HUKUM SYARAT-SYARAT YANG DIAJUKAN DALAM PERNIKAHAN
Makalah ini
ditulis Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliyah Fiqih Usroh
Dosen Pengampu
: Usth. Qurrota A’yun
Oleh:
Hana Nur
Fadhilah
NIM:
014. 09. 0153
MA’HAD ‘ALY LID DIRASAH AL-ISLAMIYYAH
HIDAYATURRAHMAN
SRAGEN
2015
A.
Pendahuluan
Nikah
merupakan perkara yang sakral dan bukanlah perkara mudah untuk melangsungkannya
dan merupakan perintah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala kepada
umat-Nya untuk menyempurnakan agama mereka. Nikah menjadi wajib ketika seorang
hamba telah mampu dalam hal nafkah, mahar, dan perkara rumah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Mas’ud:
يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةُ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لمَ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai generasi muda! Barangsiapa di antara kalian telah
mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena
sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu maka baginya berpuasa karena itu sebagai
penawar.” (HR.
Muslim)[1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa bagi pemuda dan pemudi
yang sudah mampu menikah, maka hendaklah ia menikah dan jika ia belum mampu
untuk melakukannya, maka hendaklah ia berpuasa, karena menikah dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Jika belum mampu juga maka
berpuasa agar dapat menahan nafsu dan syahwatnya.
Dalam pernikahan ada beberapa ketentuan yang harus
dipenuhi seperti rukun, syarat sah, dan syarat dalam pernikahan. Dalam makalah
ini, penulis sedikit memaparkan mengenai ketentuan yang harus dipenuhi dalam
pernikahan berupa syarat dalam pernikahan.
B.
Pengertian
Nikah secara bahasa berasal dari kata نكَح-ينكِح yang berarti menikah[2],
senggama[3], mengumpulkan[4].
Jauhari berkata: “Nikah yaitu senggama karena adanya sebuah akad yang sah”.
Menurut istilah syar’i nikah adalah akad yang sah dari pasangan suami istri[5]
untuk menghalalkan hubungan antara suami dan istri[6].
Maka adanya akad nikah yaitu untuk menghalalkan hubungan antara suami istri
yang baru menikah.
C.
Dalil Pensyariatan
Nikah
a)
Dalil dari
Al-Qur’an
Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam), dan Allah menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (dirinya); dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Qs. An-Nisa’: 1)
Firman Allah Ta’ala :
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ
إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampukan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nur: 32)
Firman
Allah Ta’ala:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
وَجَعَلَ لَكُم مِّنْ أَزْوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِّنَ
الطَّيِّبَاتِ ۚ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Dan Allah menjadikan bagi kamu pasangan (suami isteri) dari
jenis kamu sendiri dan menjadikan anak-anak dan cucu-cucu bagimu dari
pasanganmu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (Qs. An-Nahl:72)
b)
Dalil dari
Sunnah
Sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah
Ibnu Mas’ud :
يا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةُ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لمَ ْيَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه المسلم )
“Wahai generasi muda! Barangsiapa di
antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia
menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata
dan memelihara kemaluan. Baranngsiapa yang belum mampu maka baginya berpuasa
karena itu sebagai penawar bagi nafsunya.”
( HR. Muslim ) [7]
Dan hadits yang diriwayatkan oleh
Sa’ad bin Abi Waqash berkata,
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ
لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang Utsman bin Mazh'un untuk hidup
membujang. Dan sekiranya beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri.” ( HR. An-Nasa’i)[8]
D.
Rukun – Rukun
Nikah
Nikah ditetapkan sah jika rukun- rukunnya terpenuhi.
Adapun rukun-rukun nikah terdiri dari 2 unsur yaitu: [9]
· Ijab yaitu lafal yang
diucapkan dari orang pertama antara dua orang yang melakukan perjanjian.[10]
Yaitu wali wanita atau orang lain yang menempati posisinya.
· Qabul yaitu lafal yang terucap dari orang kedua
yaitu calon suami atau orang lain yang menjadi wakilnya.
Menurut
kesepakatan ulama fiqh, ijab dan qabul
memiliki syarat yaitu dilakukan dalam satu majelis jika kedua belah pihak
hadir. Jika ijab dan qabul dilaksanakan di majelis yang berbeda, maka akad belum terlaksana. Lalu, Jika perempuan
berkata: “Aku menikahkanmu dengan diriku,” atau seorang wali berkata, “Aku
menikahkanmu dengan putriku,” kemudian pihak lain berdiri sebelum mengucapkan
kata qabul, kemudian berkata, “Aku menerima” maka, akad tersebut tidak sah menurut ulama
Hanafiyyah. Karena menurut mereka hanya sekedar berdiri saja maka sudah merubah
majelis. Kemudian, jika pihak pertama meninggalkan majelis setelah mengucapkan
kalimat ijab, lalu pihak kedua mengucapkan kalimat qabul ketika
pihak pertama sudah tidak ada, maka dalam hal ini pernikahannya tidak sah[11].
Rukun
pernikahan menurut jumhur ulama ada empat yaitu, sighat (ijab dan qabul), istri, suami, dan wali[12].
E.
Syarat Sah Nikah
Salah satu sebab sahnya sebuah pernikahan adalah
terpenuhinya syarat sah nikah. Ketika syarat tersebut belum terpenuhi, maka
pernikahannya tidak sah. Sama seperti orang yang akan melaksanakan shalat namun
tanpa adanya wudhu, maka shalat orang tersebut tidak sah. Adapun syarat-syarat
nikah ada empat yaitu[13]:
1) Mendapatkan
izin dari wali
2) Kerelaan
seorang wanita sebelum terjadinya akad pernikahan.
3) Mahar
4) Dua orang
Saksi
Syarat-syarat di atas harus dipenuhi oleh calon
pengantin. Seorang saksi memiliki syarat yang harus dipenuhi berupa Islam,
adil, berakal, laki-laki, dapat melihat dan mendengar. Jika saksi yang
dihadirkan tidak memenuhi syarat di atas maka dapat menimbulkan bahaya pada
salah satu mempelai sebagai contoh ketika saksi seorang yang buta mungkin ia dapat
berbohong karena ia tidak melihat kejadian yang sebenarnya. Dianjurkan pula
menghadirkan seorang saksi yang dapat mendengar dan melihat kejadian yang
sebenarnya.
F.
Syarat dalam
Pernikahan
Diperbolehkan
pula bagi kedua mempelai untuk mengajukan syarat pernikahan yang harus dipenuhi.
Syarat- syarat dalam pernikahan terbagi menjadi dua[14]:
a.
Syarat-syarat
sah yaitu syarat yang tidak menyalahi tujuan akad nikah dan orang yang membuat syarat memiliki tujuan yang
dibenarkan.
b.
Syarat-syarat
batil yaitu syarat yang menyalahi tujuan
akad nikah.
Standar untuk
syarat-syarat ini dan juga syarat lainnya adalah sabda Nabi SAW, “ kaum
muslimin (harus memenuhi)
persyaratan-persyaratan (yang mereka buat), kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” Tidak ada perbedaan antara
syarat dibuat sebelum akad atau saat akad. Sebagaimana hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda,
إِنَّ
أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اْلفُرُوْجَ
“Sungguh, syarat
yang paling berhak kalian penuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan
kemaluan.” ( HR. An-Nasa’i) [15]
Syarat yang
terjadi setelah akad, maka syaratnya tidak dianggap. Syarat pernikahan terjadi ketika
berlangsungnya akad dan sebelum akad.[16]
Sebagai contoh: seorang wanita
mensyaratkan kepada calon suaminya bahwa ia meminta mahar sebanyak 1000 dirham,
maka syarat ini merupakan syarat yang sah. Karena syarat ini memberikan manfaat
baginya. Syarat ini diucapkan ketika berlangsungnya akad oleh wali mempelai
wanita: “Aku nikahkan anakku dengan mahar sebesar 1000 dirham.”
Contoh lain jika syarat itu terjadi sebelum adanya akad
dan telah disepakati oleh calon mempelai pria, dan walinya berkata: “Aku tidak
menikahkanmu dengan putriku kecuali jika kau membayar mahar sebesar 1000
dirham”. Lalu ia berkata: “Ya, aku akan membayar sebesar 1000 dirham”. Jika
setelah akad wali berkata: “Sesungguhnya kami menginginkan darimu mahar sebesar
1000 dirham”. Syarat seperti ini termasuk tidak sah.
Syarat-syarat menikah menurut empat
Imam Madhab[17]:
1)
Madhab Hanafiyah
a)
Jika syaratnya
benar dan sesuai dengan akad, serta tidak bertentangan dengan hukum syariat,
maka wajib dipenuhi. Misal, seorang wanita mensyaratkan untuk tinggal sendiri
dan tidak tinggal bersama keluarga atau dengan istri-istri lelaki lainnya. Ulama
Hanafiyah berkata: “Jikalau lelaki menikahi seorang wanita dengan syarat bahwa
perkara wanita tersebut ada dalam wewenangnya sendiri, maka itu sah”. Namun jika lelaki berkata, “Nikahkanlah aku
dengan putrimu dengan syarat bahwa perkaramu ada dalam wewenangmu sendiri”.
Maka ia tidak mempunyai wewenang, sebab itu merupakan bentuk penyerahan sebelum
akad nikah.
b)
Jika syaratnya
rusak yaitu tidak sesuai dengan akad, atau tidak diperbolehkan oleh hukum-hukum
syariat, maka akad nikahnya sah dan syaratnya batal. Hal itu seperti disyaratkannya khiyar (memilih) bagi salah
satu pihak atau masing-masing dari keduanya untuk membatalkan pernikahan dalam
kurun waktu tertentu. Jika ada persyaratan untuk menceraikan istri-istri yang
lain, makruh hukumnya untuk memenuhinya. Dengan hadits yang berbunyi:
لاَ تَسْأَلُ
الْمَرْأَةُ طَلاقَ أُخْتِهَا
“Tidak halal bagi seorang perempuan untuk meminta
menceraikan saudaranya yang lain (istri-istri suami).” (HR. At-Tirmidzi)[18]
2)
Madhab Malikiyah
Menurut madhab
Malikiyah syarat dalam pernikahan sama dengan madhab lain namun syarat terbagi
lagi menjadi syarat benar tetapi makruh yaitu sesuatu yang tidak berkaitan
dengan akad. Hanya saja syarat tersebut dapat mempersulit lelaki, seperti
syarat agar tidak membawa keluar perempuan dari negaranya atau tempat
tinggalnya, tidak bepergian dengannya, atau agar tidak memindahkannya dari satu
tempat ke tempat lain, agar tidak berpoligami dan sejenisnya. Syarat-syarat
tersebut tidak mengharuskan lelaki untuk memenuhinya kecuali jika dibarengi
dengan sumpah untuk memerdekakan atau menceraikan maka syarat itu wajib
dipenuhi.[19]
3)
Madhab Syafi’iyah
a)
Syarat-syarat
yang benar di dalam pernikahan adalah syarat yang sesuai dengan hal-hal yang
berkenaan dengan akad nikah, seperti syarat memberi nafkah, membagi jadwal di
antara para istri, atau syarat yang tidak sesuai dengan hal-hal yang berkaitan dengan
akad nikah, seperti hendaknya si perempuan tidak makan kecuali begini dan
begitu. Syarat seperti ini tidak berpengaruh pada kedua jenis syarat di atas,
karena tidak ada manfaatnya. Sedangkan nikah dan maharnya sah, sebagaimana di
dalam jual beli.
b)
Sedangkan
syarat yang tidak benar adalah syarat yang menyelisihkan hal-hal yang berkaitan
dengan akad nikah, dan tidak menyalahi maksud asli pernikahan yaitu
bersenggama. Itu seperti syarat tidak akan berpoligami, atau tidak memberi
nafkah, tidak bepergian dengannya, atau tidak membawanya ke luar negeri. Hukum
syarat tersebut adalah: pernikahannya sah karena tidak ada bentuk penyelisihan
maksud asli pernikahan yaitu bersenggama dan bersenang-senang (al-istimta’).
Akan tetapi, syaratnya rusak karena menyalahi akad, baik syarat tersebut
menguntungkan istri seperti contoh syarat yang pertama, ketiga dan keempat,
atau merugikannya seperti contoh kedua. Itu dengan dalil sabda Rasulullah SAW
yang berbunyi:
مَا كَانَ مِنْ شَرْطِ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ
بَاطِل
4)
Madhab Hanabilah
Syarat
pernikahan menurut ulama madhab Hanabilah
sama dengan madhab Syafi’iyah yaitu tiga
macam:
Pertama,
syaratnya sah seperti seorang perempuan
mensyaratkan kepada lelaki agar menafkahi dan berbuat baik kepadanya, agar tidak berpoligami, atau tidak keluar dengannya dari rumah atau negaranya,
tidak memisahkan antara dirinya dan anaknya. Demikian juga seperti seorang
lelaki yang mensyaratkan kriteria perempuan hendaknya perawan, cantik,
terpelajar atau tidak cacat yang tidak menyebabkan terjadinya khiyar dalam
membatalkan pernikahan seperti buta, bisu, pincang dan sebagainya.[21]
Kedua, syarat
batal dan akad tetap sah seperti seorang laki-laki mensyaratkan tidak memberi
mahar kepada perempuan, tidak memberi nafkah atau jika telah memberi mahar
kepadanya maka ia memintanya kembali, atau syarat yang akan menyebabkan akan
adanya khiyar, dan wali mensyaratkan untuk menghadirkan mahar atau sebaliknya
si perempuan mensyaratkan kepada lelaki agar tidak berhubungan intim dengannya,
melakukan ‘Azl ketika berhubungan intim, memberinya giliran bermalam
lebih sedikit atau lebih banyak dibandingkan istri yang lain, atau tidak
bersamanya di hari jum’at kecuali malam hari.[22]
Ketiga, apa
yang membatalkan pernikahan dari asalnya seperti pensyaratan dengan waktu
tertentu dalam pernikahan yaitu nikah mut’ah, atau mensyaratkan untuk melakukan
nikah syighor yang dilakukan tanpa adanya akad , atau menceraikan wanita di
waktu itu juga.[23]
I.
Kesimpulan dan
penutup
Dari paparan
penulis di atas bahwa pernikahan akan sah jika syarat dan rukun dalam
pernikahan sudah terpenuhi, namun jika syarat dan rukun tersebut belum
terpenuhi maka pernikahan tersebut tidak sah. Diperbolehkan pula bagi kedua
mempelai untuk mengajukan syarat-syarat dalam pernikahan yang harus dipenuhi
oleh keduanya namun dengan syarat, jika syarat yang ditujukan tersebut tidak
menyalahi tujuan akad pernikahan. jika syarat yang diajukan tersebut menyalahi
tujuan akad pernikahan maka akad tersebut tidak sah dan tidak wajib untuk
dipenuhi.
Maka dapat
disimpulkan bahwa syarat-syarat yang diperbolehkan dalam pernikahan adalah
syarat-syarat yang tidak menyalahi tujuan akad pernikahan dan syarat tersebut
harus dipenuhi. Syarat tersebut terjadi sebelum adanya akad, jika syarat
tersebut terjadi setelah adanya akad maka syarat tersebut tidak dianggap. Namun
jika syarat tersebut menyalahi tujuan dari sebuah akad maka syarat tersebut
tidak perlu untuk dipenuhi.
Wallahu A’lam Bish Showab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Al-Karim dan terjemahnya
Al-Jaziri , Abdurrahman,
Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4, cet.ke-2, Bairut, Libanon:
Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003
Al-Khudhoir , Abdul Karim bin Abdullah, Syarh
‘Umdah al Ahkam , bab syarat jual beli jild. 4
Al-‘Utsaimin, Muhammad
bin Sholih, Fiqh Mar’ah Muslimah, cet.ke- 1, Iskandariyah:Daarul
‘Aqidah, 2007
As-Shobabiti , ‘Ishom, dkk, Shohih Muslim Syarh an-Nawawi,
jild.5, cet.ke-5, Kairo: Darul Hadits,2001
As-Suyuthi ,
Jalaluddin, Sunan an- Nasa’I, jild. 6, cet. Ke-1, Bairut, Libanon: Darul
Fikr,2012
At-Turki , Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin, Syarh Muntah
al Irodat, jild. 5, cet. ke-1.
Muassasah Risalah,2000
Az-Zuhaili , Dr. Wahbah, Fiqh Islam wa Adillatuhu,
ter. Abdul Hayyie al-Kattani, jild. 9, cet. ke-1 , Jakarta: Darul Fikri, 2011
Bassam , Abdullah Alu, Fiqh Hadits Bukhori Muslim,
ter. Umar Mujahid, cet. ke-1, Jakarta: Ummul Qura, 2013
Salim , Abu Malik Kamal Bin Sayid, Fiqh Sunnah li
an- Nisa’, Kairo: Al-Maktabah At-Taufiqiah, 2008
Sauroh, Abi Isa Muhammad bin
Isa bin, Sunan at-Tirmidzi, jild. 2, Bairut, Libanon: Darul Fikri, 2009
Unais , Dr. Ibrohim, Mu’jam al Wasith, cet.
Ke-2. Kairo: 1973
Zaidan , Dr. Abdul Karim, Al-Mufasshol fii Ahkam al
Mar’ah wa Baiti al Muslim, jild. 6, cet. ke-3, Bairut, Libanon:
Muassasah Risalah, 2000
[1] ‘Ishom
as-Shobabiti, dkk, Shohih Muslim Syarh an-Nawawi, jild.5,
cet.ke-5,(Kairo:Darul Hadits,2001), hlm.185
[3] Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, Syarh
Muntahal Irodat, jild. 5, cet. ke-1, (Muassasah
Risalah,2000), hlm. 95
[4] Dr. Wahbah az-Zuhaili,
Fiqh Islam wa Adillatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani, jild.9, cet.
ke-1, (Jakarta:Darul Fikri,2011), hlm. 39
[5] Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, Fiqh
Mar’ah Muslimah, cet. ke-1, (Iskandariyah:Daarul ‘Aqidah, 2007), hlm. 303
[6] Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mufasshol fii
Ahkam al Mar’ah wa Bait al Muslim, jild. 6, cet. ke-3, (Bairut, Libanon:
Muassasah Risalah, 2000), hlm. 11
[7]‘Ishom as-Shobabiti dkk, Shohih Muslim
Syarh an-Nawawi, jild.5, cet.ke-5, (Kairo:Darul Hadits,2001), hlm.185
[8] Jalaluddin as-Suyuthi, Sunan
an-Nasa’i, jild. 6, cet. 1, (Bairut, Libanon: Darul Fikr,2012), hlm. 59
[9] Abu Malik
Kamal bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah li an Nisa’, (Kairo: Al-Maktabah
At-Taufiqiah, 2008), hlm. 471
[10] Dr. Abdul
Karim Zaidan, Al- Mufasshol fii Ahkam al Mar’ah wa Bait al Muslim, jild. 6, cet.ke- 3,
(Bairut,Libanon: Muassasah Risalah, 2000), hlm. 81
[11] Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, ter. Abdul Hayyie al-Kattani,
jild. 9, cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 56
[12] Ibid, hlm. 45
[13] Abu Malik
Kamal bin Sayid Salim, Fiqh Sunnah li an Nisa’, (Kairo: Daar at-Taufiqiah
Li at-Turats, 2009), hlm. 471
[14] Abdullah Alu Bassam, Fiqh Hadits Bukhori
Muslim, ter. Umar Mujahid, cet. ke-1, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), hlm. 883
[15] Jalaluddin
as-Suyuthi, Sunan an-Nasa’i, jild. 6, cet. ke. 1, (Bairut, Libanon:
Darul Fikr, 2012), hlm. 91
[16] Muhammad bin
Sholih al-‘Utsaimin, Fiqh Mar’ah Muslimah, cet. ke-1, (Iskandariah:
Darul ‘Aqidah, 2007), hlm. 331
[17] Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jild. 9, cet. ke-1,
(Jakarta:Gema Insani, 2011), hlm. 60-64
[18] Abi Isa Muhammad bin
Isa bin Sauroh, Sunan at-Tirmidzi, jild. 2, (Bairut, Libanon:Darul
Fikri, 2009), hlm. 403
[19] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa
Adillatuhu, jild. 9, cet. ke-1, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm.
61, Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4,
cet.ke-2,(Bairut, Libanon: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2003),hlm. 83
[20]Abdul Karim bin Abdullah al-Khudhoir, Syarh
‘Umdah al- Ahkam , bab syarat jual beli, jild. 4, hlm.3
[21] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4, cet.ke-2,(Bairut, Libanon: Darul
Kutub al-‘Ilmiyah, 2003),hlm. 82
[22] Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jild. 9, cet. ke-1,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 64
[23] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, jild. 4, cet.ke-2,(Bairut, Libanon: Darul
Kutub al-‘Ilmiyah, 2003),hlm. 82