I.
Pendahuluan
Perceraian adalah suatu peristiwa yang halal namun Allah tidak menyukainya.
Jika adanya perselisihan antara suami dan istri yang tidak bisa diselesaikan
maka diperbolehkan talak sebagai solusi terakhir. Sebuah talak tidak bisa
dijatuhkan kapan pun suami suka. Ia harus disesuaikan dengan waktu yang
semestinya.
Berawal dari pernyataan di atas, timbul sebuah pertanyaan, “jika ditemukan seorang
suami mentalak istrinya yang sedang haid, lalu bagaimana hukumnya??”. Dalam
makalah ini, penulis berusaha untuk mengupasnya agar kelak dapat bermanfaat.
II.
Devinisi
Talak secara bahasa adalah melepas ikatan.[1]
Sedangkan talak menurut istilah adalah melepaskan ikatan pernikahan atau
melepaskan akad nikah seketika itu juga (dengan talak ba’in) atau akibatnya
akan diterima di kemudian hari setelah masa iddah habis (dangan talak raj’i)
dengan menggunakan lafadz tertentu.[2]
III.
Dalil Berkenaan Tentang Talak
A. Dalil dari al-Qur’an
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ
إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ
أَمْرًا [٦٥:١]
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke
luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath-Thalaq: 1)
B. Dalil dari as-Sunnah
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ عُمَرَ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ
وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ
فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ
الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.
Dari Abdullah bin
Umar, ia telah mentalak
istrinya yang sedang dalam keadaan haid. Lalu Umar bin Khathab lalu menyampaikan hal itu kepada Rasulullah SAW, Beliau marah karenanya dan bersabda, “Hendaklah ia merujuknya lalu
mempertahankannya hingga suci, setelah itu haid lalu suci, kemudian jika ia
berfikiran untuk mencerainya sebelum mencampurinya, maka itulah iddah seperti
yang diperintahkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)[3]
IV.
Hukum Suami Menceraikan Istri Ketika Haidh
Terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha dalam persoalan suami
mentalak istrinya ketika haidh. Berikut ini penjelasannya:
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila talak dijatuhkan pada waktu haidh,
maka ia dianggap talak juga.[4]
Pendapat ini berdasarkan sabda Nabi dalam hadits Ibnu Umar:
عَنْ ابْنَ
عُمَرَأَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ لِلنَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُطَلِّقْهَا
طَاهِراً أَوْ حَامِلاً
“Dari Ibnu Umar, bahwa
ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka Umar bin Khattab menanyakan
kepada Rasulallah, Rasulullah bersabda: perintahkanlah ia untuk merujuk
istrinya, kemudian talaklah dalam keadaan suci atau hamil.” (HR. Jama’ah
kecuali Bukhari)[5]
Mereka berpendapat bahwa rujuk itu tidak terjadi kecuali sesudah terjadi
talak.
Sebagian ulama, diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu
Qayyim berpendapat, talak tidak berlaku, talak tersebut sia-sia. Dalilnya
berdasarkan riwayat Abu Dawud dan Nasa’i bahwa Abdullah bin Umar mencerai
istrinya saat haid, Abdullah berkata, “Beliau kemudian mengembalikannya
kepadaku dan beliau tidak menganggapnya sedikit pun.”[6]
Talak ketika haid termasuk dalam talak yang diharamkan karena telah
menyimpang dari aturan talak yang sesuai syari’at.[7]
V.
Konsekuensinya
Apabila sorang istri
ditalak dalam keadaan haid suami diperintah untuk merujuknya. Dan jika suami
ingin mentalaknya kembali maka diperintahkan untuk menunggu istri dalam keadaan
suci, kemudian datang haid lagi, dan kemudian suci kembali setelah itu ia boleh
mentalaknya kapan pun.[8]
Ibnu Abdil Bar
menerangkan, “Hikmah larangan menjatuhkan talak pada wanita yang sedang haid
adalah dikhawatirkan masa iddahnya lama. Dan hikmah larangan menjatuhkan talak
pada masa suci namun sudah dicampuri adalah dikhawatirkan hamil saat itu,
sehingga suami-istri atau salah satunya menyesal. Sebab, andai keduanya tau si
istri sedang hamil, tentu akan bertindak dengan baik, dan akan menyatu kembali
setelah terpisah dan saling benci.”[9]
Abdul Karim Zaidan menerangkan dalam bukunya “al-Mufashal
fii Ahkam al-Mar’ah wa Bait al-Muslim fii asy-Syari’ah al-Islamiyah”,
terdapat dua hikmah diperintahkan untuk menunggu hingga datang masa suci yang
kedua.
Hikmah pertama, disyari’atkan kepada suami untuk bersama
istrinya bukan berpisah dengannya.
Hikmah kedua, apabila suami menahan sampai istri suci
kedua hal tersebut akan memperpanjang kebersamaan antar keduannya.[10]
VI.
Penutup
Dari pemaparan
makalah di atas, hendaknya seorang suami tidak mentalak istrinya yang sedang
haid. Apabila ia tetap ingin mentalaknya maka hendaknya menunggu sampai masa
suci yang kedua. Hal ini ditinjau jika seorang suami mentalak istrinya yang
sedang haid karna ia tidak bisa menggaulinya maka dari itu suami mentalaknya
dan menambah masa iddah lebih lama.
Seorang suami
diperintahkan untuk menunggu sampai datang masa suci yang kedua karena ada
kemungkinan yang positif pada masa tersebut. Boleh jadi ketika keadaan suci
terjadi kehamilan pada istri sehinga suami berfikir kembali akan tetap
mentalaknya atau tidak. Berfikir akan dampak yang terjadi setelah perceraian
pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Bassam, Abdullah Alu, Taisirul ‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam, terj.
Umar Mujtahid, cet. ke-1, Solo: Ummul Qura, 1434 H/ 2013 M
Jamal, al-, Abu Ubaidah
Usamah bin Muhammad, Kitab al-Mu’minat al-Baqiyat ash-Shalihat fi Ahkam
Takhtashshu bihal Mu’minat, terj. Arif Rahman Hakim, Shalih Fiqih Wanita
Muslimah, cet. ke-1, Solo: Insan Kamil, 1431 H/ 2010 M
Munawwir, Ahmad Warson,
al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 M
Salim, Abu Malik Kamal
bin as-Sayyid, Fiqhus Sunnah Lin Nisa, terj. Asep Sobari, cet. ke-1,
Jakarta: al-I’tishom, 1422 H/ 2007 M
Salim, Abu Malik Kamal
bin as-Sayyid, Fiqhus Sunnah Lin Nisa, terj. Irwan Raihan, Ahmad
Dzulfikar, cet. ke-1, Solo: Pustaka Arafah, 2014 M
Samarandi, As-, Tufah
al-Fuqaha’, jilid. 2, cet. ke-1, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1405 H/ 1984 M
Syaukani, Asy-, Nayl al-Author, “Kitab ath-Thalaq”, jilid. 6, cet. ke-4, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2011 M
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam
Ghazali Said, Achmad Zaidun, cet. ke-3, Jakarta: Pustaka Amani, 1428 H/ 2007 M
Zaidan, Abdul Karim,“al-Mufashal fii Ahkam al-Mar’ah
wa Bait al-Muslim fii asy-Syari’ah al-Islamiyah”, jilid. 8, cet. ke-3, Beirut, Lebanon: Muasasah ar-Risalah, 1420 H/ 2000 M
[1]
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus
Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 M), hlm. 861
[2]
Abu Malik
Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa, terj. Irwan Raihan,
Ahmad Dzulfikar, cet. ke-1, (Solo: Pustaka Arafah, 2014 M), hlm. 742
[3]
Asy-Syaukani, Nayl al-Author, “Kitab ath-Thalaq”, jilid. 6, cet. ke-4, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2011 M), hlm. 233-234, Hadits no. 2838
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, terj. Imam
Ghazali Said, Achmad Zaidun, cet. ke-3, (Jakarta: Pustaka Amani, 1428 H/ 2007
M), hlm. 548-549. Lihat juga, Abdullah Alu Bassam, Taisirul ‘Allam Syarh
‘Umdatil Ahkam, terj. Umar Mujtahid, cet. ke-1, (Solo: Ummul Qura, 1434 H/
2013 M), hlm, 923
[5]
Asy-Syaukani, Nayl al-Author, “Kitab ath-Thalaq”, jilid. 6, cet. ke-4, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2011 M), hlm. 233, Hadits no. 2838
[6]
Abdullah Alu
Bassam, Taisirul ‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam, terj. Umar Mujtahid, cet.
ke-1, (Solo: Ummul Qura, 1434 H/ 2013 M), hlm. 923
[7] Abu Ubaidah Usamah bin Muhammad al-Jamal, Kitab al-Mu’minat al-Baqiyat
ash-Shalihat fi Ahkam Takhtashshu bihal Mu’minat, terj. Arif Rahman Hakim, Shalih
Fiqih Wanita Muslimah, cet. ke-1, (Solo: Insan Kamil, 1431 H/ 2010 M), hlm.
42. Lihat juga, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa,
terj. Asep Sobari, cet. ke-1, (Jakarta: al-I’tishom, 1422 H/ 2007 M), hlm. 769
[8]
As-Samarandi, Tufah
al-Fuqaha’, jilid. 2, cet. ke-1, (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1405 H/ 1984 M), hlm. 173
[9]
Abdullah Alu
Bassam, Taisirul ‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam, terj. Umar Mujtahid, cet.
ke-1, (Solo: Ummul Qura, 1434 H/ 2013 M), hlm. 922
[10]
Abdul Karim Zaidan,“al-Mufashal fii Ahkam al-Mar’ah wa
Bait al-Muslim fii asy-Syari’ah al-Islamiyah”, jilid. 8, cet. ke-3, (Beirut, Lebanon: Muasasah ar-Risalah, 1420 H/ 2000
M), hlm. 97
0 komentar:
Posting Komentar