KEDUDUKAN TAQLID DI ERA GLOBALISASI



  1. Pendahuluan
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada beliau Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kepada keluarganya, para sahabatnya dan umat setelahnya hingga akhir zaman. Tidak ada kebahagiaan  kecuali mengikuti sunnah beliau.
Syari’at islam telah mengatur semua persoalan yang ada melalui Al Qur’an dan As Sunnah. Termasuk persoalan yang nawazil atau kontemporer.[1] Tetapi, tidak semua orang bisa memahami dalil-dalil, Bagaimanapun manusia memiliki keterbatasan dalam berfikir dan memahami sebuah nash.
Tertutupnya pintu ijtihad[2] membuat para ulama’ menembus pintu taqlid. Mereka berusaha untuk membuka pintu taqlid lebar-lebar dan menutup pintu ijtihad dengan rapat. Hal  itu disebabkan karena para ulama’ tidak mampu lagi untuk berfikir dan istinbath ahkam.[3] Mereka hanya terpaku pada ijtihad-ijtihad dan kitab-kitab para imam mujtahid sebelum mereka.
Awal kemunculan taqlid yaitu setelah periode imam madhhab. Dan mulai nampak setelah melemahnya Dinasti Abbasiyah.[4] Kekacauan sistem kenegaraan sangat mempengaruhi perkembangan fiqih itu sendiri terutama kepada para ulama’ yang menyebabkan turunnya gairah dan semangat mereka dalam mengkaji secara langsung dari Al Qur’an dan As Sunnah. Sikap inilah yang mendorong umat dan para ulama’ kepada taqlid.[5]
Sehingga menyebabkan pembentukan hukum terbatas pada apa yang disampaikan oleh para mujtahid. Padahal, pada hakikatnya persoalan baru mengenai hukum islam akan terus bermunculan.[6]
Setelah mengetahui awal munculnya istilah taqlid, bagaimanakah kedudukan taqlid itu sendiri di era globalisasi? Apakah taqlid itu mutlak haram? Bagaimana sikap kita terhadap taqlid itu sendiri. Makalah ini akan membahas sedikit mengenai taqlid dan kedudukannya di era globalisasi.
  1. PEMBAHASAN
1.1  Pengertian
Secara bahasa taqlid berasal merupakan masdar dari قَلَّدَ- يُقَلِّدُ- تَقْلِيْداً  yang bermakna menggantungkan sesuatu di lehernya. Bisa juga bermakna mengikuti apa yang orang lain katakan dan lakukan tanpa disertai dengan dalil.[7] Dalam redaksi lain tertulis yaitu menggantungkan di leher ataupun menirukan.[8] Jadi, secara bahasa maknanya yaitu meniru orang lain ataupun menggantungkan.
Sedangkan pengertian secara istilah adalah mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah.[9] Ada juga yang mengartikan taqlid adalah menerima perkataan tanpa mendatangkan dalil. Ia hanya menukil atau mengambil perkataan orang saja tanpa melihat apakah perkataan tersebut sesuai dengan koridor syar’i dan teruji kebenarannya atau tidak.[10] Dalam kitab lain disebutkan juga bahwa taqlid adalah menerima perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Jadi, ia melakukan perbuatan tersebut bukan atas dasar pemahamannya terhadap Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.[11]
Definisi para ulama’ tentang taqlid hampir sama antara satu dengan yang lain yang pada intinya mengarah kepada menerima perkataan orang yang lebih berilmu tanpa disertai dengan dalil. Para ahli ushul ikhtilaf, apakah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk dalam kategori taqlid atau bukan?.
Mengikuti perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabatnya dan ahli ijma’ bukan termasuk taqlid jika kita katakan perkataan tersebut adalah hujjah. Karena hal itu merupakan ittiba’ kepada hujjah.[12] Istilah-istilah tersebut tetap mengacu kepada satu makna yaitu mengikuti suatu madhhab ataupun mujtahid tertentu yang mencakup perkataan dan perbuatan tanpa menyertakan dalil berupa Al Qur’an, Hadits maupun ijma’ dan kembali pada perkataannya tanpa ia tahu apa maksud dan makna dari perkataan tersebut.[13]
1.      2 Dalil mengenai taqlid
Dasar yang dijadikan hujjah atas bolehnya taqlid adalah firman Allah Ta’ala :
   فَسْأَلُوْآ أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ ( النحل : ٤٣)
 “...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.[14]
Ayat tersebut menunjukkan anjuran kepada orang yang tidak berilmu ataupun orang yang tidak mengetahui untuk bertanya kepad ahlu dzikr yaitu orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Ibnu Mardawaih dari Jabir berkata : “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لاَيَنْبَغِيْ لِلْعَالِمِ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى عِلْمِهِ, وَلاَ يَنْبَغِي لِلْجَاهِلِ أَنْ يَسْكُتَ عَلَى جَهْلِهِ
Tidak seharusnya orang yang berilmu itu diam atas keilmuannya, dan tidak seharusnya orang yang bodoh itu diam atas kebodohannya.”
Hendaknya orang yang beriman untuk mengetahui bahwa amal perbuatan yang dilakukannya atas dasar petunjuk dan ilmu. Ketika seseorang tidak mengetahui suatu ilmu maka baginya bertanya kepada orang yang berilmu yang mana ia sendiri kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah.[15] Firman Allah Ta’ala :
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
“ ...Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.”[16]
Dalam surat Luqman juga disebutkan :
 وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
                      Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.”[17]
Ayat-ayat di atas menunjukkan atas taqlid kepada imam mujtahidin dan mengikuti mereka. Dalil dari hadits disebutkan :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّة الخُلَفَأ الرَّشِدِيْنَ المُهْدِيين مِنْ بَعْدِى, عَضُوْا عَلَيْهَا بِالنوَجِدْ
                                    “Berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ ar rosyidin  yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal)sepeninggalku, pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”[18]
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa banyak persoalan baru yang tidak terdapat dalam nash. Dan menunjukkan adanya perintah ijtihad dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ijtihad tersebut merupakan salah satu nikmat Allah Ta’ala yang besar. Dalam redaksi lain dikatakan :
“Para ulama’ adalah pewaris para nabi.”[19]
Maka wajib bagi kita untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  dan para sahabatnya. Warisan nabi adalah ilmu yang wajib kita ikuti. Sehingga, tidak wajib bagi kita mengikuti ulama’ kecuali jika ulama’ tersebut mewarisi ilmu para nabi.[20]
1.3   Tempat terjadinya taqlid
Taqlid terjadi dalam 2 tempat :
a.       Seorang yang taqlid yaitu orang awam yang tidak mampu mengetahui dalil-dalil dan istinbath ahkam dengan kemampuan yang dimilikinya. Dan hendaknya ia mengikuti salah satu ulama’ yang menurut dia ulama’ itu wara’ dan lebih utama dalam ilmu. Walaupun ada ulama’ yang mungkin lebih utama darinya.
b.      Terjadi pada seorang mujtahid yang ia harus memutuskan masalah sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian. Maka, boleh baginya untuk taqlid. Hanya saja tidak boleh bertaqlid dalam masalah aqidah karena semua orang harus meyakininya.[21]
Disebutkan juga, bahwa wajib  bagi orang yang terbatas kemampuannya, yang belum mencapai tingkatan ijtihad dikarenakan tidak adanya kapabilitas ilmu yang mumpuni dalam dirinya untuk melazimi ataupun mengikat salah seorang mujtahid yang di yakininya. Agar ia tidak menyendiri dalam menyelesaikan persoalan yang membawa dirinya kepada taqlid yang dilarang.
Tapi, jika ia memiliki dalil ataupun hujjah, maka ia tidak dinamakan muqollid dan taqlidnya batal. Karena hujjah tidak diwajibkan bagi muqollid.[22]
Ada tidaknya dalil bagi muqollid orang awam itu sama saja. Karena mereka sedikitpun tidak bisa mengambil manfaat darinya. Karena hal yang berkaitan dengan dalalah dan istinbath ahkam bukanlah urusan mereka.[23]
1.4   Hukum Taqlid
Mengenai hukum taqlid sendiri para ulama’ berbeda pendapat. Mereka membaginya menjadi 3 macam :
a)      Sebagian mengharamkan
b)      Sebagian mewajibkan
c)      Sebagian mewajibkan ijtihad jika ia mampu dan membolehkan taqlid jika tidak mampu.
Orang awam yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad, wajib baginya untuk taqlid. Walaupun mereka diperbolehkan untuk taqlid kepada imam mujtahidin, hedaknya ia juga tetap harus hati-hati. Meskipun itu juga menyusahkan mereka.[24]
Imam Syaukani mengharamkan taqlid, akan tetapi beliau menetapkan bolehnya pertengahan antara ijtihad dan taqlid yang dalam ilmu ushul fiqh dinamakan ittiba’. Yaitu mengikuti perkataan imam mujtahidin serta meneliti dalil-dalilnya.
Menurut pendapat Muhammad Sulaiman Al Asyqor dalam kitabnya mengatakan bahwa tidak bolehnya taqlid merupakan suatu perkataan yang berlebih-lebihan dan ifrath(melampaui batas). Darimana seorang muslim yang awam mendapatkan waktu yang cukup dan dengan kemampuan yang terbatas untuk menetapkan dan menyimpulkan dalil-dalil syar’i? Apalagi jika ada dalil yang saling bertentangan. Pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat nomor 3. Banyak  ulama’ juga sepakat akan hukum tersebut.[25]
Jika ia bertaqlid kepada hal-hal yang menyelisihi syari’at, dan ia mengetahui bahwa hal itu menyelisihi, namun ia tetap mengikuti dan mengamalkannya maka ia kafir dan musyrik.[26]
1.5  Kedudukan taqlid di era globalisasi
Wajib bagi kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya karena beliaulah yang menafsirkan hukum-hukum Ilahi dengan perkataan dan perbuatannya. Beliau menjelaskan antara yang halal dan yang haram, antara yang benar dan yang salah. Realitanya, jika ia mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesungguhnya ia juga taat kepada Allah Ta’ala.
Banyak kita dapati dalil-dalil yang saling bertentangan. Begitu juga persoalan yang ada di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Semua itu membutuhkan fiqih, ijtihad, istinbath dan istikhroj ahkam(mengeluarkan hukum). Para sahabat dan ulama’ banyak yang telah menyimpulkan hukum sesuai yang mereka pahami. Karena mereka memiliki kapasitas ilmu yang cukup yang memungkinkan bagi mereka untuk istinbath suatu hukum.[27] Adapun mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dinamakan taqlid, karena ia bersandar kepada wahyu yang jelas.[28]  
Di era globalisasi, banyak manusia yang mengikuti perkara yang berhubungan dengan duniawi. Mereka tidak bertanya tentang dalil dan hujjah tentang persoalan yang mereka lakukan. Hanya menyandarkan kepada perkataan para ulama’. Imam mujtahid tersebut hanya sebagai perantara bagi mereka ketika tidak bisa memahami nash secara utuh dan ketika tidak bisa menyimpulkan suatu hukum.
Dalam keadaan yang mana semuanya serba modern, hendaknya ia melazimi salah satu ulama’ mujtahidin, ulama’ salafus shalih dan mengikutinya sebagai sandaran dalam persoalan yang ia hadapi. Akan tetapi, realita yang banyak kita temui sekarang bahwa mayoritas orang terlalu fanatik sehingga saling mencela antara satu sama lain. Dan sudah tidak mungkin lagi mengikuti rasul, dikarenakan taqlid yang mereka lakukan berdasarkan hawa nafsu.[29]
Taqlid merupakan hal yang dibutuhkan. Ia tidak bisa begitu saja dilarang secara mutlak, karena banyak orang awam yang kemampuannya terbatas pada mengikuti ulama’ saja. Tidak mungkin seorang anak kecil melakukan shalat kecuali ia pasti mnegikuti orang tuanya. Jadi, taqlid sendiri sangat berperan di era ini. Manusia tidak bisa begitu saja terlepas darinya. Hanya saja, ia harus tetap berusaha mencari kebenaran dari perkataan tersebut sesuai dengan kapabilitas ilmu dan kemampuan yang ia miliki. Jika, taqlid itu mutlak haram maka dunia ini akan rusak. Manusia akan berbuat sesuka hatinya, sesuai hawa nafsunya tanpa mempedulikan bahwa itu telah keluar dari koridor syar’i. Wal’iyadzubillah
1.6 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa, hidup di era globalisasi tidak bisa terlepas dari taqlid. Kedudukannya sangat penting dan dibutuhkan bagi orang awam. Hanya saja, ada batas dan syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam bertaqlid. Karena realita hari ini banyak orang yang mengambil perkataan ulama’ ataupun melakukan perbuatan atas dasar hawa nafsu semata. Sehingga, seyogyanya kita berhati-hati dalam mengambilnya. Taqlid juga memudahkan bagi orang awam untuk melaksanakan syari’at islam tanpa harus menjadi orang yang ‘alim dan mujtahid. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita dalam memahami ilmu syar’i dan menghindarkan kita dari taqlid yang dilarang. Amin
                                                         
                                      


DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’anul Karim
Abu Zahrah ,Muhammad, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al Aroby
Abdurrahman ,Ibnu Imam Al Kamiliyah Kamaluddin Muhammad bin Muhammad bin. Syarhul Waraqaat li Imam Al Haramain fi Ushul Al Fiqh, cet 1; 2011, Darul Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon
Abdurrahim. At Taqlid Asy Syar’i fi Umuril Fiqhiyyah wa Ahammiyatuhu fil Islam, cet 1, Maktabah Al Haramain, Dubai
Al Asyqor ,Dr. Muhammad Sulaiman. Al Wadhih fie ushulil fiqh lil mubtadi’in, ttp. tth
Al Fairuz Abadi ,Majduddin Muhammad bin Ya’qub. Al Qamus Al Muhith, cet 4, Darul Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon
Al Ghazali ,Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. Al mustashfa min ‘ilmi Al Ushul, cet 2 ;2010, Darul Kutub lmiyah; Beirut, Lebanon
Al Maliki ,Ibnu Abdil Barr Al Qurthubi. Jami’ul Bayan Al ‘ilmi wa Fadhluhu, cet 1, Darul Kutub Al Ilmiyah; Beirut, Lebanon
Al Thanthawi ,Ustadz Dr. Mahmud Muhammad. Ushul Fiqh Al Islamy, Maktabah Wahbah; Qohiroh,
Al Utsaimin ,Muhammad bin Shalih. Al Ushul min ‘ilmi Al Ushul, terj : Abu Shilah, http://tholib.wordpress.com, Juni 2007, pdf
Ash Shawi ,Dr. Shalah. At Tsawabit wal Mutaghoyyiraat, terj. Abdurrahman, cet 1, Pustaka Al Alaq; Solo
As Suyuthi ,Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr. Ad Durrul Mantsur fi At Tafsiril Ma’tsur, jil. 4, Darul Kutub Al Ilmiyah; Beirut, Lebanon, cet. 2
Asy Syatibi, Abi Ishaq . Al Muwafaqaat fi Ushul As Syari’ah, cet. 1 : 1425 H/2004 M, Darul Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon
Al Wada’ani, Dr. Walid bin Fahd. Ijtihad wa Taqlid ‘inda Imam Syathibi, cet.I, Dar At tadmiyah,
Khalaf ,Abdul Wahab. Khulashoh Tarikh Tasyri’, terj. H.A Aziz Masyhuri, CV. Ramadhani, Solo
Muhammad.,Yahya Ijtihad wat Taqlid wal Ittiba’ wa An Nadzar, Muassasah Intisyar Al Arabiy; Beirut cet 1; 2000
Munawwir ,Ahmad Warson. Kamus Al Munawwir Arab-Indo, cet 14, Pustaka Progressif: Surabaya
Saurah ,Abi Isa Muhammad bin Isa bin. Sunan Tirmidzi, jil. 4, Darul Fikr: Beirut, Lebanon
Unais ,Ibrahim dkk. Mu’jamul Wasith, Pustaka Al Wustha
Zaidan ,Abdul Karim. Al Madkhol Liddirosah Asy Syari’ah Al Islamiy, Dar Umar bin Khattab; Iskandariyah,


[1] Dr. Walid bin Fahd Al wada’aani. Ijtihad wa Taqlid ‘inda Imam Syathibi, cet.I, Dar At tadmiyah, p. 6
[2] Mengerahkan semua kesungguhan dan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dengan metode istimbath ahkam, Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al Aroby, p.379
[3] Menyimpulkan suatu hukum dari dalil syar’i
[4] Ustadz Dr. Mahmud Muhammad Al Thanthawi. Ushul Fiqh Al Islamy, Maktabah Wahbah; Qohiroh, p.487
[5] Abdul Karim Zaidan. Al Madkhol Liddirosah Asy Syari’ah Al Islamiy, Dar Umar bin Khattab; Iskandariyah, p. 148-149
[6] Abdul Wahab Khalaf. Khulashoh Tarikh Tasyri’, terj. H.A Aziz Masyhuri, CV. Ramadhani, Solo, p. 96
[7] Ibrahim Unais dkk. Mu’jamul Wasith, Pustaka Al Wustha, p. 788, Majduddin Muhammad bin Ya’qub Al Fairuz Abadi. Al Qamus Al Muhith, cet 4, Darul Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon,  p. 336
[8] Ahmad Warson Munawwir. Kamus Al Munawwir Arab-Indo, cet 14, Pustaka Progressif: Surabaya, p. 1147
[9] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Al Ushul min ‘ilmi Al Ushul, terj : Abu Shilah, http://tholib.wordpress.com, Juni 2007, pdf, p . 133
[10] Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali. Al mustashfa min ‘ilmi Al Ushul, cet 2 ;2010, Darul Kutub lmiyah; Beirut, Lebanon, p. 579
[11] Dr. Muhammad Sulaiman Al asyqor. Al Wadhih fie ushulil fiqh lil mubtadi’in, p. 213
[12] Dr. Walid bin Fahd Al wada’aani. cet.I, Dar At tadmiyah, p. 696, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin p. 136
[13] Dr. Shalah Shawi. At Tsawabit wal Mutaghoyyiraat, terj. Abdurrahman, cet 1, Pustaka Al Alaq; Solo, p. 152, Ibnu Abdil Barr Al Qurthubi Al Maliki. Jami’ul Bayan Al ‘ilmi wa Fadhluhu, cet 1, Darul Kutub Al Ilmiyah; Beirut, Lebanon, p. 393
[14] Qs. An Nahl: 43
[15] Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi. Ad Durrul Mantsur fi At Tafsiril Ma’tsur, jil. 4, Darul Kutub Al Ilmiyah; Beirut, Lebanon, cet. 2, p. 222
[16] Qs. At Taubah: 122
[17] Qs. Luqman: 15
[18] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Sunan Tirmidzi, jil. 4, Darul Fikr: Beirut, Lebanon, p.308
[19] HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi.
[20] Abdurrahim. At Taqlid Asy Syr’i fi Umuril Fiqhiyyah wa Ahammiyatuhu fil Islam, cet 1, Maktabah Al Haramain, Dubai, p. 86-89
[21] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Op.cit, p. 134
[22] Ibnu Abdil Barr Al Qurthubi Al Maliki,. Op.cit, p. 392
[23] Abi Ishaq Asy Syatibi. Al Muwafaqaat fi Ushul As Syari’ah, cet. 1 : 1425 H/2004 M, Darul Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon, p.  897
[24] Yahya Muhammad. Ijtihad wat Taqlid wal Ittiba’ wa An Nadzar, Muassasah Intisyar Al Arabiy; Beirut cet 1; 2000, p. 143
[25] Muhammad Sulaiman Al Asyqor. Al wadhih fi Ushul Fiqh lil Mubtadi’in, p. 213-214
[26] Dr. Sholah As Showi,. Op.cit, p. 137
[27] Abdurrahman,. Op.cit, p. 74
[28] Ibnu Imam Al Kamiliyah Kamaluddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman. Syarhul Waraqaat li Imam Al Haramain fi Ushul Al Fiqh, cet 1; 2011, Darul Kutub Al Ilmiyah: Beirut, Lebanon, p. 412
[29] Abdurrahman,. Taqlid  Syar’i... p.  75-76

1 komentar:

  1. Megasav mengatakan...:

    Makasih ya mba artikel nya.

Posting Komentar