HUKUM MENGKONSUMSI KATAK MENURUT EMPAT MADZHAB
Makalah Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mid
Semester Mata Kuliah Fiqih Nawazil
Dosen Pengampu: Ustadz. Junaidi
Manik
Oleh:
Novika Siti Nur
Hidayah
NIM: 014.09.0161
AL-MA'HAD
AL-'ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2015
A.
Pendahuluan
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi makhluk hidup
terkhusus manusia. Bagi umat Islam, tidak boleh sembarangan dalam memilih
makanan. Halal dan haram merupakan persoalan yang penting dan menjadi perhatian
khusus dalam syari’at
Islam. Karena masalah tersebut berkaitan erat mengenai hubungan antara hamba dengan Rabb-Nya.
Apabila kita
mengkonsumsi makanan yang haram maka dampak yang
kita dapat adalah amalannya
tidak diterima dan do’anya sulit dikabulkan
oleh Allah Ta’ala.
Sesungguhnya Allah Ta’ala itu maha baik, Dia
tidak mau menerima amalan dari hamba-Nya kecuali yang baik pula. Sedangkan awal
dari sebuah amalan baik adalah berawal dari makanan halal dan thayyib yang
masuk didalam tubuh manusia.
Dewasa ini, sering
ditemui di restaurant, tempat makan atau bahkan warung
yang berada di pinggiran jalan menjual menu special daging katak atau yang sering kita dengar
dengan sebutan menu swikee. Katak merupakan
hewan amfibi. Akan
tetapi, katak termasuk hewan yang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi
secara langsung ketika masih hidup atau sudah mati dan terkadang dijadikan
sebagai obat. Bahkan menu ini sudah menjadi makanan khas salah satu daerah
di Indonesia, yaitu Purwodadi. Karena tidak sedikit dari masyarakat
mengkonsumsi menu tersebut.
Berangkat dari
problematika di atas, katak hijaulah yang menjadi bahan baku menu swikee,
namun ulama masih memperselisihkan mengenai hukum kehalalan dan pengharaman menu
tersebut. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis mengupas tentang hukum
mengkonsumsi katak dan bolehkah kita mengkonsumsinya secara bebas?
B.
Definisi
a.
Antara Katak
dan Kodok
Secara
definisi dalam dunia taksonomi,
perbedaan antara katak dan kodok tidak memiliki arti khusus. Akan tetapi
secara umum didalam kehidupan masyarakat sehari-hari, mereka mengatakan perbedaan
keduanya berdasarkan beberapa segi fisik yang dimiliki.
Didalam Wikipedia
diterangkan, katak dalam bahasa Inggris: frog adalah binatang amfibi
pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin,
berwarna hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang,
pandai melompat dan berenang. Sedangkan kodok, nama lain dari bangkong bahasa
Inggris: toad, memiliki kulit yang kasar dan berbintil-bintil
atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki belakangnya sering pendek
saja, sehingga kebanyakan bangsa katak kurang pandai melompat jauh.
b.
Pengertian
Mengkonsumsi Katak
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa makna mengkonsumsi adalah menggunakan
atau memakai barang-barang yang memenuhi kehidupan, atau dengan arti lain
adalah memakan.
Mengkonsumsi
katak berarti memakan katak hijau guna memenuhi kehidupan.
C.
Dalil Tentang Haramnya
Makanan
Pada dasarnya
semua makanan yang Allah Ta’ala ciptakan adalah halal kecuali ada dalil
yang mengharamkannya. Seperti dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
...
“Dialah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” (QS.
Al-Baqarah: 26)
Kemudian seseorang
tidak boleh mengatakan sebuah makanan adalah haram kecuali ada dalil yang
mengharamkannya secara pasti. Seperti dalam firman Allah Ta’ala:
.....وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ.....
”...dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk....” (QS. Al-‘A’raf:157)
Ibnu Katsir dalam
bukunya Tafsir al-Qur’an al-Adhim menjelaskan bahwasanya sebagian ulama
berkata, sesungguhnya Allah Ta’ala menghalalkan semua makanan yang
hendak dikonsumsi apabila makanan tersebut baik serta bermanfaat bagi tubuh dan
agama. Adapun semua yang diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah makanan
kotor atau buruk yang membahayakan bagi tubuh dan agama.
Dalam
berfirman-Nya pula:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ
حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.”
(QS. Al-Baqarah:126)
Apabila kita
mengkaji lebih mendalam dalil dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah Ta’ala
telah merinci makanan yang baik dan yang buruk untuk hamba-Nya. Oleh sebab itu,
sebagai aplikasi ketaatan kita kepada Allah Ta’ala hendaknya memilah
makanan yang halal dan thayyib untuk kesehatan badan kita.
Setelah kita
mengetahui hukum asalnya makanan adalah halal disertai harus thayyib,
maka dalil berikut ini berkenaan dengan makanan haram secara khusus. Terdapat banyak dalil dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang menerangkan tentang haramnya makanan, namun dalam makalah ini
hanya beberapa yang dicantumkan. Yaitu:
a.
Haram karena
dalil Al-Qur’an
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ .....
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh,
yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.
Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu
perbuatan fasik. (QS.
Al-Maidah: 3)
b.
Haram karena
dalil As-Sunnah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ
الطَّيْرِ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang
untuk memakan semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang berkuku
tajam.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad)
c.
Haram karena
terdapat dalil larangan untuk dibunuh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ
الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melarang untuk membunuh burung Shurad, katak, semut dan burung
Hudhud.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad)
d.
Haram karena
terdapat dalil perintah untuk dibunuh
عَنْ سَعْد بن أَبِي وقاص: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Dari Said bin
Abu Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk membunuh cecak dan
beliau pun menamainya si penjahat kecil. (HR. Muslim
dan Imam Ahmad)
D.
Jenis-Jenis
Katak
Disekitar kita
terdapat berbagai jenis katak. Menurut masyarakat tidak semua katak dapat
dikonsumsi secara bebas. Karena ada katak yang beracun dan ada beberapa katak yang
dapat dikonsumsi.
Katak
tergolong dalam ordo Anura, yaitu golongan amfibi tanpa ekor. Pada ordo
Anura terdapat lebih dari 250 genus yang terdiri dari 2600 spesies. Berikut
ini terdapat 4 jenis katak di Indonesia yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat,
yaitu:
1.
Rana
cancrivora (katak sawah), hidup di sawah-sawah. Salah
satu cirinya terdapat bercak-bercak coklat tua pada punggung dari depan sampai
belakang. Ukuran badannya dapat mencapai 10 cm. Warna dagingnya putih.
2.
Rana Macrondo (katak
hijau), yang berwarna hijau dan dihiasi totol-totol coklat kehijauan. Badan
bagian depan lebih tinggi dibandingkan badan bagian belakang. Katak ini dapat
tumbuh mencapai 15 cm. Pahanya panjang dan dagingnya berwarna kekuningan. Hidup
di sungai-sungai, dapat juga hidup di sawah-sawah.
3.
Rana
Limnocharis (katak rawa), mempunyai daging yang rasanya
paling enak, ukurannya hanya 8 cm. Ciri lain dari katak ini adalah mempunyai
warna kulit coklat dengan totol-totol coklat gelap.
4.
Rana Musholini (katak batu
atau raksasa). Ciri khas dari katak ini adalah kepala berbentuk pipih dan
moncong halus berbentuk segitiga, ujung moncong ada yang runcing dan ada pula
yang tumpul. Gendang telinganya terlihat jelas. Pada kelopak matanya terdapat
bintil-bintil. Pada bagian kepala dan punggung warna kulitnya coklat kelabu
muda atau kelabu hitam sampai hitam dengan bercak-bercak hitam dan coklat. Pada
bagian perut warna kulitnya putih bersih dan secara umum seluruh permukaan
kulitnya baik punggung maupun perut bila diraba terasa lebih halus. Katak ini hanya
terdapat di Sumatera terutama Sumatera Barat. Mencapai berat 1,5 kg dan
panjangnya mencapai 22 cm.
E.
Hukum
Mengkonsumsi Katak
Ulama berbeda
pendapat dalam menyikapi hukum mengkonsumsi katak. Ada pendapat yang melarang
mengkonsumsi dan ada pendapat yang membolehkannya.
1.
Pendapat yang
melarang
Adapun ulama
yang melarang untuk mengkonsumsi katak adalah Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan
Hanabilah.
Abdullah bin
Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Utsmani asy-Syafi’i dalam kitabnya Rahmah
al-Ummah fii Ikhtilaf al-Aimmah menerangkan perkataan ulama mengenai larangan
mengkonsumsi katak:
Abu Hanifah mengatakan:
“Tidak boleh memakan binatang laut kecuali ikan dan dari jenis binatang laut
secara khusus.”
Imam Ahmad
mengatakan: “Boleh memakan binatang laut kecuali buaya dan katak. Diharuskan
untuk menyembelihnya kecuali ikan seperti babi laut, anjing laut, dan binatang
yang jinak.”
Dan sebagian
ulama Syafi’iyyah berpendapat, “Binatang laut tidak boleh dimakan kecuali ikan.
Dan sebagiannya yang lain berkata: Larangan untuk memakan anjing laut, babi
laut, ikan-ikan besar, tikus, kalajengking dan yang menyamai binatang darat.”
Didalam kitab
yang lain, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, “Hewan yang bisa hidup
di darat dan di laut haram dimakan karena termasuk khabits. Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam melarang membunuh katak, jika katak itu halal Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam tidak akan melarang untuk membunuhnya”.
Ulama
Syafi’iyyah berpendapat, “Semua bangkai yang berada di air adalah halal kecuali
katak”.
Ulama
Hanabilah berpendapat, “Setiap hewan yang bisa hidup di darat dan di air tidak
halal jika tanpa disembelih, seperti katak tidak boleh dimakan karena
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang untuk membunuhnya.”
Disebutkan
dalam buku Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy wa al-Qadaya al-Mu’ashirati,
pendapat jumhur ulama selain Malikiyah adalah memakan katak hukumnya haram.
Sebagaimana dalam hadist dilarangnya membunuh katak.
Hujjah yang
mereka ambil adalah dari hadits
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berikut ini,
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ: أَنَّ
طَبِيْبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا
فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا
Diriwayatkan
oleh Abdurrahman bin Utsman al-Quraisy: “Bahwasanya seorang dokter bertanya
kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang katak yang
dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang
membunuhnya.” (HR. Abu Dawud)
Semakna dengan
hadits di atas seperti perkataan Abdullah bin ‘Amru dan Anas bin Malik.
عَن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُوْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ قَإِنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ
Dari Abdullah
bin ‘Amru Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian
membunuh katak karena sesungguhnya bunyi suara mereka adalah tasbih”. (
Dikeluarkan oleh Baihaqi)
Perkataan
lain:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ
فَإِنَّهَا مَرَّتْ عَلَى نَارِ إِبْرَاهِيْمَ، فَجَعَلَتْ فِيْ أَفْوَاهِهَا الْمَاءِ،
وَ كَانَتْ تَرْشُهُ عَلَى النَّارِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu
‘Anhu,
beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena dari mulutnya keluar
air yang memancar ke arah api ketika Nabi Ibrahim dibakar.”
Diikat juga
dalam kaidah usul fiqih yang semakna dengan beberapa hujjah di atas.
Yaitu:
الأَصْلُ فِى النَّهْيِ للِتَّحْرِيْمِ
“Hukum asalnya sebuah larangan menunjukkan
keharaman”
2.
Pendapat yang
membolehkan
Diantara
pendapat ulama yang membolehkan mengkonsumsi katak adalah pendapat Malikiyyah.
Imam Malik mengatakan:
“Dibolehkan makan ikan dan selainnya seperti kepiting, katak, anjing laut, dan
babi laut, akan tetapi babi laut itu menjijikkan. Dalam hal ini Imam Malik
memberitahukan untuk selalu hati-hati.”
Ibnu Abdil
Barr menyatakan dalam bukunya al-Kafi, “Bahwasanya menurut Mazhab Maliki
membolehkan memakan daging ular apabila sudah disembelih, demikian pula daging
kadal, landak dan katak. Boleh juga memakan daging kepiting, kura-kura, katak
dan tidak masalah memakan ikan hasil buruan orang Majusi karena ikan tidak
perlu disembelih.”
Ulama
Malikiyyah berpendapat, “Boleh hukumnya memakan daging katak, serangga,
kepiting, dan kura-kura, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Adapun
pengharaman dengan khabits, haruslah ada dalil syar’i, bukan dengan
pendapat manusia. Jadi, hewan-hewan yang dianggap khabits oleh manusia
hukumnya tidak haram, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”
Adapun hujjah
yang mereka gunakan untuk membolehkan mengkonsumsi katak adalah berdasarkan
keumuman dalil yang menyatakan bahwa katak teramasuk hewan laut.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ
صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ
عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan
diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS. Al-Maidah: 96)
Keumuman dalil di atas diperkuat dengan hadits Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam tentang lautan:
هُوَ الطَّهُورُ
مَاؤُهُ وَ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
"Laut itu suci airnya dan halal
bangkainya." (HR. an-Nasa’i,
Ibnu Majah, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad).
Ibnu al-‘Arabi
berkata: “Peringatan untuk memakan hewan yang hidup di darat dan di air, karena
terdapat dalil yang saling bertentangan antara kehalalan dan keharamannya, maka
sebagai bentuk kehati-hatian hendaklah mengambil dalil yang haram.”
F.
Kesimpulan
Setelah mengkaji
beberapa buku dan dari pemaparan makalah, dapat disimpulkan bahwasanya hukum
mengkonsumsi katak masih diperselisihkan, akan tetapi menurut mayoritas ulama adalah
haram, baik ketika masih hidup atau sudah mati, dimasak ataupun dijadikan
sebagai obat. Katak termasuk hewan yang buruk untuk dikonsumsi, maka Allah Ta’ala
tidak menyuruh hamba-Nya untuk mengkonsumsi makanan yang buruk.
Adapun jika
sebagai pengobatan maka Allah Ta’ala telah menyiapkan obat lainnya yang
jauh lebih baik dari katak. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga
melarang umatnya untuk membunuh katak. Apabila katak dilarang untuk dibunuh
artinya katak juga dilarang dikonsumsi. Karena apabila binatang ingin dimakan,
maka akan melalui tahap-tahap seperti menyembelih, bahkan jika memakannya
hidup-hidup pun artinya membunuhnya.
Dengan ini,
untuk menyikapi haramnya makanan memiliki banyak alasan. Haram karena dalil
al-Qur'an seperti daging babi, bangkai, darah. Haram karena dalil hadist seperti
harimau, elang, dan lain-lain. Haram karena ada larangan untuk dibunuh seperti
katak. Haram karena perintah untuk dibunuh seperti ular. Jadi, apabila
dikatakan harimau halal karena tidak ada dalam al-Qur'an adalah salah, karena
haramnya harimau berdasarkan hadits. Kemudian jika dikatakan katak halal karena
tidak menjijikkan itu juga salah karena katak haram karena alasan larangan
untuk dibunuh.
Wallahu A’lam
bish Showab
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Terjemahan Departemen Agama R.I. 2009 M
Asqalani, al-,
Ibanah al-Ahkam Syarh Bulughu al-Maram, jilid. 4, Beirut: Dar al-Fikr,
1434 H/ 2012 M.
‘Azhim Abadi,
al-, Abi at-Thiib Muhammad Syamsul Haq, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi
Dawud, jilid. 10, cet. ke-2, Madinah Al-Munawarah: Maktabah Salafiyah, 1388
H/ 1968 M.
‘Azzazi, al-,
Abu Abdir Rahman ‘Adil bin Yusuf, Tamamu al-Minnatu, jilid. 4, cet. ke-2,
Kairo: Darul Aqidah, 2009 M.
Baihaqi, al-, Abi
Bakar Ahmad bin Husain Ibnu Ali, Sunan al-Kubra, jilid. 9, cet. ke-1, Hindi:
Dairah Al-Ma’arif, 1356 H.
Dimasyqi, al-, Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-Azhim, jilid. 3, Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Duwaisy, ad,
Ahmad bin Abdur Rozaq, Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wa
al-Ifta’, jilid. 22, ttp.: Dar al-Muwaid, t.t.
Fauzan, al-, Shalilh
bin Fauzan bin Abdullah, al-At’imah wa Ahkam as-Shaidi wa adz-Dzabaih,
cet. Pertama, Riyad: Maktabah Al-Ma’arif, 1408 H/ 1988 M.
Hakim, Abdul
Hamid, as-Sulam, Jakarta: Maktabah as-Sa’adiyah Futra, 1328 H/ 2007 M.
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-3, Jakarta:
Balai Pustaka, 2002 M.
Qazwini, al-,
Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, jilid. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1432 H/ 2010 M.
Qurthuby, al-,
Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr, al-Kafi fii Fiqh
Ahlu al-Madinah al-Maliki, cet. ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413
H/ 1992 M.
Saurah, Abi
Isa Muhammad bin, Sunan at-Tirmidzi, “Bab Thaharah”, jilid. 1, Beirut: Dar
al-Fikr, 1430 H/ 2009 M
Suyuti, as-,
Jalaludin, Sunan an-Nasa’i, jilid. 7, Beirut: Dar al-Fikr, 1434 H/ 2012 M.
Syafi’i, asy-,
Abdullah bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Utsmani, Rahmah al-Ummah fii
Ikhtilaf al-Aimmah, Maktabah Taufiqiyah.
Syaukani, asy-,
Nailu al-Author, jilid. 8, Kairo: Dar al-Hadits, 1426 H/ 2005 M.
Zuhaili, az-, Wahbah,
Mausu’ah al-Fiqhi al-Islamiy wa al-Qadaya al-Mu’ashirati, jilid. 3, cet.
ke-3, Damaskus: Darul Fikr, 1433 H/ 2012 M.
Zuhaili, az-, Wahbah,
Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid. 4, cet. ke-10, Damaskus:
Darul Fikr, 1428 H/ 2007 M.