ZOOPHILIA MENURUT KACAMATA ISLAM



A.    Pendahuluan

            Islam merupakan agama yang menerapkan nilai- nilai positif di dalam menjalani kehidupan yang berhubungan antara manusia dengan Rabbnya maupun dengan sesama makhluk. Di samping itu, Islam memiliki batasan- batasan yang mengacu pada perbuatan manusia dengan mengaplikasikan syari’at sebagai tunjangan dan pedoman di dalam menuntun manusia. Hal ini menjadi rambu- rambu bagi seseorang untuk tidak senonohnya melakukan segala perbuatannya dengan kehendak sendiri. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui bahwa manusia memiliki akal dan nafsu yang terkadang berjalan tidak sebanding dan simpang siur. Padahal Allah telah menjadikan manusia memiliki kedudukan yang tinggi dari para makhlukNya, yang dengannya Allah memberikan akal agar mereka berpikir. Namun terkadang manusia lalai akan dirinya, sehingga tidak sedikit dari mereka yang keluar dari fithrah hakiki.
            Pada dasarnya Allah telah karuniakan kepada kita akan nafsu dan syahwat, di mana hasrat seksual merupakan anugrah dari Allah yang wajib kita lakukan dengan baik dan di tempatnya. Namun terkadang manusia menyalahgunakannya dengan menyimpang dari batasan-batasan dan aturan yang ada. Seperti halnya seseorang yang melampiaskan syahwatnya kepada binatang, padahal mereka tidak memiliki akal seperti kita. Sungguh rendah kedudukannya, karena ia telah menodai fitroh sebagaimana layaknya manusia normal. Salah satu hubungan seks yang menyalahi fitroh sebagai manusia adalah Zoophilia yaitu mencari kepuasan seksual dengan binatang. Dalam kenyataannya manusia  yang melakukan praktek ini tidak hanya mencari kepuasan seksual, melainkan mereka juga membina hubungan cinta dengan hewan disebabkan beberapa faktor yang terjadi.

B.     Pembahasan

1.1.Pengertian Zoophilia
            Zoophilia berasal dari bahasa Yunani  ζον  (zion) yang berarti hewan, dan φιλία ( philia, “persahabatan” atau “ cinta”).[1] Zoophilia atau disebut juga dengan bestiality, adalah tindakan mencari kepuasan seksual dengan jalan berhubungan seksual dengan binatang,[2] dengan kata lain seseorang memiliki keterbalikan akal dan jiwa dengan melampiaskan gairah seksualnya terhadap binatang, dengan melakukan gesekan- gesekan terhadap bulu-bulu binatang maupun memasukan alat vitalnya ke dalam dubur, vagina binatang, maupun melakukan masturbasi terhadap binatang tersebut. Biasanya tindakan tersebut banyak dilakukan di daerah pedesaan atau daerah badui, baik lelaki maupun perempuan yang kebanyakan masih belum terlalu paham dengan pengaruh perkembangan zaman. Pelaku zoophilia disebut juga dengan zoophiler atau zoosexuals. Tindakan zoophilia tidak hanya bermula dari manusia, akan tetapi terkadang muncul dari binatang yang memiliki ketertarikan nafsu terhadap manusia.
            Zoophiler bukan berarti terjadi pada mereka yang tidak memiliki ketertarikan seksual dengan manusia, sebagaimana yang pernah terjadi pada seorang wanita Irlandia, 43 tahun yang telah memiliki empat orang anak, yang melakukan hubungan seks dengan anjing jinak, artinya wanita tersebut juga memiliki ketertarikan seksual dengan manusia.

1.2.Pandangan Umum Terhadap Zoophilia dan Penyebabnya
a.       Secara biologis, orang yang menjadi zoophiler karena ada faktor predisposisi seperti dulu sewaktu kecil tidak mempunyai teman, dan hanya ditemani oleh binatang peliharaan. Karena merasa dekat dengan binatang peliharaannya itu maka timbul  ketertarikan seksual. [3]
b.      Secara psikologis, banyak diantara zoophiler yang tidak ingin menyudahi dari status miringnya tersebut, disebabkan pengaruh psikolog yang abnormal. Dengan demikian, begitu sulit untuk disembuhkan dan biasanya berujung kepada kematian, karena disebabkan alergi dan trauma fisik.
c.       Secara medis, binatang adalah makhluk yang kotor dan banyak menyebarkan virus-virus asing kepada manusia, temasuk yang menyerang pada kelamin manusia yang menyebabkan penyakit kelamin, diantaranya peradangan pada alat kelamin karena masuknya bakteri, virus, protozoa, dan sebagainya. Sebuah penelitian terhadap 492 pria berusia 18- 80 tahun di pedalaman Brazil menemukan bahwa 35% pernah berhubungan seks dengan binatang. Sebagian diantaranya sudah didiagnosis mengidap kanker penis. Selaput lendir kelamin hewan memiliki karakteristik yang berbeda dari kelamin manusia, dan sekresi binatang berbeda dari cairan manusia. Bisa jadi jaringan hewan menghasilkan cairan yang akan menjadi racun bagi manusia.[4]

1.3.Pandangan Islam Terhadap Zoophilia
Allah berfirman: Q.S. Ar Ruum: 21
            Firman Allah:
وَمِنْ أٰيٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَلَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوٰجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَاوَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةًۚ إِنَّ فِى ذٰلِكَ لَأٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
            “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
            Dia menciptakan untuk kalian wanita-wanita yang akan menjadi istri kalian dari jenis kalian sendiri.[5] Secara tersirat ayat ini menjelaskan bahwa disyariatkannya pasangan adalah adanya laki- laki dan perempuan yang sah. Adapun selainnya, seperti dengan binatang misalnya, hal ini jelas sudah sangat bertolakbelakang ayat di atas.
            Menggauli binatang merupakan perbuatan yang munkar dan menyelisihi fitrah hakiki yang tertanam dalam diri manusia. Termasuk dari dosa besar dan seburuk-buruk maksiat bagi siapa saja yang menyetubuhi binatang. Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini dan bagaimana ketentuan- ketentuannya?

a.)    Hukum Zoophiler
            Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman bagi seseorang yang menggauli binatang. Sebagian dari mereka berargumen bahwa hukuman mereka seperti hukum hadd bagi pelaku zina. Sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka hanya dijatuhi hukuman ta’zir berdasarkan ijtihad hakim. Bahkan sebagian dari mereka ada yang berpendapat bahwa mereka layak dibunuh secara mutlak.
            Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa secara ijma’ menggauli binatang adalah haram[6]. Bahkan Ibnu Qudamah berkomentar mengenai hal ini bahwa ada perbedaan riwayat mengenai hukum seseorang yang menggauli binatang menurut Imam Ahmad adalah hukum ta’zir baginya. sedangkan Ibnu Abbas, ‘Atha’, Imam Asy-Sya’bi, An-Nakhaa’i, Al-Hakim, Malik, Ats-Tsaury, perkataan ahl ra’yi serta pendapat Imam Syafi’i dan riwayat kedua bahwa hukuman bagi pelaku sama seperti hukum liwath atau zina. Al-Hasan berkata: “Hukumannya seperti hukuman bagi seorang pezina”.[7]
            Secara spesiktif, beberapa ulama’ empat madzhab berbeda pendapat, diantaranya:
1.      Hanafiyah:
            Tidak ada kewajiban hadd bagi yang melakukan hal tersebut, karena tidak ada dalil dari Al- Quran atau Hadits yang menerangkan hukum tersebut. Begitupun juga tidak pernah disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w melakukan hadd bagi pelaku perbuatan tersebut. Akan tetapi hukuman yang wajib bagi pelakunya adalah hukuman ta’zir sesuai dengan pandangan hakim seperti dikurung, dipukul, dihina atau hukuman yang lain sehingga menjadi pelajaran bagi yang lain jika melakukan hal tersebut.
2.      Malikiyah:
            Bahwa hadd yang berlaku adalah serupa dengan hadd zina, dicambuk bagi yang belum menikah dan dirajam bagi yang sudah menikah. Karena perbuatan tersebut merupakan persenggamaan dalam kemaluan yang diharamkan oleh syariat dan mendatangkan kenikmatan seksual sebagaimana halnya qubul dan dubur.
3.      Syafi’iyah:
Ada 3 pendapat:
-          Hadd bagi para pelakunya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Malikiyah yaitu seperti haddnya pezina.
-          Di bunuh, baik yamg sudah menikah maupun yang belum menikah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Rosululah beliau bersabda
من وقع علي بهيمة فاقتلوه واقتلوا البهيمة (روه أحمد وأبوداد والترمذي وبن عباس)
-          Hukumnya ta’zir, sesuai dengan pandangan imam dan tidak ada hukum hadd bagi perbuatan tersebut seperti pendapat mazhab Hanafiyah. 
            Sebagaimana yang tertera dalam kitab Matan Abu Syuja’, Fiqih Mazhab Syafi’i, bahwa, “Hukum liwath dan menyetubuhi binatang adalah seperti hukum zina.” Adapun menyetubuhi binatang adalah haram hukumnya secara qath’iy, karena yang demikian itu termasuk dari perbuatan keji. Dalam hal ini, bagaimana ia wajib dihukum? Ada perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan dihukum dengan hadd zina; dengan begitu dibedakan antara yang muhshan dan ghairu muhshan, karena dia memasukkan zakarnya ke dalam kemaluan, serupa dengan memasukkannya ke dalam kemaluan perempuan. Inilah yang dipastikan oleh penulis. Kedua, hukumannya dibunuh, baik muhshan maupun ghairu muhshan, karena berdasarkan sabda Nabi s.a.w.,
من أتى بهيمة فاقتلوه واقتلوها معه.
Barangsiapa menyetubuhi binatang, bunuhlah dia dan bunuhlah pula binatang itu bersamanya
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan yang lainnya. Kata al-Hakim sanadnya shahih. Dan ada pula yang mewajibkan sekedar ta’zir saja, inilah yang shahih karena perkataan Ibnu Abbas r.a.:
ليس على الذي يأتي البهيمة حدٌّ.
Tidak ada kewajiban hadd bagi orang yang menyetubuhi binatang.”( HR. an- Nasaa’i)
            Hadits ini tidak diucapkan oleh Ibnu Abbas kalaulah bukan dari Nabi s.a.w., dan apabila tidak ada hadd, maka ta’zirlah yang pantas untuk ditetapkan, sebab ia telah melakukan dosa yang pada asalnya tidak ada ketentuan haddnya dan kafarahnya, serta yang disetubuhi adalah kemaluan yang tidak dicenderungi nafsu dan tentunya tidak mengundang birahi lawannya.[8]
4.      Hanabilah:
            Wajib adanya hadd bagi pelakunya, akan tetapi dalam bentuk haddnya ada dua riwayat dalam mazhab Hanabilah. Riwayat pertama menyebutkan haddnya sama dengan hadd liwath, dan riwayat yang kedua menyebutkan hukumnya adalah ta’zir, dan ini merupakan pendapat yang kuat dalam seluruh mazhab..[9]
           
            Pendapat yang rajih berdasarkan para imam madzhab empat yang bersepakat bahwa orang yang menggauli atau mendatangi (menyetubuhi) binatang, hakim menjatuhinya hukuman ta’zir dengan bentuk yang sekiranya bisa memberinya efek jera. Karena tindakan seperti ini adalah tindakan yang tidak akan dilakukan oleh manusia normal, sehingga dalam hal ini tidak dibutuhkan usaha untuk membuatnya jera dengan menggunakan hadd, akan tetapi cukup dihukum ta’zir.[10]

b.)    Hukum dan status binatang yang digauli
            Para fuqaha’ berselisih mengenai status binatang yang disetubuhi, diantaranya:
1.      Malikiyah berpendapat: binatang tersebut tidak wajib dibunuh, baik binatang yang halal dimakan atau yang haram dimakan dagingnya, sebab tidak ada dalil yang secara jelas menerangkan perintah untuk membunuhnya. Adapun riwayat Ibnu Abbas yang di dalamnya ada perintah membunuh binatang yang digauli merupakan riwayat yang lemah dan tidak dapat dijadikan dalil.
2.      Hanafiyah berpendapat: Apabila binatang tersebut adalah milik yang menggaulinya maka wajib dibunuh, agar ketika orang melihat binatang tersebut tidak mengatakan: “Binatang ini telah pernah digauli oleh si fulan sehingga mereka akan terjerumus ke dalam dosa ghibah, dan juga dapat menyebabkan orang-orang tetap menganggap hina terhaddap orang yang melakukan hal tersebut meski sebenarnya dia telah bertaubat dan dapat jadi juga si pelaku akan kembali terjerumus jika melihat binatang tersebut maka binatang tersebut harus dibunuh sebagai tindakan kehati-hatian”.
3.      Syafi’iyah berpendapat: Pertama, bila binatangnya yang halal dimakan dagingnya maka hendaknya disembelih dan bila tidak dimakan dagingnya, maka dibunuh, karena dengan membunuh binatang yang halal dimakan lalu disia-siakan adalah merupakan perbuatan penghamburan harta bukan atas manfaat, di mana hal tersebut adalah dilarang. Kedua, binatang tersebut wajib dibunuh baik yang dapat dimakan dagingnya atau tidak supaya tidak mendatangkan ghibah dan penghinaan. Karena Allah s.w.t memerintahkan untuk menutupi aib seorang muslim dan siapapun yang menutupi aib orang muslim maka aibnya akan ditutupi oleh Allah s.w.t di dunia dan akhirat.
4.      Hanabilah berpendapat: binatang tersebut wajib disembelih, baik yang dapat dimakan dagingnya atau tidak, sekalipun binatang itu miliknya atau milik orang lain dan wajib pelakunya mengganti rugi binatang tersebut jika milik orang lain karena dia menjadi penyebab dari hilangnya harta orang lain dan siapapun yang menghilangkan harta orang lain maka wajib menggantinya sebagai hukuman baginya. Hal ini wajib dilakukan supaya tidak menyebabkan aib bagi pemilik binatang tersebut dan orang yang melakukannya, karena ketika melihat binatang tersebut akan mengingatkan kepada kejadian.[11] Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.,:
من وقع على بهيمة فاقتلوه واقتلوا البهيمة. رواه أحمد وغيره، وقال الشيخ شعيب الأرناؤوط: إسناده جيد.
            “Barang siapa yang mendatangi (menggauli) binatang, maka bunuhlah dia dan bunuhlah binatangnya pula.” (HR. Ahmad)[12]
            Hadits di atas menjadi sebuah hikmah akan dibunuhnya binatang tersebut. Sebab, apabila binatang tersebut dibiarkan hidup, tentunya akan mengingatkan kembali perbuatan keji tersebut dan menyebabkan sang empunya binatang akan senantiasa menanggung rasa malu.[13] Lalu, bagaimana dengan binatang yang telah disetubuhi, kemudian disembelih? Para ulama berbeda pendapat mengenai binatang tersebut setelah disembelih, diantaranya:
1.      Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat, jika binatang yang disetubuhi tersebut termasuk dari binatang yang dagingnya halal dimakan, maka harus dibakar dan haram hukumnya memakan daging tersebut.
2.      Malikiyah bependapat, boleh hukumnya memakan daging binatang tersebut setelah disembelih jika memang binatang tersebut dagingnya halal dimakan. Karena tidak ada dalil syar’i yang menyebutkan pengharaman untuk memakannya, maka tetaplah hukum tersebut sebagaimana aslinya, yaitu halal untuk dimakan.
3.      Syafi’iyah berpendapat, ada dua riwayat. Pertama, halal hukumnya bagi si pelaku dan selainnya memakan daging tersebut, sebagaimana pendapat Malikiyah. Kedua, haram hukumnya memakan daging binatang tersebut bagi si pelaku maupun selainnya, sebagaimana yang dijadikan pendapat oleh Hanafiyah dan Hanabilah. Adapun bagi si pelaku wajib baginya mengganti rugi binatang tersebut jika milik orang lain, sebagai hukuman baginya dan atas perbuatannya yang hina menurut syariat dan akal.[14]

1.4.Solusi Yang Menjadikan Mashlahat
      Zoophilia merupakan penyimpangan seksual yang tidak dapat diterima oleh akal sehat dan dapat berdampak buruk bagi pekembangan hidup masyarakat pada umumnya. Maka solusi yanag paling tepat menurut syari’at islam dan kemashlahat manusia adalah menikah demi menjaga hasrat seksual yang normal. Islam menambahkan supaya pelaku tersebut lebih mendekatkan diri kepada Allah s.w.t dan mengakui atas perbuatannya tersebut, serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Akan lebih lurusnya ketika ia lebih mendalami ushuluddin yang menuntunnya kepada jalan yang benar.

C.     Kesimpulan

            Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik serta lemahnya iman seseorang. Seperti halnya penyimpangan seksual terhadap binatang yang memiliki dampak buruk terhadap norma-norma agama dan kejiwaan yang menyalahi fitrahnya sebagai manusia.
            Perhatian Islam akan hal ini diaplikasikan di dalam nash yang di-istinbaht-kan oleh para fuqaha’, sehingga mereka sepakat bahwa perbuatan itu haram. Adapun pelakunya dikenai hukuman ta’zir supaya jera dengan perbuatannya tersebut. Sementara binatang yang menjadi bahan kesenangan bagi pelaku, sebagian ulama ada yang mengatakan harus dibunuh dan haram dimakan, meskipun binatang tersebut pada awalnya boleh dimakan. Namun, sebagian dari mereka memperbolehkan untuk memakan binatang tersebut setelah disembelih, kalau sekiranya binatang tersebut boleh dimakan.

D.    Referensi

Al-Qur’an al Karim
Al- Jaziry, Abdurrahman. Kitab al Fiqh ‘alaa Madzaahib al Arba’ah.          (Beirut:            Daarul Kutuub al- ‘Ilmiyyah, Cet: 4, 2011 M)
Al- Husainy, Taqiyyudin Abi Bakar. Kifaayatul Akhyaar fii Halli Ghaayati al-        Ikhtishaar. (Kairo: Daarul Kutuub al- Islamiyyah, Cet:1, 1424 H)
Al- Husainy, Taqiyyudin Abi Bakar. Matnu al- Ghaayah wa at- Taqriib
Asy Syaukani, Imam. Nailul Authaar. (Beirut: Daarul Kutuub al- ‘Ilmiyyah, Cet: 4,           2011 M)
Az- Zuhaily, Wahbah. Fiqih Islam wa Adilatuhu, (Damaskus: Daarul  Fikri, Juz:7   Cet:10, 1428 H)
Qudamah, Ibnu. Al Mughny, (Beirut: Daarul Kutuub al- ‘Ilmiyyah, Cet:1, 1429 H)








[1] http://raavi-ogawa.blogspot.com/2012/03/gangguan-jiwa-zoofilia.html
[2] http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/19452/1/EDI%20ROHAEDI-FSH.pdf
[3] http://raavi-ogawa.blogspot.com/2012/03/gangguan-jiwa-zoofilia.html
[4] http://semuatugasdisini.blogspot.com/2012/01/makalah-bestiality.html
[5] Tafsir ibnu Katsir, hal: 1052
[6] Nailul Authaar, juz: 7/123
[7] Al Mughny, juz: 7/ 328
[8] Kifaayatul Akhyaar, hal: 173
[9] Kitabul Fiqh ‘alaa madzaahibil arba’ah, 5/134- 135
[10] Fiqh As Sunnah wa Adillatuhu, hal: 5369
[11] Kitab al Fiqh ‘alaa Madzaahib al Arba’ah, 5/135
[12] Fiqh sunnah wa adillatuhu, hal: 5369
[13]Ibid, 12, hal: 5369
[14] Kitab al- Fiqh ‘alaa Madzaahib al- Arba’ah, 5/136

1 komentar:

  1. Unknown mengatakan...:

    Dah pandailah nulis makalah,,,,,,

Posting Komentar