Mengatasi kaki pecah-pecah ala tradisional



Memiliki kaki yang mulus merupakan dampaan setiap orang. Bukan hanya karena alasan keindahan, namun kaki yang pecah-pecah biasanya terasa sakit saat berjalan sehingga bisa mengganggu aktivitas sehari-hari. Maka dari itu, kita wajib menjaga kaki yang cenderung dilupakan dalam perawatannya karena letaknya di bawah.
Mengapa kaki mudah pecah-pecah dari pada tubuh yang lain? Sebabnya adalah selain letaknya di bawah yang sering luput dari perhatian juga karena pada kaki terkhusus tumit terdapat kelenjar minyak yang sangat sedikit sehingga jenis kulit pada daerah kaki lebih kering.
Jika tumit kaki sudah terlanjur pecah-pecah, ada beberapa tips cara mengatasi kaki pecah-pecah agar kembali halus seperti sedia kala, mari kita simak seperti apa cara mengatasi kaki pecah-pecah.
1.      Jeruk nipis
Jeruk nipis selain untuk kecantikan bermanfaat juga untuk mengatasi kaki pecah-pecah. Caranya siapkan 1 buah jeruk nipis yang sudah tua. Cuci bersih lalu belah menjadi 2 bagian. Gosokkan jeruk nipis di area kaki yang mengalami pecah-pecah.
2.      Mentimun
Siapkan mentimun secukupnya, cuci sampai bersih lalu haluskan. Oleskan mentimun yang sudah dihaluskan pada kaki sambil dipijat perlahan tumit yang kering sekitar 10 menit. Lakukan semaksimal mungkin hingga kaki kembali mulus seperti semula.
3.      Pisang
Ambil pisang secukupnya lalu haluskan pisang dengan diblender atau diparut. Kemudian oleskan pada bagian kaki yang pecah-pecah. Sambil dioleskan pijat lembut kaki lalu bilas dengan air dingin.
4.      Pepaya
Siapkan pepaya matang yang sudah dihaluskan. Pijat bagian kaki yang kering dengan bubur pepaya tersebut. Cara ini untuk mencegah kulit retak-retak dan juga membuat kulit lembut.
5.      Alpukat
Buah alpukat sangat banyak mengandung vitamin E yang terkenal sangat baik untuk perawatan kulit. Caranya sebagai berikut: siapkan buah alpukat yang sudah diambil daging buahnya lalu haluskan dan dijadikan scrub, dapat juga dicampur dengan pisang. Kemudian gosokkan pada tumit anda yang kering sambil dilakukan pemijatan secara perlahan. Tunggu kurang lebih 20 menit lalu bersihkan menggunakan air hingga bersih. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal lakukan setiap hari.
Nah, itu tadi beberapa tips cara mengatasi kaki pecah-pecah. Selain dengan cara tradisional, anda juga bisa membeli krim kaki khusus untuk kaki pecah-pecah. Krim-krim tersebut banyak dijual di pasaran. Pilih sesuai dengan jenis kulit anda. Jika penyakit berlanjut, hubungi dokter.
Selamat mencoba dan semoga bermanfaat.

HUKUM SYARAT-SYARAT YANG DIAJUKAN DALAM PERNIKAHAN



HUKUM SYARAT-SYARAT YANG DIAJUKAN DALAM PERNIKAHAN

Makalah ini ditulis Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliyah Fiqih Usroh
Dosen Pengampu : Usth. Qurrota A’yun



Oleh:
Hana Nur Fadhilah
NIM:
014. 09. 0153


MA’HAD ‘ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2015

 
A.  Pendahuluan
Nikah merupakan perkara yang sakral dan bukanlah perkara mudah untuk melangsungkannya dan merupakan perintah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala kepada umat-Nya untuk menyempurnakan agama mereka. Nikah menjadi wajib ketika seorang hamba telah mampu dalam hal nafkah, mahar, dan perkara rumah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud:

يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةُ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لمَ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai generasi muda! Barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu maka baginya berpuasa karena itu sebagai penawar.” (HR. Muslim)[1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa bagi pemuda dan pemudi yang sudah mampu menikah, maka hendaklah ia menikah dan jika ia belum mampu untuk melakukannya, maka hendaklah ia berpuasa, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Jika belum mampu juga maka berpuasa agar dapat menahan nafsu dan syahwatnya.
Dalam pernikahan ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi seperti rukun, syarat sah, dan syarat dalam pernikahan. Dalam makalah ini, penulis sedikit memaparkan mengenai ketentuan yang harus dipenuhi dalam pernikahan berupa syarat dalam pernikahan.


B.  Pengertian
Nikah secara bahasa berasal dari kata  نكَح-ينكِح yang berarti menikah[2], senggama[3], mengumpulkan[4]. Jauhari berkata: “Nikah yaitu senggama karena adanya sebuah akad yang sah”. Menurut istilah syar’i nikah adalah akad yang sah dari pasangan suami istri[5] untuk menghalalkan hubungan antara suami dan istri[6]. Maka adanya akad nikah yaitu untuk menghalalkan hubungan antara suami istri yang baru menikah. 
C.  Dalil Pensyariatan Nikah
a)    Dalil dari Al-Qur’an
Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (dirinya); dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs. An-Nisa’: 1)
Firman Allah Ta’ala :
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampukan  kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nur: 32)
Firman Allah Ta’ala:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Dan Allah menjadikan bagi kamu pasangan (suami isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu bagimu dari pasanganmu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (Qs. An-Nahl:72)
b)      Dalil dari Sunnah
Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah  Ibnu Mas’ud :

يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةُ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لمَ ْيَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه المسلم )

Wahai generasi muda! Barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Baranngsiapa yang belum mampu maka baginya berpuasa karena itu sebagai penawar bagi nafsunya.” ( HR. Muslim ) [7]
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqash berkata,
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang Utsman bin Mazh'un untuk hidup membujang. Dan sekiranya beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri.” ( HR. An-Nasa’i)[8]
D.  Rukun – Rukun Nikah
Nikah ditetapkan sah jika rukun- rukunnya terpenuhi. Adapun rukun-rukun nikah terdiri dari 2 unsur yaitu: [9]
·      Ijab yaitu lafal yang diucapkan dari orang pertama antara dua orang yang melakukan perjanjian.[10] Yaitu wali wanita atau orang lain yang menempati posisinya. 
·      Qabul  yaitu lafal yang terucap dari orang kedua yaitu calon suami atau orang lain yang menjadi wakilnya.
Menurut kesepakatan ulama  fiqh, ijab dan qabul memiliki syarat yaitu dilakukan dalam satu majelis jika kedua belah pihak hadir. Jika ijab dan qabul dilaksanakan di majelis yang berbeda, maka akad belum terlaksana. Lalu, Jika perempuan berkata: “Aku menikahkanmu dengan diriku,” atau seorang wali berkata, “Aku menikahkanmu dengan putriku,” kemudian pihak lain berdiri sebelum mengucapkan kata qabul, kemudian berkata, “Aku menerima” maka,  akad tersebut tidak sah menurut ulama Hanafiyyah. Karena menurut mereka hanya sekedar berdiri saja maka sudah merubah majelis. Kemudian, jika pihak pertama meninggalkan majelis setelah mengucapkan kalimat ijab, lalu pihak kedua mengucapkan kalimat qabul ketika pihak pertama sudah tidak ada, maka dalam hal ini pernikahannya tidak sah[11].
Rukun pernikahan menurut jumhur ulama ada empat yaitu, sighat (ijab dan qabul),  istri, suami, dan wali[12].
E.   Syarat Sah Nikah
Salah satu sebab sahnya sebuah pernikahan adalah terpenuhinya syarat sah nikah. Ketika syarat tersebut belum terpenuhi, maka pernikahannya tidak sah. Sama seperti orang yang akan melaksanakan shalat namun tanpa adanya wudhu, maka shalat orang tersebut tidak sah. Adapun syarat-syarat nikah ada empat yaitu[13]:
1)   Mendapatkan izin dari wali
2)   Kerelaan seorang wanita sebelum terjadinya akad pernikahan.
3)   Mahar
4)   Dua orang Saksi
Syarat-syarat di atas harus dipenuhi oleh calon pengantin. Seorang saksi memiliki syarat yang harus dipenuhi berupa Islam, adil, berakal, laki-laki, dapat melihat dan mendengar. Jika saksi yang dihadirkan tidak memenuhi syarat di atas maka dapat menimbulkan bahaya pada salah satu mempelai sebagai contoh ketika saksi seorang yang buta mungkin ia dapat berbohong karena ia tidak melihat kejadian yang sebenarnya. Dianjurkan pula menghadirkan seorang saksi yang dapat mendengar dan melihat kejadian yang sebenarnya.
F.   Syarat dalam Pernikahan
Diperbolehkan pula bagi kedua mempelai untuk mengajukan syarat pernikahan yang harus dipenuhi. Syarat- syarat dalam pernikahan terbagi menjadi dua[14]:
a.    Syarat-syarat sah yaitu syarat yang tidak menyalahi tujuan akad nikah dan orang  yang membuat syarat memiliki tujuan yang dibenarkan.
b.    Syarat-syarat batil  yaitu syarat yang menyalahi tujuan akad nikah.
Standar untuk syarat-syarat ini dan juga syarat lainnya adalah sabda Nabi SAW, “ kaum muslimin (harus memenuhi)  persyaratan-persyaratan (yang mereka buat), kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” Tidak ada perbedaan antara syarat dibuat sebelum akad atau saat akad. Sebagaimana hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اْلفُرُوْجَ
 Sungguh, syarat yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan.” ( HR. An-Nasa’i) [15]
Syarat yang terjadi setelah akad, maka syaratnya tidak dianggap. Syarat pernikahan terjadi ketika berlangsungnya akad dan sebelum akad.[16]  Sebagai contoh: seorang wanita mensyaratkan kepada calon suaminya bahwa ia meminta mahar sebanyak 1000 dirham, maka syarat ini merupakan syarat yang sah. Karena syarat ini memberikan manfaat baginya. Syarat ini diucapkan ketika berlangsungnya akad oleh wali mempelai wanita: “Aku nikahkan anakku dengan mahar sebesar 1000 dirham.”
Contoh lain  jika syarat itu terjadi sebelum adanya akad dan telah disepakati oleh calon mempelai pria, dan walinya berkata: “Aku tidak menikahkanmu dengan putriku kecuali jika kau membayar mahar sebesar 1000 dirham”. Lalu ia berkata: “Ya, aku akan membayar sebesar 1000 dirham”. Jika setelah akad wali berkata: “Sesungguhnya kami menginginkan darimu mahar sebesar 1000 dirham”. Syarat seperti ini termasuk tidak sah.

Syarat-syarat menikah menurut empat Imam Madhab[17]:
1)   Madhab Hanafiyah
a)    Jika syaratnya benar dan sesuai dengan akad, serta tidak bertentangan dengan hukum syariat, maka wajib dipenuhi. Misal, seorang wanita mensyaratkan untuk tinggal sendiri dan tidak tinggal bersama keluarga atau dengan istri-istri lelaki lainnya. Ulama Hanafiyah berkata: “Jikalau lelaki menikahi seorang wanita dengan syarat bahwa perkara wanita tersebut ada dalam wewenangnya sendiri, maka itu sah”.  Namun jika lelaki berkata, “Nikahkanlah aku dengan putrimu dengan syarat bahwa perkaramu ada dalam wewenangmu sendiri”. Maka ia tidak mempunyai wewenang, sebab itu merupakan bentuk penyerahan sebelum akad nikah.
b)   Jika syaratnya rusak yaitu tidak sesuai dengan akad, atau tidak diperbolehkan oleh hukum-hukum syariat, maka akad nikahnya sah dan syaratnya batal. Hal itu seperti  disyaratkannya khiyar (memilih) bagi salah satu pihak atau masing-masing dari keduanya untuk membatalkan pernikahan dalam kurun waktu tertentu. Jika ada persyaratan untuk menceraikan istri-istri yang lain, makruh hukumnya untuk memenuhinya. Dengan hadits yang berbunyi:
لاَ تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلاقَ أُخْتِهَا
 “Tidak halal bagi seorang perempuan untuk meminta menceraikan saudaranya yang lain (istri-istri suami).” (HR. At-Tirmidzi)[18]
2)   Madhab Malikiyah
Menurut madhab Malikiyah syarat dalam pernikahan sama dengan madhab lain namun syarat terbagi lagi menjadi syarat benar tetapi makruh yaitu sesuatu yang tidak berkaitan dengan akad. Hanya saja syarat tersebut dapat mempersulit lelaki, seperti syarat agar tidak membawa keluar perempuan dari negaranya atau tempat tinggalnya, tidak bepergian dengannya, atau agar tidak memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain, agar tidak berpoligami dan sejenisnya. Syarat-syarat tersebut tidak mengharuskan lelaki untuk memenuhinya kecuali jika dibarengi dengan sumpah untuk memerdekakan atau menceraikan maka syarat itu wajib dipenuhi.[19]  
3)   Madhab Syafi’iyah
a)    Syarat-syarat yang benar di dalam pernikahan adalah syarat yang sesuai dengan hal-hal yang berkenaan dengan akad nikah, seperti syarat memberi nafkah, membagi jadwal di antara para istri, atau syarat yang tidak sesuai dengan hal-hal yang berkaitan dengan akad nikah, seperti hendaknya si perempuan tidak makan kecuali begini dan begitu. Syarat seperti ini tidak berpengaruh pada kedua jenis syarat di atas, karena tidak ada manfaatnya. Sedangkan nikah dan maharnya sah, sebagaimana di dalam jual beli.
b)   Sedangkan syarat yang tidak benar adalah syarat yang menyelisihkan hal-hal yang berkaitan dengan akad nikah, dan tidak menyalahi maksud asli pernikahan yaitu bersenggama. Itu seperti syarat tidak akan berpoligami, atau tidak memberi nafkah, tidak bepergian dengannya, atau tidak membawanya ke luar negeri. Hukum syarat tersebut adalah: pernikahannya sah karena tidak ada bentuk penyelisihan maksud asli pernikahan yaitu bersenggama dan bersenang-senang (al-istimta’). Akan tetapi, syaratnya rusak karena menyalahi akad, baik syarat tersebut menguntungkan istri seperti contoh syarat yang pertama, ketiga dan keempat, atau merugikannya seperti contoh kedua. Itu dengan dalil sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
مَا كَانَ مِنْ شَرْطِ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِل
Setiap syarat yang bukan bersumber dari Al-Qur’an adalah bathil.” (HR. At-Tirmidzi)[20]
4)   Madhab Hanabilah
Syarat pernikahan menurut ulama madhab Hanabilah sama dengan madhab Syafi’iyah yaitu  tiga macam:
Pertama, syaratnya sah  seperti seorang perempuan mensyaratkan kepada lelaki agar menafkahi dan berbuat baik kepadanya, agar tidak berpoligami, atau tidak keluar dengannya dari rumah atau negaranya, tidak memisahkan antara dirinya dan anaknya. Demikian juga seperti seorang lelaki yang mensyaratkan kriteria perempuan hendaknya perawan, cantik, terpelajar atau tidak cacat yang tidak menyebabkan terjadinya khiyar dalam membatalkan pernikahan seperti buta, bisu, pincang dan sebagainya.[21]
Kedua, syarat batal dan akad tetap sah seperti seorang laki-laki mensyaratkan tidak memberi mahar kepada perempuan, tidak memberi nafkah atau jika telah memberi mahar kepadanya maka ia memintanya kembali, atau syarat yang akan menyebabkan akan adanya khiyar, dan wali mensyaratkan untuk menghadirkan mahar atau sebaliknya si perempuan mensyaratkan kepada lelaki agar tidak berhubungan intim dengannya, melakukan ‘Azl ketika berhubungan intim, memberinya giliran bermalam lebih sedikit atau lebih banyak dibandingkan istri yang lain, atau tidak bersamanya di hari jum’at kecuali malam hari.[22]
Ketiga, apa yang membatalkan pernikahan dari asalnya seperti pensyaratan dengan waktu tertentu dalam pernikahan yaitu nikah mut’ah, atau mensyaratkan untuk melakukan nikah syighor yang dilakukan tanpa adanya akad , atau menceraikan wanita di waktu itu juga.[23]
I.     Kesimpulan dan penutup
Dari paparan penulis di atas bahwa pernikahan akan sah jika syarat dan rukun dalam pernikahan sudah terpenuhi, namun jika syarat dan rukun tersebut belum terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak sah. Diperbolehkan pula bagi kedua mempelai untuk mengajukan syarat-syarat dalam pernikahan yang harus dipenuhi oleh keduanya namun dengan syarat, jika syarat yang ditujukan tersebut tidak menyalahi tujuan akad pernikahan. jika syarat yang diajukan tersebut menyalahi tujuan akad pernikahan maka akad tersebut tidak sah dan tidak wajib untuk dipenuhi.
Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat yang diperbolehkan dalam pernikahan adalah syarat-syarat yang tidak menyalahi tujuan akad pernikahan dan syarat tersebut harus dipenuhi. Syarat tersebut terjadi sebelum adanya akad, jika syarat tersebut terjadi setelah adanya akad maka syarat tersebut tidak dianggap. Namun jika syarat tersebut menyalahi tujuan dari sebuah akad maka syarat tersebut tidak perlu untuk dipenuhi.
Wallahu A’lam Bish Showab.















DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya
Al-Jaziri , Abdurrahman, Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4, cet.ke-2, Bairut, Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003
Al-Khudhoir , Abdul Karim bin Abdullah, Syarh ‘Umdah al Ahkam , bab syarat jual beli jild. 4
Al-‘Utsaimin, Muhammad bin Sholih, Fiqh Mar’ah Muslimah, cet.ke- 1, Iskandariyah:Daarul ‘Aqidah, 2007
As-Shobabiti , ‘Ishom, dkk, Shohih Muslim Syarh an-Nawawi, jild.5, cet.ke-5, Kairo: Darul Hadits,2001
As-Suyuthi , Jalaluddin, Sunan an- Nasa’I, jild. 6, cet. Ke-1, Bairut, Libanon: Darul Fikr,2012
At-Turki , Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin, Syarh Muntah al Irodat, jild. 5,  cet. ke-1. Muassasah Risalah,2000
Az-Zuhaili , Dr. Wahbah, Fiqh Islam wa Adillatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani, jild. 9, cet. ke-1 , Jakarta: Darul Fikri, 2011
Bassam , Abdullah Alu, Fiqh Hadits Bukhori Muslim, ter. Umar Mujahid, cet. ke-1, Jakarta: Ummul Qura, 2013
Salim , Abu Malik Kamal Bin Sayid, Fiqh Sunnah li an- Nisa’, Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiah, 2008
Sauroh,  Abi Isa Muhammad bin Isa bin, Sunan at-Tirmidzi, jild. 2, Bairut, Libanon: Darul Fikri, 2009
Unais , Dr. Ibrohim, Mu’jam al Wasith, cet. Ke-2. Kairo: 1973
Zaidan , Dr. Abdul Karim, Al-Mufasshol fii Ahkam al Mar’ah wa Baiti al Muslim, jild. 6, cet. ke-3, Bairut, Libanon: Muassasah Risalah, 2000


[1] ‘Ishom as-Shobabiti, dkk, Shohih Muslim Syarh an-Nawawi, jild.5, cet.ke-5,(Kairo:Darul Hadits,2001), hlm.185
[2] Dr. Ibrohim Unais dll, Mu’jam al Wasith, cet. ke-2, (Kairo:1973), hlm. 991
[3] Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Syarh Muntahal Irodat, jild. 5, cet. ke-1, (Muassasah Risalah,2000),  hlm. 95
[4] Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani, jild.9, cet. ke-1, (Jakarta:Darul Fikri,2011), hlm. 39
[5] Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Fiqh Mar’ah Muslimah, cet. ke-1, (Iskandariyah:Daarul ‘Aqidah, 2007), hlm. 303
[6] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshol fii Ahkam al Mar’ah wa Bait al Muslim, jild. 6, cet. ke-3, (Bairut, Libanon: Muassasah Risalah, 2000), hlm. 11
[7]‘Ishom as-Shobabiti dkk, Shohih Muslim Syarh an-Nawawi, jild.5, cet.ke-5, (Kairo:Darul Hadits,2001), hlm.185
[8] Jalaluddin as-Suyuthi, Sunan an-Nasa’i, jild. 6, cet. 1, (Bairut, Libanon: Darul Fikr,2012), hlm. 59
[9] Abu Malik Kamal bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah li an Nisa’, (Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiah, 2008), hlm. 471
[10] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al- Mufasshol fii Ahkam al Mar’ah wa Bait al  Muslim, jild. 6,  cet.ke- 3,  (Bairut,Libanon: Muassasah Risalah, 2000), hlm. 81
[11] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani, jild. 9, cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 56
[12] Ibid, hlm. 45
[13] Abu Malik Kamal bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah li an Nisa’, (Kairo: Daar at-Taufiqiah Li at-Turats, 2009), hlm. 471
[14] Abdullah Alu Bassam, Fiqh Hadits Bukhori Muslim, ter. Umar Mujahid, cet. ke-1, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), hlm. 883
[15] Jalaluddin as-Suyuthi, Sunan an-Nasa’i, jild. 6, cet. ke. 1, (Bairut, Libanon: Darul Fikr, 2012), hlm. 91
[16] Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Fiqh Mar’ah Muslimah, cet. ke-1, (Iskandariah: Darul ‘Aqidah, 2007), hlm. 331
[17] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jild. 9, cet. ke-1, (Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm. 60-64
[18] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Sunan at-Tirmidzi, jild. 2, (Bairut, Libanon:Darul Fikri, 2009), hlm. 403
[19] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jild. 9, cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 61, Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4, cet.ke-2,(Bairut, Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003),hlm. 83
[20]Abdul Karim bin Abdullah al-Khudhoir, Syarh ‘Umdah al- Ahkam , bab syarat jual beli, jild. 4, hlm.3
[21] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4, cet.ke-2,(Bairut, Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003),hlm. 82
[22] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jild. 9, cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 64
[23] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4, cet.ke-2,(Bairut, Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003),hlm. 82