perkataan ibnu mas'ud tentang waktu



Ibnu Mas’ud berkata:
ﻣﺎ ﻧﺪﻣﺖ ﻋﻠﻰ ﺷﻲﺀ ﻧﺪﻣﻲ ﻋﻠﻰ ﻳﻮﻡ ﻏﺮﺑﺖ ﺴﻪ ﻧﻘﺺ ﻓﻴﻪ ﺃﺟﻠﻲ ﻭ ﻳﺰﺩ ﻓﻴﻪ ﻋﻤﻠﻲ.
Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.
الكتاب : مفتاح الأفكار للتأهب لدار القرار
المؤلف : أبو محمد عبد العزيز بن محمد بن عبد الرحمن بن عبد المحسن السلمان (المتوفى : 1422هـ)
Jilid: 3, Hlm: 29
ATAU
الكتاب : الوقت وأهميته في حياة المسلم
                                                                Jilid: 1, Hlm:22

HUKUM MENGKONSUMSI KATAK MENURUT EMPAT MADZHAB



HUKUM MENGKONSUMSI KATAK MENURUT EMPAT MADZHAB

Makalah Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mid Semester Mata Kuliah Fiqih Nawazil
Dosen Pengampu: Ustadz. Junaidi Manik



Oleh:
Novika Siti Nur Hidayah
NIM: 014.09.0161

AL-MA'HAD AL-'ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2015



A.            Pendahuluan
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi makhluk hidup terkhusus manusia. Bagi umat Islam, tidak boleh sembarangan dalam memilih makanan. Halal dan haram merupakan persoalan yang penting dan menjadi perhatian khusus dalam syari’at Islam. Karena masalah tersebut berkaitan erat mengenai hubungan antara hamba dengan Rabb-Nya.
Apabila kita mengkonsumsi makanan yang haram maka dampak yang kita dapat adalah amalannya tidak diterima dan do’anya sulit dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Sesungguhnya Allah Ta’ala itu maha baik, Dia tidak mau menerima amalan dari hamba-Nya kecuali yang baik pula. Sedangkan awal dari sebuah amalan baik adalah berawal dari makanan halal dan thayyib[1] yang masuk didalam tubuh manusia.
Dewasa ini, sering ditemui di restaurant, tempat makan atau bahkan warung yang berada di pinggiran jalan menjual menu special daging katak atau yang sering kita dengar dengan sebutan menu swikee. [2] Katak merupakan hewan amfibi[3]. Akan tetapi, katak termasuk hewan yang digemari oleh masyarakat untuk dikonsumsi secara langsung ketika masih hidup atau sudah mati dan terkadang dijadikan sebagai obat. Bahkan menu ini sudah menjadi makanan khas salah satu daerah di Indonesia, yaitu Purwodadi. Karena tidak sedikit dari masyarakat mengkonsumsi menu tersebut.
Berangkat dari problematika di atas, katak hijaulah yang menjadi bahan baku menu swikee, namun ulama masih memperselisihkan mengenai hukum kehalalan dan pengharaman menu tersebut. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis mengupas tentang hukum mengkonsumsi katak dan bolehkah kita mengkonsumsinya secara bebas?

B.            Definisi
a.              Antara Katak dan Kodok
Secara definisi dalam dunia taksonomi[4], perbedaan antara katak dan kodok tidak memiliki arti khusus. Akan tetapi secara umum didalam kehidupan masyarakat sehari-hari, mereka mengatakan perbedaan keduanya berdasarkan beberapa segi fisik yang dimiliki.
Didalam Wikipedia diterangkan, katak dalam bahasa Inggris: frog adalah binatang amfibi pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin, berwarna hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang, pandai melompat dan berenang. Sedangkan kodok, nama lain dari bangkong bahasa Inggris: toad, memiliki kulit yang kasar dan berbintil-bintil atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan bangsa katak kurang pandai melompat jauh.[5]
b.              Pengertian Mengkonsumsi Katak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa makna mengkonsumsi adalah menggunakan atau memakai barang-barang yang memenuhi kehidupan, atau dengan arti lain adalah memakan.[6]
Mengkonsumsi katak berarti memakan katak hijau guna memenuhi kehidupan.

C.            Dalil Tentang Haramnya Makanan
Pada dasarnya semua makanan yang Allah Ta’ala ciptakan adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Seperti dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ...
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.....” (QS. Al-Baqarah: 26)
Kemudian seseorang tidak boleh mengatakan sebuah makanan adalah haram kecuali ada dalil yang mengharamkannya secara pasti. Seperti dalam firman Allah Ta’ala:
 .....وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ.....
”...dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk....” (QS. Al-‘A’raf:157)
Ibnu Katsir dalam bukunya Tafsir al-Qur’an al-Adhim menjelaskan bahwasanya sebagian ulama berkata, sesungguhnya Allah Ta’ala menghalalkan semua makanan yang hendak dikonsumsi apabila makanan tersebut baik serta bermanfaat bagi tubuh dan agama. Adapun semua yang diharamkan oleh Allah Ta’ala adalah makanan kotor atau buruk yang membahayakan bagi tubuh dan agama.[7]
Dalam berfirman-Nya pula:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:126)
Apabila kita mengkaji lebih mendalam dalil dari nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah Ta’ala telah merinci makanan yang baik dan yang buruk untuk hamba-Nya. Oleh sebab itu, sebagai aplikasi ketaatan kita kepada Allah Ta’ala hendaknya memilah makanan yang halal dan thayyib untuk kesehatan badan kita.
Setelah kita mengetahui hukum asalnya makanan adalah halal disertai harus thayyib, maka dalil berikut ini berkenaan dengan makanan haram secara khusus. Terdapat banyak dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan tentang haramnya makanan, namun dalam makalah ini hanya beberapa yang dicantumkan. Yaitu:
a.       Haram karena dalil Al-Qur’an
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ .....
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. (QS. Al-Maidah: 3)
b.      Haram karena dalil As-Sunnah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang untuk memakan semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang berkuku tajam.” (HR. Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad)[8]
c.       Haram karena terdapat dalil larangan untuk dibunuh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang untuk membunuh burung Shurad, katak, semut dan burung Hudhud.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad)[9]
d.      Haram karena terdapat dalil perintah untuk dibunuh
عَنْ سَعْد بن أَبِي وقاص: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
Dari Said bin Abu Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk membunuh cecak dan beliau pun menamainya si penjahat kecil. (HR. Muslim dan Imam Ahmad)[10]

D.            Jenis-Jenis Katak
Disekitar kita terdapat berbagai jenis katak. Menurut masyarakat tidak semua katak dapat dikonsumsi secara bebas. Karena ada katak yang beracun dan ada beberapa katak yang dapat dikonsumsi.
Katak tergolong dalam ordo Anura, yaitu golongan amfibi tanpa ekor. Pada ordo Anura terdapat lebih dari 250 genus yang terdiri dari 2600 spesies. Berikut ini terdapat 4 jenis katak di Indonesia yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat, yaitu:
1.    Rana cancrivora (katak sawah), hidup di sawah-sawah. Salah satu cirinya terdapat bercak-bercak coklat tua pada punggung dari depan sampai belakang. Ukuran badannya dapat mencapai 10 cm. Warna dagingnya putih.
2.    Rana Macrondo (katak hijau), yang berwarna hijau dan dihiasi totol-totol coklat kehijauan. Badan bagian depan lebih tinggi dibandingkan badan bagian belakang. Katak ini dapat tumbuh mencapai 15 cm. Pahanya panjang dan dagingnya berwarna kekuningan. Hidup di sungai-sungai, dapat juga hidup di sawah-sawah.
3.    Rana Limnocharis (katak rawa), mempunyai daging yang rasanya paling enak, ukurannya hanya 8 cm. Ciri lain dari katak ini adalah mempunyai warna kulit coklat dengan totol-totol coklat gelap.
4.    Rana Musholini (katak batu atau raksasa). Ciri khas dari katak ini adalah kepala berbentuk pipih dan moncong halus berbentuk segitiga, ujung moncong ada yang runcing dan ada pula yang tumpul. Gendang telinganya terlihat jelas. Pada kelopak matanya terdapat bintil-bintil. Pada bagian kepala dan punggung warna kulitnya coklat kelabu muda atau kelabu hitam sampai hitam dengan bercak-bercak hitam dan coklat. Pada bagian perut warna kulitnya putih bersih dan secara umum seluruh permukaan kulitnya baik punggung maupun perut bila diraba terasa lebih halus. Katak ini hanya terdapat di Sumatera terutama Sumatera Barat. Mencapai berat 1,5 kg dan panjangnya mencapai 22 cm.[11]

E.             Hukum Mengkonsumsi Katak
Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hukum mengkonsumsi katak. Ada pendapat yang melarang mengkonsumsi dan ada pendapat yang membolehkannya.
1.      Pendapat yang melarang
Adapun ulama yang melarang untuk mengkonsumsi katak adalah Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Abdullah bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Utsmani asy-Syafi’i dalam kitabnya Rahmah al-Ummah fii Ikhtilaf al-Aimmah menerangkan perkataan ulama mengenai larangan mengkonsumsi katak:
Abu Hanifah mengatakan: “Tidak boleh memakan binatang laut kecuali ikan dan dari jenis binatang laut secara khusus.”
Imam Ahmad mengatakan: “Boleh memakan binatang laut kecuali buaya dan katak. Diharuskan untuk menyembelihnya kecuali ikan seperti babi laut, anjing laut, dan binatang yang jinak.”
Dan sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat, “Binatang laut tidak boleh dimakan kecuali ikan. Dan sebagiannya yang lain berkata: Larangan untuk memakan anjing laut, babi laut, ikan-ikan besar, tikus, kalajengking dan yang menyamai binatang darat.”[12]
Didalam kitab yang lain, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, “Hewan yang bisa hidup di darat dan di laut haram dimakan karena termasuk khabits. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang membunuh katak, jika katak itu halal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan melarang untuk membunuhnya”.[13]
Ulama Syafi’iyyah berpendapat, “Semua bangkai yang berada di air adalah halal kecuali katak”.[14]
Ulama Hanabilah berpendapat, “Setiap hewan yang bisa hidup di darat dan di air tidak halal jika tanpa disembelih, seperti katak tidak boleh dimakan karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang untuk membunuhnya.”[15]
Disebutkan dalam buku Mausu’ah al-Fiqh al-Islamiy wa al-Qadaya al-Mu’ashirati, pendapat jumhur ulama selain Malikiyah adalah memakan katak hukumnya haram. Sebagaimana dalam hadist dilarangnya membunuh katak.[16]
Hujjah yang mereka ambil adalah dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berikut ini,
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ: أَنَّ طَبِيْبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman al-Quraisy: “Bahwasanya seorang dokter bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang katak yang dipergunakan dalam campuran obat, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melarang membunuhnya.” (HR. Abu Dawud)[17]
Semakna dengan hadits di atas seperti perkataan Abdullah bin ‘Amru dan Anas bin Malik.
عَن عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُوْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ قَإِنَّ نَقِيْقَهَا تَسْبِيْحٌ
Dari Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena sesungguhnya bunyi suara mereka adalah tasbih”. ( Dikeluarkan oleh Baihaqi)[18]
Perkataan lain:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: لاَ تَقْتُلُوْا الضَّفَادِعَ فَإِنَّهَا مَرَّتْ عَلَى نَارِ إِبْرَاهِيْمَ، فَجَعَلَتْ فِيْ أَفْوَاهِهَا الْمَاءِ، وَ كَانَتْ تَرْشُهُ عَلَى النَّارِ
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata, “Janganlah kalian membunuh katak karena dari mulutnya keluar air yang memancar ke arah api ketika Nabi Ibrahim dibakar.[19]
Diikat juga dalam kaidah usul fiqih yang semakna dengan beberapa hujjah di atas. Yaitu:
الأَصْلُ فِى النَّهْيِ للِتَّحْرِيْمِ
“Hukum asalnya sebuah larangan menunjukkan keharaman”[20]
2.      Pendapat yang membolehkan
Diantara pendapat ulama yang membolehkan mengkonsumsi katak adalah pendapat Malikiyyah.
Imam Malik mengatakan: “Dibolehkan makan ikan dan selainnya seperti kepiting, katak, anjing laut, dan babi laut, akan tetapi babi laut itu menjijikkan. Dalam hal ini Imam Malik memberitahukan untuk selalu hati-hati.”[21]
Ibnu Abdil Barr menyatakan dalam bukunya al-Kafi, “Bahwasanya menurut Mazhab Maliki membolehkan memakan daging ular apabila sudah disembelih, demikian pula daging kadal, landak dan katak. Boleh juga memakan daging kepiting, kura-kura, katak dan tidak masalah memakan ikan hasil buruan orang Majusi karena ikan tidak perlu disembelih.”[22]
Ulama Malikiyyah berpendapat, “Boleh hukumnya memakan daging katak, serangga, kepiting, dan kura-kura, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Adapun pengharaman dengan khabits, haruslah ada dalil syar’i, bukan dengan pendapat manusia. Jadi, hewan-hewan yang dianggap khabits oleh manusia hukumnya tidak haram, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.”[23]
Adapun hujjah yang mereka gunakan untuk membolehkan mengkonsumsi katak adalah berdasarkan keumuman dalil yang menyatakan bahwa katak teramasuk hewan laut.[24]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS. Al-Maidah: 96)
Keumuman dalil di atas diperkuat dengan hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang lautan:
 هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ وَ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
"Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (HR. an-Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad).[25]
Ibnu al-‘Arabi berkata: “Peringatan untuk memakan hewan yang hidup di darat dan di air, karena terdapat dalil yang saling bertentangan antara kehalalan dan keharamannya, maka sebagai bentuk kehati-hatian hendaklah mengambil dalil yang haram.”[26]


F.             Kesimpulan
Setelah mengkaji beberapa buku dan dari pemaparan makalah, dapat disimpulkan bahwasanya hukum mengkonsumsi katak masih diperselisihkan, akan tetapi menurut mayoritas ulama adalah haram, baik ketika masih hidup atau sudah mati, dimasak ataupun dijadikan sebagai obat. Katak termasuk hewan yang buruk untuk dikonsumsi, maka Allah Ta’ala tidak menyuruh hamba-Nya untuk mengkonsumsi makanan yang buruk.
Adapun jika sebagai pengobatan maka Allah Ta’ala telah menyiapkan obat lainnya yang jauh lebih baik dari katak. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam juga melarang umatnya untuk membunuh katak. Apabila katak dilarang untuk dibunuh artinya katak juga dilarang dikonsumsi. Karena apabila binatang ingin dimakan, maka akan melalui tahap-tahap seperti menyembelih, bahkan jika memakannya hidup-hidup pun artinya membunuhnya.
Dengan ini, untuk menyikapi haramnya makanan memiliki banyak alasan. Haram karena dalil al-Qur'an seperti daging babi, bangkai, darah. Haram karena dalil hadist seperti harimau, elang, dan lain-lain. Haram karena ada larangan untuk dibunuh seperti katak. Haram karena perintah untuk dibunuh seperti ular. Jadi, apabila dikatakan harimau halal karena tidak ada dalam al-Qur'an adalah salah, karena haramnya harimau berdasarkan hadits. Kemudian jika dikatakan katak halal karena tidak menjijikkan itu juga salah karena katak haram karena alasan larangan untuk dibunuh.
Wallahu A’lam bish Showab










DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim Terjemahan Departemen Agama R.I. 2009 M
Asqalani, al-, Ibanah al-Ahkam Syarh Bulughu al-Maram, jilid. 4, Beirut: Dar al-Fikr, 1434 H/ 2012 M.
‘Azhim Abadi, al-, Abi at-Thiib Muhammad Syamsul Haq, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, jilid. 10, cet. ke-2, Madinah Al-Munawarah: Maktabah Salafiyah, 1388 H/ 1968 M.
‘Azzazi, al-, Abu Abdir Rahman ‘Adil bin Yusuf, Tamamu al-Minnatu, jilid. 4, cet. ke-2, Kairo: Darul Aqidah, 2009 M.
Baihaqi, al-, Abi Bakar Ahmad bin Husain Ibnu Ali, Sunan al-Kubra, jilid. 9, cet. ke-1, Hindi: Dairah Al-Ma’arif, 1356 H.
Dimasyqi, al-, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, jilid. 3, Kairo: Maktabah Taufiqiyah.
Duwaisy, ad, Ahmad bin Abdur Rozaq, Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, jilid. 22, ttp.: Dar al-Muwaid, t.t.
Fauzan, al-, Shalilh bin Fauzan bin Abdullah, al-At’imah wa Ahkam as-Shaidi wa adz-Dzabaih, cet. Pertama, Riyad: Maktabah Al-Ma’arif, 1408 H/ 1988 M.
Hakim, Abdul Hamid, as-Sulam, Jakarta: Maktabah as-Sa’adiyah Futra, 1328 H/ 2007 M.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 2002 M.
Qazwini, al-, Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah,  jilid. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1432 H/ 2010 M.
Qurthuby, al-, Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr, al-Kafi fii Fiqh Ahlu al-Madinah al-Maliki, cet. ke-2, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/ 1992 M.
Saurah, Abi Isa Muhammad bin, Sunan at-Tirmidzi, “Bab Thaharah”, jilid. 1, Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/ 2009 M
Suyuti, as-, Jalaludin, Sunan an-Nasa’i, jilid. 7, Beirut: Dar  al-Fikr, 1434 H/ 2012 M.
Syafi’i, asy-, Abdullah bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Utsmani, Rahmah al-Ummah fii Ikhtilaf al-Aimmah, Maktabah Taufiqiyah.
Syaukani, asy-, Nailu al-Author, jilid. 8, Kairo: Dar al-Hadits, 1426 H/ 2005 M.
Zuhaili, az-, Wahbah, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islamiy wa al-Qadaya al-Mu’ashirati, jilid. 3, cet. ke-3, Damaskus: Darul Fikr, 1433 H/ 2012 M.
Zuhaili, az-, Wahbah, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid. 4, cet. ke-10, Damaskus: Darul Fikr, 1428 H/ 2007 M.
Rohmadfapertanian-pertenakan kediri, “Diktat Aneka Ternak-Katak”, dalam https://rohmatfapertanian.wordpress.com/2012/08/04/diktat-aneka-ternak-8-katak/, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 16.52.
Wikipedia Bahasa Indonesia, Swike, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Swike, diakses pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 22.03.


[1] Baik
[2] Swike atau Swikee adalah Masakan Tionghoa Indonesia yang terbuat dari paha katak. Hidangan ini dapat ditemukan dalam bentuk sup, digoreng kering, dan ditumis. Aslinya hidangan ini berasal dari pengaruh masakan Tionghoa yang masuk ke Indonesia. Istilah “swikee” berasal dari dialek Hokkian (, Pe̍h-ōe-jī: súi-ke) sui artinya air dan ke artinya ayam, yang merupakan slang atau penghalusan untuk menyebut katak sebagai “ayam air”. Bahan utama hidangan ini adalah kaki katak yang umumnya dari katak hijau.
[3] Didalam kamus KBBI makna dari amfibi adalah binatang berdarah dingin yang dapat hidup di air dan di darat.
[4] Didalam kamus KBBI makna dari taksonomi adalah cabang biologi yang menelaah penamaan, perincian, dan pengelompokan makhluk hidup berdasarkan persamaan dan pembedaan sifatnya.
[5] Wikipedia Bahasa Indonesia, Swike, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Swike, diakses pada tanggal 21 Oktober 2015 pukul 22.16.
[6] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002 M), hlm. 590
[7] Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azdim, jilid. 3, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, t.t.), hlm. 353
[8] Asy-Syaukani, Nailu al-Author, “Kitab At’imah wa ash-Shoidu wa ad-Dabaih”, jilid. 8, (Kairo: Dar al-Hadits, 1426 H/ 2005 M), hlm. 436. Hadits no. 3583. Lihat, Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, “Kitab ash-Shoidu”, jilid. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1432 H/ 2010 M),  hlm. 271. Hadits no. 3234, dan al-Asqalani, Ibanah al-Ahkam Syarh Bulughu al-Maram, “Kitab At’imah”, jilid. 4, (Beirut: Dar al-Fikr, 1434 H/ 2012 M), hlm. 186. Hadits no. 1346
[9] Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, ..... , hlm. 268. Hadits no. 3223
[10] Asy-Syaukani, Nailu al-Author, “Kitab At’imah ....”, hlm. 445. Hadits no. 3601
[11] Rohmadfapertanian-pertenakan kediri, “Diktat Aneka Ternak-Katak”, dalam https://rohmatfapertanian.wordpress.com/2012/08/04/diktat-aneka-ternak-8-katak/, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015 pukul 16.52.
[12] Abdullah bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Utsmani asy-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fii Ikhtilaf al-Aimmah, (ttp.: Maktabah Taufiqiyah, t.t.), hlm. 118
[13] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, jilid. 4, cet. ke-10, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1428 H/ 2007 M), hlm. 334
[14] Shalilh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, al-At’imah wa Ahkam as-Shaidu wa adz-Dzabaih, cet. Pertama, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1408 H/ 1988 M ), hlm. 89
[15] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam ...., hlm. 334-335
[16] Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah al-Fiqhi al-Islamiy wa al-Qadaya al-Mu’ashirati, jilid. 3, cet. ke-3, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1433 H/ 2012 M), hlm. 505
[17] Abi at-Thiib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, jilid. 10, (Madinah al-Munawarah: Maktabah Salafiyah, 1388 H/ 1968 M), hlm: 352. Lihat, Jalaludin as-Suyuti, Sunan an-Nasa’i, “Bab Dhifda’”, jilid. 7, (Beirut: Dar  al-Fikr, 1434 H/ 2012 M), hlm. 222. Hadits no. 4361
[18] Abi Bakar Ahmad bin Husain Ibnu Ali al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, jilid. 9, cet. ke-1, (Hindi: Dairah al-Ma’arif, 1356 H), hlm. 316
[19] Al-Asqalani, Ibanah al-Ahkam Syarh Bulughu al-Maram, .... , hlm. 198
[20] Abdul Hamid Hakim, as-Sulam, (Jakarta: Maktabah as-Sa’adiyah Futra, 1328 H/ 2007 M), hlm. 15
[21] Abdullah bin Abdur Rahman ad-Dimasyqi al-Utsmani asy-Syafi’i, Rahmah al-Ummah fii ..., hlm. 118
[22] Abi Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Barr al-Qurthuby, al-Kafi fii Fiqh Ahlu al-Madinah al-Maliki, cet. ke-2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1413 H/ 1992 M), hlm. 186-187
[23] Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam ..., hlm. 334
[24] Ahmad bin Abdur Rozaq ad-Duwaisy, Fatawa Lajnah Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’, jilid. 22, (ttp.: Dar al-Muwaid, t.t.), hlm. 322
[25] Abi at-Thiib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, “Bab Thaharah”, jilid. 1, ... hlm: 104. Hadits no. 83. Lihat, Jalaludin as-Suyuti, Sunan an-Nasa’i, ... “Bab al-Miyah”, jilid. 1, hlm. 192. Hadits no. 331. Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, “Kitab ath-Thaharah”, jilid. 1, .... hlm. 134,. Hadits no. 386. Dan Abi Isa Muhammad bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, “Bab Thaharah”, jilid. 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1430 H/ 2009 M), hlm. 130, Hadits no. 69
[26] Abu Abdir Rahman ‘Adil bin Yusuf al-‘Azzazi, Tamamu al-Minnatu, jilid. 4, cet. ke-2, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2009 M), hlm. 189