shalatnya batal.”[13]
 Bagi yang tidak mampu untuk berdiri karna disebabkan sakit, maka diperbolehkan baginya  shalat dengan semampunya. Jika ia hanya mampu dengan duduk, maka duduk lebih utama, jika tidak mampu duduk maka dengan berbaring, jika tidak mampu berbaring maka dengan isyarat. 
Dalam shalat sunnah diperbolehkan berdiri dan duduk, karna tidak diwajibkan untuk berdiri. Sebagaimana Rasullullah SAW,. terkadang beliau shalat sunnah dengan duduk meski tanpa udzur.[14] Adapun shalat sunnah dengan duduk tanpa udzur termasuk su’ul adab,[15] serta pahala shalat dapat terkurangi. Oleh sebab itu, keempat madzhab sepakat bahwa kewajiban shalat tetap tidak gugur selama masih berakal.[16]
3.         Membaca Surah al-Fatihah Bagi yang Mampu
 Membaca surat al-fatihah termasuk  wajib shalat disetiap rakaat,sebagai mana Rasulullah SAW,. membacanya disetiap rakaat. Bagi makmum hendaknya membaca surah al-fatihah setelah imam membacanya dalam shalat jahr[17].[18]
Mayoritas ulama (selain Hanafiyyah) berkata: “Bacaan al-fatihah termasuk bacaan wajib dalam shalat dan termasuk rukun, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,. “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surah al-fatihah”.
Ulama Syafi’iyyah berkata, “Membaca surat al-fatihah wajib hukumnya bagi imam dan munfarid baik secara hafalan maupun baca mushaf, baik shalat sirriyyah maupun jahriyyah.”[19] Menurut ulama Hanafiyyah, “Membca al-fatihah mutlaq wajib hukumnya.” Menurut ulama malikiyyah, “Membaca al-fatihah dibelakang imam, mandub hukumnya pada shalat sirriyyah, makruh pada shalat jahriyyah.” Menurut ulama Hanabilah, “Membaca al-fatihah dibelakang imam sunnah hukumnya pada shalat siriyyah dan saat imam diam sejenak pada shalat jahriyyah, makruh ketika imam sedang membaca pada shalat jahriyyah.”[20]
4.         Ruku’
Ruku’ secara etimologi artinya membungkuk, sedangkan secara terminologi artinya membungkukkan kepala dan punggung bersamaan dengan memegang lutut. Para ulama sepakat bahwa ruku’ merupakan salah satu rukun di dalam shalat bagi yang mampu melaksanakannya. Namun, mereka berselisih pendapat dalam masalah kadar ruku’ itu sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT,.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan supaya kamu memperoleh kemenangan.”(al-Hajj:77)
            Juga hadits tentang seseorang yang shalatnya jelek. “Kemudian ruku’lah hingga tenang dalam keadaan ruku’.” Serta ijma’ yang menguatkan dalil wajibnya ruku’ dalam shalat.[21]
            Mereka yang mewajibkan ruku’ di dalam shalat antara lain Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Jabir, Abu Hurairah, Qais bin Ubbad, Malik Al-Auza’i, Ibnu Jabir, Syafi’i, Abu Tsaur, ulama’ aliran rasinal, dan mayoritas ulama di berbagai tempat.[22] 
            Mayoritas ulama berpandangan hendaknya seseorang memulai ruku’ dengan takbir.[23] Kemudian mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundak atau kedua telinganya, yaitu memulai mengangkatnya ketika memulai takbir dan mengakhirinya ketika takbir selesai, sebagaimana ketika takbiratul ihram, lalu meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya lalu merenggangkan jari-jarinya, meluruskan punggungnya dan tidak mengangkat kepalanya, tidak pula terlalu menurunkannya. [24]
            Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata: “Rasulullah SAW,. apabila melakukan shalat beliau membaca takbir ketika berdiri, membaca takbir ketika ruku’, membaca “Sami’allahu Liman Hamida” ketika mengangkat tulang punggungnya, lalu mengucapkan “Rabbana Walakal Hamdu”, membaca takbir ketika turun, mdmbaca takbir ketika mengangkat kepalanya, membaca takbir ketika sujud, dan membaca takbir lagi ketika mengangkat kepalanya. Beliau melakukan itu pad asemua amalan shalat hingga menyelesaikannya. Beliau juga membaca takbir ketika bangkit dari dua rakaat pertama setelah duduk.[25]
            Sedangkan untuk dalil meletakkan kedua tangan pada lutut adalah sebuah hadits yang dituturkan oleh Abu Humaid mengenai sifat shalat Rasulullah SAW,., “Aku pernah melihat Rasulullah SAW,. ruku’ sambil meletakkan kedua tangan beliau pada kedua lutut, lantas membungkukkan punggung beliau.” Maksudnya, membungkuk hingga lurus.
            Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, ruku’ disyaratkan bukan untuk yang lain. Artinya, jika ia membungkuk turun untuk tilawah, maka hal itu tidak boleh.
            Tuma’ninah dalam ruku’: batas minimal tuma’ninah dalam ruku’ itu adalah berdiam dalam keadaan ruku’ sehingga semua anggota tenang selama kira-kira selesai membaca tasbih pada ruku’, sujud, dan ketika bangkit dari keduanya. Tuma’ninah ini  hukumnya wajib menurut madzhab Hanafi karena perintah Allah SWT,. dalam ayat di atas hanyalah untuk ruku’ dan sujud, tidak menyebutkan tuma’ninah. Akan tetap mayoritas ulama’ berpendapat bahwa tuma’ninah itu fardhu berdasarkan hadits orang yang shalatnya jelek. “Kemudian ruku’lah hingga tenang dan tuma’ninaha dalam ruku’.”
            Rasulullah SAW,. bersabda: “Sejelek-jelek pencuri adalah orang yang mencuri dalam shalatnya.” Dikatakan, “Ya  Rasulullah, bagaimana maksudnya orang yang mencuri dalam shalatnya?” beliau menjawab, “orang yang tidak menyempurnakan ruku’, sujud, dan kekhusyu’annya.”
            Akan tetapi Abu Hanifah dan Muhammad berkata, “Hadits-hadits yang dijadikan dalil ini termasuk hadits ahad, jadi hukumnya tidak sampai menjadikan fardhu pada firman Allah SWT,. di atas.
5.         Bangkit Dari Ruku’ dan I’tidal
Yaitu mengangkat kepala dan i’tidal dengan disertai tuma’ninah hingga tiap anggota tubuh kembali ke posisinya masing-masing seperi semula. Bacaan sami’allahu liman hamida diucapkan saat mulai mengangkat kepala dan berakhir bersamaan dengan lurusnya badan seperti semula.
Menurut Syafi’i dan Hanbali: Mengangkat kepala dari ruku’ dan i’tidal hukumnya wajib. Demikian juga menurut pendapat Maliki.[26] Sementara itu, Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa bangkit dari ruku’, i’tidal dan duduk di antara dua sujud hukumnya wajib, bukan rukun karena itu termasuk dari bagian tuma’ninah. Ruku’ sudah dapat terlaksana hanya dengan membungkuk, dan yang diperintahkan hanyalah ruku’, sujud dan berdiri. Itu menunjukkah hanya itu yang fardhu. Adapun perintah Rasulullah SAW,. terhadap orang yang shalatnya jelek, adalah hukumnya wajib saja.[27] Menurut sebagian ulama Ahnaf, i’tidal hukumnya tidak wajib, jadi boleh langsung sujud, namun hal ini makruh.[28]
            Adapun konsekuensi jika meninggalkan hal itu karena lupa, maka ia harus menggantinya dengan sujud sahwi. Dan jika meninggalkannya dengan sengaja, maka hukumnya sangat dibenci dan harus mengulangi shalatnya untuk menyempurnakan shalat yang pertama, karena fardhu itu tidak diulang. 
Mengenai saat i’tidal, terdapat dua riwayat, yaitu:
Riwayat pertama, mengangkat tangan dilakukan saat sudah berdiri dari ruku’. Ahmad bin Hasan mengatakan, “Aku melihat Abu Abdillah apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ tidak mengangkat kedua tangannya sehingga berdiri dengan sempurna.”
Riwayat kedua, mulai mengangkat kedua tangan bersamaan dengan mengangkat kepala menuju i’tidal.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengangkat kepala disertai dengan membaca “Sami’allahu Liman Hamida” hukumnya wajib. Adapun Imam Abu Hanifah dan sebagian murid Imam Malik menyatakan tidak wajib. Dasarnya adalah karena Allah SWT,. tidak memerintahkannya. Allah SWT,. hanya memerintahkan ruku’, sujud dan berdiri. Dengan demikian, maka yang lain tidak wajib. Ulama Hanabilah menghukumi bangkit dari ruku’ hukumnya wajib, sebab i’tidal itu sendiri adalah berdiri.
6.         Dua Kali Sujud Tiap Raka’at
Abul Qasim al-Kharqi berkata, “Lalu membaca takbir untuk melakukan sujud tanpa mengangkat kedua tangannya.”
            Lalu membaca “Subhana Rabbiyal ‘A’la” sebanyak tiga kali. Namun apabila dibaca sekali, itu sudah mencukupi. Diriwayatkan dari Huzhaifah bahwa dia mendengar Rasulullah SAW,. saat sujud mengucapkan, “Sami’Allallahu Liman Hamida” tiga kali.”[29]
            Sujud wajib dilakukan berdasarkan nash dan ijma’. Hukum tuma’ninah dalam sujud adalah wajib, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,. kepada orang yang buruk dalam shalatnya, “Kemudian sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud itu.”[30]
            Empat imam madzab sepakat bahwa sujud disyari’atkan dengan tujuh aggota badan. Ketujuh anggota tersebut adalah muka, dua lutut, dua tangan dan ujung jari kedua kaki. Namun mereka berbeda pendapat tentang kefardhuannya. Menurut  Hanafi, yang fardhu adalah dahi dan hidung. Yang disepakati dalam madzhab Syafi’i, yang wajib adalah dahi, sementara anggota yang lain terdapat dua pendapat, namun yang paling kuat adalah pendapat yang mewajibkannya. Pendapat ini pun merupakan pendapat yang masyhur dari kalangan madzhab Hambali, kecuali hidung, mereka masih memperselisihkannya.
            Sementara itu di dalam madzhab Maliki terdapat dua perbedaan pendapat yang saling bertentengan. Diriwayatkan dari Ibnu Qasim bahwa yang wajib dalam sujud adalah dahi dan hidung. Jika keduanya tidak menempel pada tempat sujud, sebaiknya shalat tersebut diulangi jika waktunya belum lewat.[31]
7.         Duduk Diantara Dua Sujud
            Setelah sujud dengan tuma’ninah, maka bangkit dan duduk di antara dua sujud, lalu membaca “Rabbighfirli, Rabbighfirli”. Menurut tiga imam, bangun dari sujud hendaknya dengan cara menekan kedua telapak tangan ke lantai. Namun menurut Hanafi, tidak boleh menekan tangan ke lantai.
            Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafi hukumnya sunnah. Sementara itu Maliki, Syafi’i dan Hambali mewajibkannya.[32] 
8.         Duduk Terakhir Selama Tasyahud
Duduk tasyahud termasuk fardhu dalam shalat, menurut madzhab Hanafiyah sampai pada bacaan “Abduhu wa Rasulullah” menurut pendapat yang shahih. Sedangkan duduk terakhir dalam shalat membaca tasyahud akhir, shalawat atas Nabi, dan setelah itu duduk diam selama bacaan “Allahumma Shalli ‘ala Muhammad” menurut imam Syafi’i dan madzhab Hanabilah termasuk rukun. Namun, menurut Malikiyah, yang rukun adalah lamanya duduk untuk salam. Dan menurut madzhab Hanafiyah, tasyahud awal hukumnya sama dengan tasyahud akhir yaitu wajib. Sunnah menurut mayoritas para ulama, sebagaimana sunnah hukumnya membaca shalawat atas Nabi dalam tasyahud akhir menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.[33]
Sedangkan dalil yang digunakan oleh madzhab Maliki, tasyahud dan duduk itu bukan wajib, karena keduanya bisa diganti dengan sujud sahwi, dan itu artinya hukumnya sama saja dengan sunnah-sunnah yang lain.[34]
Adapun dalil yang digunakan oleh madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah adalah Rasulullah SAW,. selalu duduk dalam tasyahud, dan beliau menyuruh Ibnu Abbas melakukan itu. Beliau bersabda, “ Ucapkanlah, ‘Attahiyatu lillahi....,’” Dan mengsyari’atkan sujud sahwi ketika lupa.[35]
Ada dua bacaan tasyahud yang ma’tsur:
التحيات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلي عياد الله الصالحين أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا عيده و رسوله
Bacaan tasyahud ini merupakan dalil dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah mengajarkan bacaan ini kepada Ibnu Mas’ud.[36] Dan bacaan tasyahud ini yang telah dipilih oleh madzhab Hanafiah dan Hanabilah.
Sedangkan menurut Imam Malik, beliau mengatakan bahwa tasyahud yang lebih utama adalah tasyahud yang diriwayatkan Umar bin Khatab yang berbunyi,التحيات لله الزاكيات لله الصلوات لله  untuk selanjutnya sama dengan tasyahud Ibnu Mas’ud. Alasannya, Umar bin Khathab membacanya di atas mimbar dan di hadapan para sahabat dan orang-orang. Tidak ada yang menentang Umar, sehingga hal itu menjadi ijma’. [37]
Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa tasyahud yang lebih utama dan tasyahud yang sempurna adalah tasyahud yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.[38] Ia berkata, “Rasulullah SAW,. pernah mengajarkan kami bacaan tasyahud sebagaimana beliau mengajarkan kami surah-surah Al-qur’an. Beliau bersabda,
التحيات المباركات الصلوات الطيبات لله السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلي عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا عبده ورسوله.[39]
Setelah membaca bacaan tasyahud maka disunnahkan juga untuk membaca shalawat. Bacaan shalawat yang dibaca dalam tasyahud akhir, merupakan rukun menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah. Dan bacaan shalawat yang sempurna adalah sebagai berikut:
اللهم صل علي محمد و علي آل محمد  كما صليت علي إبراهيم و علي آل إبراهيم وبارك علي محمد و علي آل محمد كما باركت علي إبراهيم و علي آل إبراهيم إنك حميد مجيد[40]              
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa membaca shalawat atas Nabi  hukumnya adalah sunnah. Adapun menurut ijma’ para ulama’, membaca shalawat atas Nabi dalam tasyahud akhir hukumnya fardhu.
Posisi duduk dalam tasyahud:
Posisi duduk dalam tasyahud akhir menurut madzhab Hanafiyah sama seperti duduk di antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy. Posisi itu tetap sama baik dalam akhir shalat maupun bukan. Dalilnya diambil dari hadits riwayat Abu Humaid as-Sa’idi mengenai sifat shalat Rasulullah SAW,. yaitu bahwa Rasulullah SAW,. duduk iftirasy dengan kaki kiri dalam tasyahud, sambil menghadapkan jari-jari kaki kanan ke kiblat.[41]
Madzhab Malikiyah berkata, “ Duduk tawaruk baik dalam tasyahud awal maupun tasyahud akhir.”[42] Dalilnya adalah sebuah hadits riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW,. duduk tawaruk baik di tengah shalat maupun di akhirnya.[43]
Madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah berkata, “ Disunnahkan duduk tawaruk dalam tasyahud akhir.” Dalilnya adalah sebuah hadits riwayat Abu Humaid as-Sa’idi yang berbunyi, “Hingga ketika sampai pada rakaat terakhir, Rasulullah SAW,. mengakhirkan kaki kiri dan duduk dengan pantat lantas salam.”[44] Duduk tawaruk dalam shalat adalah duduk menggunakan pantat sebelah kiri. Duduk  tawaruk itu hampir sama dengan duduk iftirasy, hanya bedanya kalau dalam duduk tawaruk kaki kiri disilangkan di bawah kaki kanan dan pantatnya ditempelkan di tanah. Akan tetapi, ulama Hanabilah  berkata, “ Dalam shalat shubuh tidak duduk tawaruk ketika tasyahud karena bukan termasuk tasyahud kedua. Sementara, yang dilakukan Rasulullah SAW,. sebagaimana dalam hadits di atas adalah dalam tasyahud kedua. Tujuannya untuk membedakan antara tasyahud awal dan tasyahud kedua. Adapun duduk dalam tasyahud shalat shubuh itu tidak disebut tasyahud kedua, jadi tidak perlu dibedakan dengan duduk tawaruk.”[45]
9.         Mengucapkan Salam
Salam yang pertama sebagai tanda keluar dari shalat ketika posisi duduk, hukumnya fardhu menurut madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut madzhab Hanabilah, kedua salam hukumnya fardhu kecuali dalam shalat jenazah, shalat sunnah, sujud syukur, dan sujud tilawah. Karena itu, tanda selesai shalat menurut Malikiyah dan Syafi’iyah adalah setelah salam pertama, sedangkan menurut Hanabilah adalah selesai salam kedua.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Rasulullah yang berbunyi,
  مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم
“ Kunci shalat adalah bersuci, pengharamannya mulai dari takbir, dan penghalalannya setelah salam.”[46]
Alasan lainnya karena, Rasulullah SAW,. selalu mengucapkan salam pada akhir setiap shalat dan tidak pernah meninggalkannya. Hadits riwayat Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW,. mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, “Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah, Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah” hingga terlihat warna putih pipi beliau.[47]  Beliau juga bersabda,
“ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”[48]
Ibnul Mundzir berkata, “ Para ulama yang mengajarkan ilmu kepadaku sepakat bahwa shalatnya orang yang hanya mengucapkan salam sekali itu hukumnya boleh.”
Kemudian kalimat salam paling pendek yang sudah dapat mencukupi kewajiban salam adalah dengan mengucapkan, “’Assalamu” tanpa tambahan “’Alaikum”, sedangkan kalimat lengkap yang hukumnya sunnah adalah mengucapkan, “’Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh,” sebanyak dua kali.
Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, kalimat salam yang sudah cukup untuk diucapkan adalah, “Assalamu ‘alaikum”. Mengucapkan sekali sudah cukup menurut Syafi’iyyah, namun menurut Hanabilah harus dua kali. Adapun kalimat yang sempurna adalah “’Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah” sebanyak dua kali sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, sambil berniat mengucapkan salam itu kepada para malaikat, manusia, dan jin. Untuk imam ada niat tambahan lagi ketika salam, yaitu diniatkan salamnya kepada para makmum. Dan bagi makmum yang berada di sebelah kanan imam dengan salam kedua, menurut madzhab Syafi’i. Sedangkan untuk makmum yang berada di sebelah kiri, dengan salam pertama. Adapun yang berada di belakang imam, maka boleh membalas salam itu dengan salam pertama ataupun  salam kedua.
Dalil pendapat ini adalah hadits riwayat Samurah bin Jundab. Ia berkata, “Rasulullah SAW,. menyuruh kita untuk menjawab salam imam, untuk saling mencinta, dan saling mengucapkan salam di antara kita.”[49]
Menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, penambahan kata “Wa barakatuh” pada kalimat salam tidak termasuk sunnah. Dalil mereka sama dengan dalil yang dipakai oleh Hanafiyah, yaitu hadits Ibnu Mas’ud yang telah disebutkan, “Rasulullah SAW,. mengucapkan salam ke arah kanan dan kiri, ’Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah, ’Assalamu ‘alaikum wa Rahmatullah, hingga terlihat putih pipi beliau.”
Jika ucapan salam itu dibalik menjadi “’Alaikum salam”, maka menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah hukumnya tidak boleh. Pendapat yang paling shahih menurut mereka adalah “Salamun ‘alaikum.”[50]
10.     Tuma’ninah dalam Gerakan-Gerakan Shalat
Menurut pendapat jumhur ulama’[51], tuma’ninah termasuk rukun atau syarat rukun dalam ruku’, i’tidal, sujud, dan di anatara dua sujud. Sedangkan menurut Hanafiyah, tuma’ninah hanyalah wajib karena ada perintah dalam hadits tentang orang yang shalatnya jelek. Hadits itu berbunyi,
 “ Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka berdirilah dan bertakbir. Kemudian bacalah ayat atau surah Al-qur’an yang mudah bagimu. Setelah itu, ruku’lah hingga tenang dalam ruku’, kemudian bangkitlah dari ruku’ hingga benar-benar berdiri i’tidal. Kemudian sujudlah hingga tenang dalam sujud. Lakukanlah itu dalam setiap shalatmu.”[52]
Dalil itu dikuatkan juga dengan hadits riwayat Hudzaifah, bahwa ia pernah melihat seorang lelaki yang ruku’ dan sujudnya tidak sempurna. Lantas Hudzaifah berkata padanya. “Shalatmu itu tidak dianggap. Dan jika engkau mati, maka engkau mati dalam keadaan tidak suci yang Allah SWT,. perintahkan kepada Rasulullah SAW,..”[53] Dilihat secara tekstual, hadits ini menunjukkan bahwa tuma’ninah itu rukun dalam shalat karena mencakup berdiri juga.[54]
Tuma’ninah adalah diam setelah gerakan atau diam diantara dua gerakan sehingga memisahkan misalnya antara bangkit dan turun. Batas minimal tuma’ninah adalah sekedar diamnya anggota badan setelah gerak. Dalam ruku’ misalnya, sebatas memisahkan antara bangkit dan turun sebagaimana pendapat Syafi’iyyah. Kira-kira sekedar cukup untuk membaca dzikir pada saat gerakan itu. Jika lupa dzikirnya, maka cukup dengan diam seukuran lamanya dzikir sebagaimana pendapat Hanabilah. Sedangkan madzhab yang shahih adalah tuma’ninah itu diam meski sebentar. Atau, tuma’ninah itu mendiamkan anggota selama bacaan tasbih dalam ruku’, sujud, dan bangkit dari keduanya sebagaimana pendapat Hanafiyah. Atau pula, tuma’ninah itu diamnya anggota badan beberapa saat dalam rukun-rukun shalat sebagaimana pendapat Malikiyah.
11.     Menertibkan Rukun-Rukun
Tertib dalam shalat menurut mayoritas ulama hukumnya rukun. Wajib dalam hal bacaan dan sesuatu yang terulang dalam satu rakaat. Fardhu dalam sesuatu yang tidak terulang dalam tiap shalat atau dalam tiap rakaat, seperti tertibnya urutan berdiri sebelum ruku’, tertib urutan ruku’ sebelum sujud, menurut Hanafiyah dengan mendahulukan niat daripada takbiratul ihram, dan mendahulukan takbir sebelum membaca surat al-fatihah, dan mendahulukan membaca surat al-fatihah daripada ruku’, dan ruku’ sebelum bangkit darinya, I’tidal sebelum sujud, dan sujud sebelum salam, dan tasyahud akhir sebelum membaca shalawat atas Nabi menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Konsekuensi tertib sebagai rukun menurut mayoritas ulama sebagaimana pendapat Syafi’iyyah, yaitu orang yang meninggalkan tertib secara sengaja, misalnya mendahulukan sujud sebelum ruku’, maka shalatnya batal menurut ijma’ para ulama’, karena dianggap bermain-main. Akan tetapi jika tidak tertib karena lupa atau tidak melakukannya karena lalai, maka apa yang dilakukannya setelah perkara yang ditinggalkan, ini termasuk laghwu karena tidak sesuai pada tempatnya. Jika ingat yang telah ditinggalkan sebelum sampai pada rakaat lain, maka ia harus langsung melakukannya. Dan jika terlambat maka, shalatnya batal.
Jika ia tidak ingat sampai pada rakaat berikutnya, maka bagian shalat yang ditinggalkan itu disempurnakan pada akhir shalat, seperti sujud kedua dan menyempurnakan yang lainnya karena ia telah melalaikan di antara keduanya. Jika yakin dalam akhir shalat ia telah meninggalkan sujud pada rakaat terakhir, maka ia harus bersujud dan mengulang tasyahudnya.
     Jika sujud yang ditinggalkan bukan pada rakaat terakhir atau ia ragu antara sujud terakhir atau bukan, maka ia harus menambah satu rakaat lagi pada akhir shalat. Karena rakaat yang kurang itu sudah sempurna dengan sujud dari rakaat setelahnya, dan ia meninggalkan yang lain.
Jika dalam posisi berdiri pada rakaat kedua ia ingat belum melakukan sujud pada rakaat pertama, jika ia telah duduk setelah sujudnya meski untuk istirahat, maka ia harus langsung bersujud dari posisi berdiri. Namun jika belum duduk, maka ia harus duduk terlebih dahulu baru sujud.
Jika dalam shalat empat rakaat ia lupa meninggalkan sujud atau lebih dan ia tidak ingat pada rakaat berapa, maka ia harus mengulang dua rakaat karena mengambil pertimbangan yang minim. Sehingga, rakaat pertama diganti dengan sujud dari rakaat kedua,  dan membiarkan yang lainnya. Sedangkan rakaat ketiga diganti dengan sujud rakaat keempat, dan membiarkan yang lain.
Jika setelah salam baru ingat belum melakukan salah satu rukun: jika berupa niat atau takbiratul ihram, maka shalatnya batal. Namun jika selain dua hal itu, maka ia harus melanjutkan shalatnya asal belum lama dari salam dan tidak melakukan sesuatu yang membatalkan shalat, seperti memegang benda najis. Kalau sekedar berbalik, tidak menghadap kiblat, atau berbicara hanya sedikit, maka tidak apa-apa untuk melanjutkan dan melengkapi shalatnya. Akan tetapi jika jaraknya dari salam sudah lama, maka ia harus mengulang shalatnya kembali.[55]
D.    Kesimpulan
Rukun-rukun shalat terdiri dari sebelas rukun: Takbiratul Ihram, Berdiri bagi yang mampu, Membaca surat al-fatihah bagi yang mampu, Ruku’, Bangun dari ruku’ (i’tidal), Sujud dua kali dalam setiap raka’at, Duduk diantara dua sujud, Duduk akhir selama tasyahud, Mengucapkan salam, Tuma’ninah dalam gerakan-gerakan shalat, dan Menertibkan rukun-rukun sesuai sunnah. Apabila seseorang meninggalkan salah satu dari rukun shalat maka, shalatnya tidak sah.
Ketika seseorang lupa dengan salah satu rukun shalat maka, dia harus malakukan sujud sahwi, baik sebelum salam atau sesudah salam. Apabila dia ingat ketika sebelum salam maka, sujud sahwi dilakukan sebelum salam dan apabila dia ingat setelah salam maka, sujud sahwi dilakukan setelah salam.  
E.     Daftar Pustaka
Ad-Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Madzhab, Hasyimi 2014.
Al-Fauzan, Shalih bin Fauzan bin Abdullah, al-Mulakhasu al-Fiqhi, jil. 1, cet. Ke-1, Kairo: Dar al-Aqidah, 2003.
Al-Jazairi, ‘Abdurrahman, al-Fiqhi ‘ala al-Madzahib al-Ar ba’ah, jil. 1, cet. Ke-4, Lebanon: Daar Kutub al-Ilmiah, 2011.
Al-Majawi, Imam Musa bin Ahmad bin Musa Salim, Syarhu Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, jil. 1, cet. Ke-1, Kairo: Janatul Afkar, 2008.
Al-Maqdisi, Muwafiquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah, Al-mughni, jil. 1, cet. Ke-1, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
Asy-Syarbini, Syamsudin Muhammad bin Khatib, Mughnil al-Muhtaj, jil. 1, cet. Ke-1, Beirut, Lebanon: Dar al-Fikri, 2009.
Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4, Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011.
Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 1, cet. Ke-2, Damaskus: Daar al-Fikr, 1985.
Az-Zuhaili, Wahbah, Ma’usu’ah al-Fiqh al-Islami wal Qadhaya al-Mu’shirah, jil. 1, cet. Ke-3, Damaskus: Daar al-Fikr, 2012.
Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jamul Wasith,
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, Darul ihyaut at-Turas al-Arabi.




[1] Ibrahim Unais dkk, al-Mu’jamul Wasith, (ttp.:t.p.,th.) hal: 395.
[2] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Darul ihyaut at-Turas al-Arabi).
[3] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 1, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 541.
[4] Wahbah az-Zuhaili, Ma’usu’ah al-Fiqh al-Islami wal Qadhaya al-Mu’shirah, jil. 1, cet. Ke-3 (Damaskus: Daar al-Fikr, 2012) hal: 670.
[5] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 27.
[6] Muwafiquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-mughni, jil. 1,cet. Ke-1 (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah)  hal: 462.
[7] Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqhi ‘ala al-Madzahib al-Ar ba’ah, jil. 1, (Lebanon: Daar Kutub al-Ilmiah, 2011) hal: 199.
[8] Asy-syaikh Syamsudin Muhammad bin Khatib Asy-syarbini, Mughnil al-Muhtaj, jil. 1,cet. Ke-1, (Beirut, Lebanon: Dar al-Fikri, 2009) hal: 150.
[9] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 31.
[10] Ibid, hal: 27.
[11] Imam Musa bin Ahmad bin Musa Salim Al-Majawi, Syarhu Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, jil. 1, cet. Ke-1 (Kairo: Janatul Afkar, 2008) hal: 585.
[12] halangan
[13] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 31-32.
[14] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, al-Mulakhasu al-Fiqhi, jil. 1, cet. Ke-1 (Kairo: Dar al-Aqidah, 2003) hal: 101.
[15] Adab yang buruk
[16] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 38.
[17] Mengeraskan suara pada shalat shubuh, maghrib, dan isya’.
[18] Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, al-Mulakhasu al-Fiqhi, jil. 1, cet. Ke-1 (Kairo: Dar al-Aqidah, 2003) hal: 103.
[19] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 43.
[20] Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqhi ‘ala al-Madzahib al-Ar ba’ah, jil. 1,cet. Ke-4 (Lebanon: Daar Kutub al-Ilmiah, 2011) hal: 208.
[21]  Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 66.
[22] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, cet. Ke-1, ( tempat terbit: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2007), jil. 1, hal: 349.
[23] Ibnu Qudamah, Al-mughni, ter. Masturi Irham, cet. Ke-1, ( tempat terbit: pustaka Azzam 2007) jil. 2, hal: 59.
[24] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufashshal fi Ahkamil Mar’ah wa Baitil Muslim, hal.221, Mu’assasatur Risalah.
[25] HR: Bukhari dan Muslim.
[26] Muhammad bin Abdurrahman ad- Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, (tempat terbit: Hasyimi 2014) hal: 57.

[27] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 67.
[28] Muhammad bin Abdurrahman ad- Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, (tempat terbit: Hasyimi 2014) hal: 57.
[29] HR. Ibnu Majah.
[30] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jil. 2, cet. Ke-1, ( tempat terbit: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2007), hal: 87.
[31] Muhammad bin Abdurrahman ad- Dimasyqi, Fiqih Empat Madzhab, (tempat terbit: Hasyimi 2014) hal.57
[32] Ibid, hal: 56-58.
[33] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 52.
[34] Ibid,hal: 53.
[35] HR Ahmad dan an-Nasai. Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 281.
[36] HR Jama’ah. Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 289.
[37] Muwafiquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-mughni, jil. 1,cet. Ke-1 (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah)  hal: 534-539.
[38] Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 292.
[39] HR Muslim dan Abu Dawud. Dishahihkan oleh Imam Tirmidzi. Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 292.
[40] Redaksi ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ali, Abu Hurairah, dan Thalhan bin Ubaidillah. Lihat Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 292.
[41] HR Bukhari, hadits ini shahih hasan. Lihat Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 285.
[42] Asy-syarhus Shaghir, Vol.1, Hlm.329.
[43] Muwafiquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-mughni, jil. 1,cet. Ke-1 (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah)  hal: 533.
[44] HR HR Muslim dan Abu Dawud. Dishahihkan oleh Imam Tirmidzi. Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 292.
[44] Redaksi ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ali, Abu Hurairah, dan Thalhan bin Ubaidillah. Lihat Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 292.
[44] HR Bukhari, hadits ini shahih hasan. Lihat Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 285.
[44] Asy-syarhus Shaghir, Vol.1, Hlm.329.
[44] Muwafiquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al-mughni, jil. 1,cet. Ke-1 (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah)  hal: 533.Lima kecuali an-Nasa’i, hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi. Lihat Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 285.
[45] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 52-55.
[46]  HR Muslim. Hakim berkata, “ Shahih menurut syarat Muslim, dan ini hadits mutawatir yang diriwayatkan tujuh sahabat.” (an-Nuzhum al-Mutanaatsirah, hal.57)
[47] Hadits riwayat Ibnu Mas’ud, ia berkata, “ Nabi mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, “assalamu ‘alaikum warahmatullah, assalamu ‘alaikum warahmatullah” hingga terlihat warna putih pipi beliau. HR lima dishahihkan oleh at-Tirmidzi. Lihat Nailul Authar, jil. 2, cet. Ke-4 (Lebanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah) hal: 311.
[48] HR Bukhari
[49] HR Ahmad dan Abu Dawud. Lihat Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 57-59.

[50] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adilatuhu, jil. 2, cet. Ke-2 (Damaskus: Daar al-Fikr, 1985) hal: 57-59.
[51] Rukun menurut Malikiyyah, Hanabilah, dan sebagian Syafi’iyyah. Sebagian ulama’ Syafi’iyyah yang lain menganggapnya syarat dalam rukun.
[52] Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah  (Nailul Authar, Vol 2, Hlm.264)
[53] HR Bukhori.
[54] Ad-Durrul Mukhtaar wa Raddul Muhtaar, Vol.1, Hal.432; Kasyaful Qinaa’, Vol.1, Hal.453.
[55] Fiqh islam wa ‘adilatuhu, Jld.2, Hlm.60-62

0 komentar:

Posting Komentar